Kejadian
teror akhir-akhir ini sangat terasa di negeri tercinta kita bernama
Indonesia. Keliatan tuh bahaya begitu dekat di depan mata kita.
Belum lama terjadi ledakan bom panci di Bandung. Untunglah tidak
sampai memakan korban jiwa. Ledakan bom terjadi secara tidak sengaja
di rumah kontrakan karena kesalahan teknis. Terduga pemilik bom panci
masih dalam penyelidikan polisi.
Sementara ini, kita pindah ke topik lain.
Presiden Jokowi akhirnya barulah yakin dan mantap, setelah mendapat banyak dukungan dari PBNU beserta berbagai organisasi Islam. Masyarakat pada umumnya kurang sreg dengan keberadaan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) .
Presiden Jokowi akhirnya barulah yakin dan mantap, setelah mendapat banyak dukungan dari PBNU beserta berbagai organisasi Islam. Masyarakat pada umumnya kurang sreg dengan keberadaan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) .
Akhirnya peraturan pemerintah dibuat
karena pembubaran HTI terhambat oleh UU Organisasi Masyarakat. Kalau
mengacu UU Organsiasi masyarakat, pembubaran HTI haruslah melalui proses
panjang di pengadilan. Pengadilan demi pengadilan, kapan jadinya
pembubaran HTI. Padahal HTI jelas-jelas membahayakan keamanan
Indonesia. Karena paham / ideologi HTI sangat amat bertolak belakang
dengan ideologi Indonesia , Pancasila. Paham HTI cenderung menjurus
radikalisme, merusak budaya yang sudah lama mengakar di kehidupan
masyarakat Indonesia yang tenang , bersatu dan damai.
Dalam UU Organisasi Masyarakat, tidak ada
pasal pembubaran aliran Islam/organisasi masyarakat yang dipandang
membahayakan negara atau bertentangan dengan Pancasila. Cuma yang ada
adalah pasal pembubaran aliran komunis atau organisasi yang
berpaham/berhaluan sosialis.
PBNU dan berbagai ormas Islam mendesak
pemerintah , khususnya Presiden Jokowi agar cepat ambil langkah tegas
dalam pembubaran HTI. Karena selama ini , pemerintah dirasa sangat
lamban , bahkan kurang tegas dalam pembubaran HTI.
Presiden Jokowi barusan menandatangani
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) “Pembubaran
Organisasi Masyarakat (ormas)”. Dan diumumkan langsung oleh Menteri
Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto . Seiring
pengumuman tersebut, pembubaran HTI sudah permanen dan keberadaan HTI
dihilangkan dari kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.
Perppu “Pembubaran Ormas” mempertegas
penegakan hukum untuk membubarkan organisasi masyarakat (ormas) yang
dipandang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila dan semboyan Bhinneka
Tunggal Ika. Bahkan organisasi masyarakat dibekukan langsung tanpa
harus melalui pengadilan terlebih dahulu.
Tidak hanya HTI, organisasi masyarakat
yang lain juga bisa menyusul dibubarkan apabila dipandang bertentangan
dengan Pancasila dan UUD 45.
Perppu memang sangatlah perlu dibuat oleh
Presiden / Pemerintah pusat untuk hendaknya digunakan sementara UU belum
dibuat/UU belum direvisi. UU adalah perundangan yang dibuat oleh MPR
dan pemerintah.
Pembubaran HTI dan organisasi masyarakat
yang anti Pancasila dan UUD 45 menjadikan negara aman dari radikalisme .
Masyarakat di Indonesia terlindungi, terutama warga minioritas etnis/suku dan agama .
Untunglah, langsung terbit Perppu
“Pembubaran Organisasi Masyarakat” tanpa harus menunggu MPR. Bahkan
Fadli Zon pesimis kalau MPR bisa bikin UU “Pembubaran Organisasi
Masyarakat”. Pesimis nya Fadli Zon , bisa dibaca di http://nasional.kompas.com/read/2017/07/12/09251421/fahri.hamzah.pesimistis.perppu.ormas.lolos.di.dpr
Nah, sekarang Indonesia dihadapkan kepada
kemungkinan masuknya teroris yang berafiliasi ISIS dari Filipina. Di
Kota Marawi,di pulau selatan Minadanao , Filipina sekarang masih dalam
kondisi kacau balau karena terjadi baku tembak antara pasukan pemerintah
Filipina dan kelompok militan Maute. Maute adalah kelompok yang
terbentuk pada tahun 2012 dan telah bersumpah setia kepada ISIS pada
tahun 2015.
Baku tembak terjadi , diawali perintah
penangkapan seorang pemimpin kelompok militan Maute bernama Isnilon
Hapilon. Para militan Maute menduduki kota Marawi dengan awalnya
membakar sejumlah bangunan termasuk katedral Katolik dan tempat tinggal
uskup.
Tidak hanya membakar sejumlah bangunan,
para militan juga menyandera ratusan warga sipil, untuk dijadikan
sebagai perisai manusia , pembawa amunisi dan penghalang serbuan tentara
Filipina. Beberapa warga Indonesia terjebak di kota Marawi.
Entahlah , gimana kabar warga Indonesia yang terjebak ?
Para militan Maute tidak hanya dari
Filipina saja. Ada yang berasal dari Indonesia , Singapura , Malaysia
dan negara lain yang tidak disebutkan . Kelompok militan Maute yang
berafiliasi ISIS hendaknya mendirikan propinsi ISIS di Filipina.
Sampai sekarang , konflik bersenjata di
kota Marawi masih terjadi. Tentara Filipina alami kesulitan
menghentikan konflik , karena strategi militan Maute selalu berpindah
dari rumah ke rumah, menggunakan warga sebagai perisai, posisinya selalu
di atas perbukitan. Serta persenjataan kelompok militan Maute cukup
canggih, yang diperoleh dari hasil tebusan penyanderaan warga asing.
Kelompok militan Maute selalu cari sandera warga asing , tujuannya
memperoleh uang tebusan yang dipakai untuk membeli persenjataan canggih.
Akibatnya, tentara Filipina agak repot
menghadapi kelompok militan Maute bersenjatakan canggih. Tentara
Filipina tidak akan menyerah begitu saja. Mulai diperkuat angkatan
udara Filipina untuk memudahkan penyerangan tentara Filipina, dengan
membeli pesawat militer baru dari Korea selatan.
Tentara Indonesia sudah siaga penuh di
perbatasan laut Philipina – Indonesia. Tetapi tidak akan campuri
urusan tentara Filipina, cuma sebatas berkomunikasi. Untuk mencegah
bangunnya militan ISIS di Indonesia yang tadi tiarap, dibutuhkan hukum
yang kuat. Hukum / perundangan yang berlaku di Indonesia kurang
maksimal, sehingga perlu direvisi.
Undang-undang yang berlaku sekarang yaitu
UU “Anti Terorisme” , sangat terbatas sehingga menyulitkan POLRI dan TNI
menangkap calon militan ISIS yang dirasa akan membahayakan keamanan.
Hanya bisa menangkap militan ISIS kalau sudah terjadi ledakan bom atau
penembakan.
Ada baiknya mencegah jatuh korban tewas
dan jangan menunggu terjadinya ledakan bom , maka UU “Anti Terorisme”
perlu direvisi agar memberi ruang seluas-luasnya bagi Polri dan TNI
untuk mengantisipasi kemungkinan terorisme.
Malah MPR tidak punya semangat untuk
revisi UU “Anti Terorisme”. Karena apa ? Gampang jawabannya ,
tidak ada duit bisa ditilep. Jelas bukan lahan basah …weleleleeeeh.
Presiden Jokowi punya tanggung jawab
tinggi ,pasti tidak mau kelamaan menunggu. Demi kepentingan negara
dan keamanan negara, presiden Jokowi (terpaksa) berani mendahului MPR
bikin perundangan “Anti Terorisme” dengan nama Perppu “Anti Terorisme”.
Sehingga Polri dan TNI bisa bergerak cepat dan segera ambil tindakan
pencegahan , tidak hanya menunggu ledakan bom lalu baru melakukan
penangkapan pelaku teror / pelaku bom .
Kemarin bikin Perppu ‘Pembubaran
Organisasi Masyarakat’, sekarang presiden Jokowi apa perlu ulangi bikin
Perppu lagi dengan tema ‘revisi UU Anti Terorisme’ ? Apa MPR memang
“bodoh” ?
Ibarat lebih baik mencegah daripada
mengobati. Karena mengobati jauh lebih mahal daripada mencegah. Nah
, mencegah terjadinya terorisme, jauh lebih baik karena tidak perlu
jatuh korban jiwa yang tidak berdosa. Sedangkan kalau sudah terjadi
ledakan bom , barulah tangkap pelaku…namanya telat dan konyol, karena
jelas banyak korban jiwa yang tidak berdosa. Dan mengganggu
ketenangan masyarakat.
Kami tidak keberatan kalau anggota MPR
jadi korban buuuuum …abis tuh buang-buang uang negara. Apalagi
kerjanya hanya tidur melulu. Terlebih lagi, tidak punya empati
sedikit pun terhadap rakyat.
Otak cangkok saya jadi rindu Gus Dur… pernah mau bubarkan MPR.
0 komentar:
Posting Komentar