Problem besar bangsa ini sekarang bukan
hanya tentang korupsi dan teman-temannya. Bukan hanya kemiskinan dan
kesenjangan ekonomi. Tetapi juga radikalisme dan intoleransi. Sehingga
untuk mengatasi semua itu, yang harus gencar dilakukan bukan saja upaya
pemberantasan korupsi, peningkatan kesejateraan, keadilan dan
kemandirian ekonomi, tetapi juga upaya serius dan berkelanjutan untuk
menangkal dan mengikis radikalisme dan intoleransi yang dalam satu
dekadean tumbuh dan berkembang cukup mengkhawatirkan di negeri ini.
Akibat dari radikalisme itu, kita
saksikan, terjadi banyak tindakan teror yang berulang-ulang. Dan tidak
kalah mengkhawatirkan, aksi dan tindakan teror ini bukan lagi bersifat
lokal, tetapi terlihat sebagiannya berkoneksi secara global. Tindakan
teror tidak lagi sekadar manifestasi di tingkat lokal-nasional, tetapi
juga terkait dengan isu-isu global.
Secara institusional kita sudah memiliki
lembaga resmi BNPT, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Namun tentu
saja ini sangat belum cukup. Upaya untuk menangani dan menangkal bahaya
terorisme adalah kewajiban semua stakeholder bangsa ini. Bukan hanya
pemerintahan saja, tetapi juga dalam konteks masyarakat sipil. Tidak
hanya melalui pendekatan politis dan penegakan hukum, tetapi juga harus
melalui pendekatan budaya dan pendidikan.
Hal yang terakhir inilah yang sekarang
sedang digalakkan dan diperjuangkan oleh Bupati Purwakarta Istimewa,
Dedi Mulyadi. Sebenarnya Purwakarta adalah sebuah DT II yang terkecil di
Jawa Barat. Populasinya paling kecil, APBD-nya paling kecil. Ia baru
kalah kecil dari Pangandaran setelah ia memisahkan diri dari kabupaten
Ciamis. Akan tetapi, sekalipun Purwakarta saat ini merupakan Daerah
Tingkat II terkecil setelah Pangandaran yang baru memisahkan diri, namun
gebrakan, terobosan dan inovasinya di berbagai sektor sudah menjadi
perbincangan nasional. Media massa terutama online kini bahkan banyak
yang mempublikasikannya. Boleh dikatakan, sekarang ini selalu ada berita
dari Purwakarta, dari Dedi Mulyadi. Dan ia menjadi salah satu inspirasi
kepemimpinam ideal di negeri kita saat ini. Corak, gaya, inovasi dan
narasi besarnya turut mengilhami masyarakat, bahkan sejumlah kepala
daerah lain.
Secara garis besar, publik sekarang sudah
mafhum bahwa Dedi sedang mengusung narasi besar kebudayaan sebagai
strategi membangun daeragnya, khususnya daerah Purwakarta yang ia
pimpin. Narasi ini pula yang ia terus tawarkan kepada masyarakat umum
secara luas. Baik untuk peningkatan kualitas kesejahteraan ekonomis,
kemandirian politis, strategi penegakan hukum, menjaga dan memanfaatkan
sumberdaya alam, maupun strategi peningkatan sumberdaya manusia.
Termasuk dalam hal pencegahan dan pengikisan bahaya radikalisme dan
intoleransi di daerahnya.
Beberapa waktu yang lalu Ki Sunda Dedi
Mulyadi melakukan sejumlah gebrakan dan kebijakan. Misalnya, anak-anak
sekolah di Purwakarta diajarkan dan dididik bagaimana hidup dalam
toleransi yang riil. Anak-anak berbeda agama melakukan makan bersama, di
setiap sekolah disediakan tempat ibadah untuk semua agama (di mana
siswanya ada perbedaan agama). Selanjutnya Ki Sunda ini juga merangkul
mantan napi terorisme yang sudah bertaubat dan “terbimbing” olehnya
untuk turut mengikis radikalisme di Purwakarta. Kang Dedi juga
mendirikan sekolah untuk mengatasi radikalisme dan intoleransi.
Yang terbaru, upayanya untuk hal ini
adalah ia menyelenggarakan Musabaqah Tilawah Kitab Kuning di Purwakarta,
pada hari Minggu kemarin, 16 April. Acara lomba memahami Kitab Kuning
yang bekerjasama dengan Kordinasi Nasional Garda Bangsa ini, bukan
sebuah acara sembarangan tanpa konsep dan visi. Ini bukan acara
gagah-gagahan, apalagi untuk mencari muka di mata publik. Dia mengadakan
acara ini salah satunya adalah untuk mengikis radikalisme dan
intoleransi di daerahnya.
Acara lomba di Purwakarta ini memang yang
pertama kali diadakan di Indonesia, yang diadakan oleh sebuah
pemerintahan. Tetapi visi besarnya tentu diharapkan bisa menginspirasi
berbagai upaya untuk menangkal radikalisme secara nasional. Pemda lain
bisa saja mengikutinya suatu saat dengan penyempurnaan. Bahkan pemprov
hingga pemerintahan pusat melalui kementerian agama.
Yang perlu dipahami adalah apa keterkaitan
antara Kitab Kuning dengan pencegahan radikalisme dan intoleransi. Nah
ini yang perlu publik ketahui.
Seperti kita pahami dan yakini, bahwa
keadilan itu dimulai dari pikiran. Begitu pula radikalisme dan
intoleransi, dimulai dari pikiran pelakunya. Tindakan dan aksi teror
takkan terjadi dari orang-orang yang pikirannya toleran dan rahmatan lil
alamin. Sehingga, untuk memberantas radikalisme itu bukan saja secara
fisik berupa penegakan hukum. Tetapi yang lebih penting, bahkan sangat
penting, adalah memperbaiki pikiran orang-orang agar berpikir benar, dan
terjauhkan dari cara berpikir intoleran dan teror.
Nah, untuk hal itu, berarti yang harus
dibangun adalah pikirannya, mind setnya, pemahamannya. Dan tentang
pemahaman keagamaan umat Islam, para ulama dahulu sudah banyak menulis
dan membahas ilmu dan pemahaman keagamaan dalam berbagai kitab yang
sangat kaya raya. Dalam kitab-kitab itu para ulama banyak mengulas dan
mendaras Kitab Suci Al-Quran dengan sangat luas, dan juga beragam.
Karena luas dan beragamnya, maka antara para ulama bisa terjadi
perbedaan pendapat dalam memahami ayat-ayat Kitab Suci. Dan luar
biasanya, mereka saling menghargai, tidak saling menjegal. Nah,
perbedaan pendapat mereka itu terekam dalam kitab-kitab mereka, yang
dalam tradisi Nusantara disebut dengan Kitab Kuning.
Sayangnya, keragaman pendapat para ulama
terdahulu tentang Islam dan Al-Quran tidak diketahui oleh masyarakat
awam. Publik kebanyakan hanya cenderung mengetahui Islam secara homogen
dan seragam. Parahnya, keseragaman itu disampaikan oleh kalangan yang
sama-sama “awam” yang berbungkus atribut keustadzan atau sejenisnya.
Lebih parah lagi, mereka mengajarkan sikap merasa diri paling benar dan
lalu mengkafirkan orang lain yang berbeda pendapat.
Dari sinilah awal munculnya intoleransi
yang membahayakan harmoni sosial keagamaan itu. Intoleransi dimulai dari
keawaman dalam memahami teks-teks agung Kitab Suci. Malangnya lagi,
kondisi ini terjadi sudah cukup lama, dan masih berlangsung.
Mungkin ada yang menanggapi secara nyinyir
kegiatan Musabaqah Tilawah Kitab Kuning yang Kang Dedi lakukan. Mereka
bisa mempertanyakan mengapa Kang Dedi tidak mengadakan Musabaqah
Tilawatil Quran (MTQ). Mengapa kitab kuning, bukan Al-Quran? Nah ini
dia. Ini ciri khas kenyinyiran sebuah kaum yang merasa diri paling
Islami dan berpegang pada Al-Quran.
Perlu diketahui, kegiatan semacam MTQ itu
sudah umum dan biasa. Sebelum ada acara MTQ tingkat nasional, setiap
kabupaten mengirimkan kafilah peserta untuk mengikuti Seleksi MTQ
terlebih dahulu, tidak terkecuali Purwakarta. Bagi kabupaten yang lolos,
mereka bisa mengikuti lomba di jenjang berikutnya.
Jadi, lomba Al-Quran sudah begitu adanya.
Dan follow up dari itu adalah lomba yang lebih spesifik lagi. Yakni
lomba tilawah kitab kuning, karena dalam kitab kuning itulah terdapat
banyak tafsir tentang Al-Quran. Al-Quran adalah kitab suci yang memahami
dan menafsirkannya dibutuhkan banyak disiplin ilmu dan ilmu bantu.
Terjemah saja sangat tidak cukup. Melainkan harus dipahami dengan
sejumlah ilmu lain, yang tersebar dalam banyak kitab kuning, salah
satunya membahas kajian tafsir Al-Quran.
Jika seseorang berhenti hanya pada
terjemahan Al-Quran, maka ia bisa mendapatkan salah paham dan
kesimpulan. Seperti hal yang berkaitan dengan polemik al-Maidah 51 saat
ini, itu karena sebagian kaum memahaminya hanya lewat terjemahan, di
mana kata awliya hanya dipahami sebagai “pemimpin” menurut versi
penerjemah. Padahal dalam kajian tafsir, kata dalam al-Maidah 51 itu ada
asbabun nuzulnya, ada konteksnya. Seperti menurut Kyai Ahmad Ishomudin,
dari sekitar 30 an buku tafsir yang beliau baca, makna awliya dalam
al-Maidah 51 itu bukan tentang pemimpin, melainkan tentang teman setia
atau sekutu dalam perang.
Karena sebagian kaum hanya membaca dan
memahami kata itu dari terjemahan, maka muncullah kontroversi
menegangkan hingga saat ini. Apalagi dimotivasi oleh dorongan-dorongan
politis. Termasuk Zakir Naik, ketika berkomentar tentang ayat ini saat
kunjungannya ke sini, juga nampak bahwa dia mengandalkan terjemahan atau
makna homogen kata awliya tanpa pendekatan asbabun nuzul.
Jadi, kesimpulannya, untuk memahami
Al-Quran dan Islam itu tidak cukup hanya melalui terjemahannya.
Melainkan sangat perlu mempelajari banyak buku dan ilmu lain
mengenainya, yang terdapat dalam banyak Kitab Kuning. Di sinilah
relevansinya mengapa Kang Dedi melombakan bacaan kitab kuning di
Purwakarta. Dan perlu diingat, lomba ini diadakan salah satunya setelah
sebelumnya Kang Dedi mengharuskan sekolah-sekolah di daerahnya untuk
membaca Kitab Kuning, bagi siswa-siswa Muslim. Sedangkan bagi siswa non
Muslim Kang Dedi mengharuskan mereka mempelajari Kitab Suci
masing-masing di sekolah.
Lomba Kitab Kuning bukanlah sebuah akhir.
Ini adalah motivasi agar masyarakat Muslim mulai membaca dan mengkaji
kitab kuning yang beragam. Pertama, agar mengetahui apa maksud dari
Al-Quran dan Islam. Kedua, agar memahami keragaman pemahaman para ulama
zaman dahulu, di mana mereka sendiri saling menghargai. Tujuan
berikutnya adalah agar benih-benih radikalisme dan intoleransi itu
terkikis, sehingga pikiran masyarakat menjadi terbuka, lapang, saling
menghargai dan toleran.
Inilah manifestasi dari cara dan
pendekatan budaya untuk menanggulangi bahaya radikalisme dan intoleransi
di negeri ini. Yang digagas oleh Dedi Mulyadi, Ki Sunda dari
Purwakarta.
Selamat dan sukses, bagi semuanya. Juga
bagi empat orang peserta dan satu orang juri yang mendapatkan hadiah
Umrah dari ajang lomba ini.
Sampurasun…
0 komentar:
Posting Komentar