Kasus blokir memblokir sudah sampai tahap
klimaks, ibarat melakukan onani pemikiran, para pembenci tak berotak
sudah nyaris ejakulasi. Namun ejakulasi pemikiran akhirnya gagal. Bahkan
ada saja orang yang menyamakan antara Telegram dengan panci.
Sungguh ‘tidak cerdas’ (jika tidak ingin
dikatakan ‘bodoh’) dan tidak berakarnya pemikiran Fadli Zon yang
menyamakan antara software dengan hardware. Telegram itu software, sedangkan panci (pan) itu hardware.
Dua entitas yang jelas berbeda dan tidak bisa disamakan, sedikitpun.
Luar biasa memang pemikiran Fadli Zon yang tak terselami, bukan saking
dalamnya, namun ia memiliki tingkat imajinasi yang tidak manusiawi.
Bisa-bisanya seorang wakil ketua DPR dapat
menyamakan antara Telegram dan panci. Tujuan utama telegram adalah
komunikasi, maka keberadaan Telegram memang harus benar-benar diawasi
oleh pemerintah karena potensi yang besar untuk menyebarkan aksi-aksi
radikalisme baik teks, gambar, maupun video. Namun apakah pemerintah
harus mengawasi keberadaan panci?
Apakah Fadli Zon menganggap bahwa panci
dapat menyebarkan virus-virus radikalisme dan terorisme dengan mudah?
Benar-benar hal yang sederhana, dipikirkan dengan tingkat imajinasi yang
begitu tidak masuk akal. Entah kebencian atau dendam kesumat macam apa
yang dimiliki Fadli Zon kepada pemerintah Indonesia, khususnya Presiden
Jokowi.
Kita tahu bahwa mayoritas pengikut Prabowo
memang memiliki ambisi-ambisi yang besar untuk berkuasa di negara ini.
Dengan kekalahan Prabowo pada tahun 2014, tentu merupakan hantaman telak
dan tinjuan keras tepat di ‘kantong’ mereka.
Biaya yang begitu mahal sudah dikeluarkan.
Investasi besar yang mereka lakukan di dalam iklan untuk berkuasa,
tiba-tiba dihancurkan dengan elegan oleh Jokowi yang jujur, merakyat,
dan sederhana. Inilah yang menjadi sebuah titik mula kebencian para
begundal Prabowo (jika tidak ingin dikatakan ekor) kepada pemerintahan
saat ini. Segala cara pun dilakukan untuk ‘merebut’ kembali negara ini.
Mulai dari Jakarta yang berhasil direbut
dengan penyebaran isu SARA secara terstruktur, sistematis, dan masif.
Lihat saja 58 persen suara yang didapatkan di Jakarta, menjadi sebuah
tanda akan keberhasilan isu SARA di atas hasil kerja dan kepuasan. Hasil
kerja dan kepuasan warga dikalahkan begitu saja oleh isu SARA yang
dikerjakan secara terstruktur, sistematis, dan masif.
Jadi ini harus menjadi perhatian kita
bersama, khususnya para relawan Jokowi, untuk pilpres 2019 kelak. Jika
Jakarta yang adalah kota modern ternyata masih bisa dipengaruhi oleh isu
SARA, tentu daerah-daerah lain lebih mudah dikuasai dengan isu SARA.
Kebahayaan semacam ini tentu harus
dilihat. Kita tahu Ahok dan Jokowi memang dua orang yang jelas berbeda.
Namun apakah tidak mungkin, jika Jokowi akan kalah karena
terpaan-terpaan fitnah yang akan dibuat kelak, secara terstruktur,
sistematis, dan masif? Maka langkah preventif pun harus kita pikirkan.
Setidaknya, kita harus berharap dan mendoakan agar para begundal DPR dan
ekor-ekor dari ‘mantan calon presiden RI’ segera bertobat, karena cara
yang mereka perbuat itu adalah cara yang sangat tidak etis, bahkan
cenderung bau neraka.
Mereka menawarkan sorga di dunia,
sedangkan mereka tidak sadar bahwa mereka sudah membeli tiket ke neraka
dengan menjual murah agama di ranah politik Indonesia. Dengan demikian
kita tahu bahwa cara bermain semacam ini sangat efektif, sekaligus
sangat berbahaya.
Pembaca Seword yang baik, tidak boleh
menjadi pembaca pasif tanpa harus menjadi sebuah agen perubahan. Kita
sebagai rakyat Indonesia, tentu marah jika agama kita dijual murah,
hanya untuk sebuah kekuasaan, bukan? Inilah yang harus diubah di negara
ini. Indonesia harus berubah ke arah yang lebih beradab, bukan biadab.
Ketika kita melihat ketegasan pemerintah
di dalam mempertahankan ideologi, harga diri, harkat, dan martabat
Indonesia, tentu kita harus dukung. Meskipun banyak yang nyinyir
dengan aksi bela negara yang dilakukan oleh Jokowi, kita tentu harus
dengan semangat persatuan membela orang-orang baik yang bekerja untuk
negara.
Setujukah Anda jika rakyat Indonesia
memblokir mulut-mulut para penjajah pikiran yang bercokol di DPR? Di
sana ada wakil kita yang tidak bisa membedakan antara panci dan Telegram
loh. Hahaha.
Rakyat bersama pemerintah harus mempertahankan kedaulatan NKRI dan ideologi Pancasila di bumi pertiwi Indonesia!
Betul kan yang saya katakan?
0 komentar:
Posting Komentar