Kejahatan kemanusiaan berlatar konflik
agama yang terjadi ini sudah masuk dalam kategori pelanggaran HAM Dunia,
akan tetapi sampai saat ini belum ada penyelesaian secara utuh dan adil
di dunia internasional.
Penyergapan bersejata, pengeboman,
serangan terhadap infrastruktur, pembunuhan dan penculikan. Apa yang
terjadi di Filipina ini jauh melampaui Thailand (3.074 kasus), Indonesia
(686 kasus), Myanmar (315 kasus), dan Kamboja (258 kasus) dan mungkin
bertambah hingga 2017.
Indonesia merupakan salah negara darurat
Terorisme. Dimana persetubuhan antara paham persekusi dan terorisme dua
bagian yang memiliki arti satu tubuh.
Aksi bom sejak 2016 silam. Bom Thamrin
yang menewaskan beberapa orang yang tak punya kepentingan apa-apa. Lalu
baru-baru ini aksi bom bunuh diri di Kampung Melayu, Jakarta Timur,
Rabu (24/05) malam, yang menyebabkan tiga polisi meninggal dan dua orang
yang diduga pelaku tewas.
Penyerangan terhadap Pos penjagaan Mapolda
Sumatra Utara yang menewaskan seorang aparat keamanan pula. Dan
teranyar, terjadi di Masjid Falatehan, dekat Mabes Polri, Jakarta
Selatan kemarin, 30 Juni 2017. Terjadi penikaman terhadap dua anggota
Brimob Sat III di masjid sebelah lapangan Bhayangkara Mabes Polri.
sekitar pukul 19.40 saat anggota
melaksanakan sholat isya di masjid sebelah lapangan Bhayangkara Mabes
Polri, tiba-tiba pelaku yang juga melaksanakan sholat meneriakkan “thogut” lalu langsung seketika menikam anggota Brimob yang posisinya persis di sebelahnya dengan menggunakan pisau sangkur merk cobra.
Setelah itu pelaku mengancam semua jamaah yang sedang sholat dengan mengacungkan sangkur sambil meneriakkan “thogut” .
Lalu pelaku melarikan diri ke arah terminal blok M, sambil mengancam dan menantang kelompok anggota Brimob yang bertugas jaga.
Oleh anggota diberikan tembakan peringatan, namun pelaku berbalik arah menantang dengan meneriakkan “allahuakbar” sambik mengacungkan pisau. Lalu anggota brimob melumpuhkan pelaku ditempat.
Oleh anggota diberikan tembakan peringatan, namun pelaku berbalik arah menantang dengan meneriakkan “allahuakbar” sambik mengacungkan pisau. Lalu anggota brimob melumpuhkan pelaku ditempat.
Kejadian tragis dan brutal seperti ini
sangat memprihatinkan bagi semua orang. Sebab aksi para teroris tersebut
membawa label-label tertentu yang bernapas agama tertentu, untuk
memuluskan perjuangannya, seolah-olah agamanya mengajarkan demikian.
Padahal agama selalu mengedepankan ajaran
perdamaian dan cinta kasih serta tidak kontradiktif dengan kemanusiaan.
Ideolologi teroris sungguh jauh berbeda dan jelas sekali tidak agamis.
Para teroris itu bahkan meneriakkan bahwa darah kaum kafir halal untuk
dibunuh.
Hemat saya, ulah para teroris telah
menafikkan persaudaraan. Telah mengelak cinta kasih. Meniadakan hubungan
yang harmonis terhadap sesama sebagai satu insan ciptaan Tuhan.
Ini membuktikan Indonesia darurat
Terorisme dengam diembel embel dengan paham persekusi. Paham ini
membuktikan matinya akal sehat terhadap nilai kemanusiaan. Gaya politik
seperti ini, gaya politik orang yang haus kekuasaan dan melakukan segala
cara untuk mendapatkan kekuasaan.
Terorisme dan Persekusi yang Bersetubuh
Persekusi politik. Satu rangkaian serangan kekerasan (violence persecution)
disasarkan kepada lawan politik atau yang diposisikan sebagai lawan.
Kekerasan itu bisa jadi dalam berbagai bentuk, seperti: ujaran (hate speech oral offence)
lisan/tulisan, kekuatan fisik individual/massal, uang, dan/atau
otoritas jabatan yang memproduksi “kebenaran otoritatif dekoratif”.
Persekusi “yang politis”, dikatakan
demikian, jika rangkaian luasan serangan itu terjadi secara sistematis
dan radikal dalam operasionalnya, sebagai terjemahan dari suatu
kebijakan atau sikap elite/pimpinan kelompok terhadap lawannya.
Esensi niat dasa dari tindakan persekusi
bertujuan membusukkan orang/pihak yang sesungguhnya baik-baik. Sebab itu
persekusi dapat juga disebut sebagai “gaya politik, runtuhnya akal
sehat “.
Tampak terlihat pada Pilgub DKI Jakarta
2017 kemarin. Daya ampuhnya dilegalkan oleh (dalam sarat soal
legitimasi) putusan otoritas jabatan yang memproduksi “kebenaran hukum
otoritatif dekoratif”.
Levinas seorang Filsuf Prancis dan menekuni karyanya ” Totalitas dan tak Berhingga: Esai tentang Ekserioritas”,
menandaskan bahwa totalitas itu dihancurkan oleh “yang tak
berhingga”. “Yang tak berhingga” itu adalah realitas di luar diri
manusia yang tidak dapat dikuasai oleh totalitas individu.
Siapakah “yang tak berhingga” itu?
Menurut Levinas, “yang tak berhingga” adalah sesama manusia yang tadinya
berperan sebagai orang asing bagi individu. Di sinilah, totalitas
individu menjadi hancur karena setiap individu harus berhubungan dengan
sesama manusia. Karena itulah in se manusia memiliki kewajiban etis
terhadap sesama manusia lain, dan kewajiban itu bersifat asimetris.
Asimetris yang dimaksud adalah bahwa apa
yang saya berikan kepada orang lain tidak boleh saya minta balasannya.
Dengan demikian, Levinas menginginkan hubungan antarmanusia yang saling
memberi diri tanpa mengharapkan balasan.
Terkait refleksi filosofis ini, ada satu pertanyaan urgen yang diajukan Levinas berkenaan dengan masa lalunya yang kelam:
“Bagaimana bisa seseorang dapat menjadi
demikian ‘berbeda’ dari yang lain, hingga karena perbedaan-perbedaan itu
seseorang tak lagi dianggap sebagai manusia, dan dengan mudah
dihilangkan nyawanya?”
Pertanyaan ini merupakan manifestasi
pemberontakan Levinas atas kenyataan pahit bahwa seluruh keluarganya
yang berdarah Yahudi menjadi korban pembantaian Nazi selama Perang Dunia
II.
Dalam kegetirannya, ia pun menyimpulkan
bahwa “kesadaran” menjadi biang dari semua tragedi ini. Kesadaran
bekerja dengan cara mendikotomi antara “Yang sama” dengan “Yang lain”.
“Yang sama” dalam konteks ini, merupakan pikiran atau kesadaran itu
sendiri, kesadaran yang tercetus dari The I (Sang Aku/Ego), sementara
“Yang lain” adalah berbagai objek yang ada di luar kesadaran atau The
I.
Kesadaran murni tak lagi benar-benar
bersifat transenden (mengatasi segala sesuatu), melainkan menemui
wujudnya sebagai “transendensi”, yakni sebuah gerakan mengatasi yang
mengarah ke luar, akan tetapi bakal selalu kembali ke dalam.
Kesadaran murni terjebak pada kesadaran
murni itu sendiri. Sifat kesadaran yang seperti inilah ungkap Levinas,
yang bakal melahirkan kesewenang-wenangan, ia—kesadaran—akan selalu
menyerap dan menyamakan Yang lain sebagaimana dirinya, tanpa berpikir
panjang bahwa dirinya juga merupakan Yang lain bagi Yang lain.
Bukan tak mungkin maraknya persekusi
politik akan dapat berlanjut replikasinya ke Pilkada serentak 2018 dan
pemilu serentak 2019.
Replikasi politik “buntu AKAL SEHAT” terutama bila “buntu daya intelektual” dari kaum politisi jalanan.
Melawan persekusi politik dan terorisme
adalah upaya sadar eksplorasi akal sehat yang selalu tak henti
mengkreasi karya inovatif membangun peradaban bangsa NKRI. Sebaliknya,
membiarkannya terjadi sama saja dengan memunahkan peradaban demokrasi,
mengabaikan hukum, dan mengancam keutuhan NKRI.
0 komentar:
Posting Komentar