Pemerintah saat ini menutup aplikasi
Telegram meski baru sebatas yang di web saja. Namun banyak orang yang
ramai membicarakannya padahal menurut data pengguna Telegram di
Indonesia masih sedikit. Lalu bagaimana cerita mengenai percakapan di
grup teroris pada aplikasi Telegram?
berdasarkan peneliti Nava Nuraniyah
dari Institute for the Policy Analysis of Conflict (IPAC)—organisasi
yang intens meneliti ekstremisme dan terorisme, sebelumnya para teroris
menggunakan WhatsApp untuk berkomunikasi. Namun karena WhatsApp bisa
disadap oleh Polisi maka mereka pindah menggunakan aplikasi Telegram
yang lebih aman.
Menurut Nava ia pernah mencoba menyusup ke
dalam grup teroris di Telegram. Karena Telegram bisa menampung 10 ribu
anggota maka percakapan menjadi ramai. Ada grup besar dan grup kecil.
Grup-grup besar biasanya digunakan untuk propaganda. (nasional.tempo.co)
Di grup Telegram, kata Nava, Bachrun Naim, dedengkot teroris jaringan ISIS, biasanya mempublikasikan tanya-jawab hasil konsultasi orang-orang dengannya yang memakai jalur pribadi. “Misalnya, ada yang gagal membuat bom, lalu berdiskusi dengan Bachrun, percakapan itu ia teruskan ke grup,” ujarnya.Grup yang diikuti Nava Nuraniyah dua kali dibekukan Telegram. Namun, ketika satu grup dibekukan, para teroris itu membuat grup lain. Mereka pun meneruskan percakapan di sana. Menurut Nava, kemudahan membentuk grup di Telegram membuat pembekuan tak menghentikan percakapan para teroris, seperti pembekuan situs-situs radikal.Kementerian Komunikasi pernah memblokir 22 situs yang dianggap menyebarkan paham radikal yang berbahaya, salah satunya Arrahmah.com. Namun saat ini situs itu ternyata beroperasi lagi. Bahkan, di versi telepon selulernya, ada banner yang mengajak bergabung dengan channel aplikasi Telegram mereka. Ketika diklik, kita akan langsung tergabung di saluran itu. “Kami akan cek lagi,” kata Semuel.
Ternyata penggunaan Telegram oleh ISIS sudah ramai dikabarkan oleh media-media asing.
Teroris ISIS menggunakan kanal-kanal pada
aplikasi Telegram untuk memperlihatkan pembantaian yang mereka lakukan
dan untuk memberik instruksi pada pengikutnya bagaimana cara menyerang
Amerika dengan senjata kimia. (washingtontimes.com)
Pengikut ISIS yang melakukan serang di
Paris tahun 2015 menggunakan Telegram untuk menyebarkan propagandanya.
ISIS juga menggunakan aplikasi tersebut utnuk merekrut pelaku
penyerangan sebuah pasar saat Natal di Berlin tahun lalu dan juga
mengklaim pembantaian tersebut. Akhir-akhir ini aparat di Turki
menemukan bahwa pelaku penembakan saat tahun baru di Reina sebuah klub
malam di Istanbul, menggunakan Telegram untuk menerima arahan dari
pemimpin ISIS di Raqqa. (vox.com)
Pengguna di Telegram dapat berkomunikasi
dalam kanal, grup, pesan pribadi, atau obrolan rahasia. Sementara kanal
terbuka bagi siapa saja untuk bergabung (dan karenanya digunakan oleh
kelompok teroris untuk menyebarkan propaganda), Terdapat juga chat
rahasia yang hampir tidak mungkin dipecahkan karena dilindungi oleh
bentuk enkripsi yang canggih.
Kombinasi dari fungsi yang berbeda dalam
satu platform yang membuat kelompok seperti ISIS menggunakan Telegram
sebagai “pusat komando dan kontrol,” kata Parker seorang peneliti senior
di TAPSTRI, kelompok peneliti teroris. “Mereka berkumpul di Telegram,
lalu mereka kirim ke berbagai platform. Informasi dimulai di Telegram,
lalu menyebar ke Twitter, Facebook. ”
Telegram mengintegrasikan beberapa fungsi
penting ke dalam satu platform yang menarik bagi kelompok seperti ISIS,
ujar Parker. Tapi bukan fungsi tersebut yang diperhatikan oleh
pemerintah. Pemerintah cenderung lebih memperhatikan satu fungsi
Telegram yaitu fungsi chat rahasianya.
Chat rahasia dilindungi oleh enkripsi
end-to-end. Cara kerjanya adalah setiap pengguna diberi kunci digital
yang unik saat mereka mengirim pesan. Untuk mengakses pesan itu,
penerima harus memiliki kunci yang sesuai dengan pengirimnya secara
tepat, sehingga pesan dari salah satu pengguna hanya dapat dibaca oleh
penerima yang dimaksud. Hal ini membuat hampir tidak mungkin bagi
perantara seperti polisi atau badan intelijen untuk mengakses arus
informasi antara pengirim dan penerima.
Bahkan jika polisi dapat mengidentifikasi
siapa yang berbicara kepada siapa, dan dari mana, mereka tidak memiliki
cara untuk mengetahui apa yang mereka katakan satu sama lain.
Sebenarnya, karena enkripsi terjadi secara langsung di antara kedua
pengguna, bahkan Telegram sendiri tidak memiliki cara untuk mengetahui
apa yang ada dalam pesan ini.
Telegram bukan satu-satunya aplikasi
perpesanan yang menggunakan enkripsi end-to-end (yang lain termasuk
WhatsApp dan Viber), namun aplikasi Telegram sangat berkomitmen untuk
melindungi privasi sehingga ia selangkah lebih maju dengan fungsi yang
canggih seperti penghitung waktu penghancur diri. Sebelum pengguna
mengirim pesan ke chat rahasia, mereka dapat memilih untuk mengatur
penghitung waktu sendiri di dalamnya, yang berarti bahwa beberapa saat
setelah pesan telah dibaca, secara otomatis dan permanen menghilang dari
kedua perangkat.
Jadi memang sudah cukup lama Telegram ini
diketahui digunakan oleh teroris untuk berkomunikasi karena memiliki
berbagai kelebihan. Terutama fungsi chat rahasia-nya yang bisa diatur
untuk hilang dari perangkat penerima dan pengirim, semacam self destruct
timer. Ini tentu menyulitkan pihak pasukan anti teror untuk melakukan
antisipasi serangan teroris.
Santai saja, masih banyak aplikasi chat lainnya.
Begitulah kelelawar.
0 komentar:
Posting Komentar