Tiga anggota polisi tewas dan 10 orang
lainnya mengalami luka-luka akibat bom bunuh diri yang dilakukan di
Kampung Melayu, Jakarta Timur. Dua orang lainnya, yang diduga merupakan
pelaku bom bunuh diri, juga tewas. Majelis Ulama Indonesia (MUI)
mengutuk keras bom bunuh diri tersebut.
MUI menyatakan, kekerasan atas nama agama
tak bisa dibenarkan. “MUI mengutuk keras pelaku bom di Kampung Melayu.
Tindakan tersebut sangat biadab dan jauh dari nilai-nilai agama,” ujar
Waketum MUI Zainut Tauhid Sa’adi dalam pernyataanya. Menurut Zainut, bom
bunuh diri tersebut merupakan tragedi kemanusiaan yang sangat keji dan
memilukan.
Sementara itu, HM Baharun, Guru Besar
Sosiologi Agama yang juga Ketua Komisi Hukum MUI Pusat juga mengecam
aksi bom bunuh diri tersebut. “Terorisme dan kekerasan atas nama agama,
dengan pembunuhan secara sadistis dan kerusakan, jelas merupakan
kejahatan kemanusiaan yang tidak bisa dibenarkan. Siapapun pelakunya
pasti ini adalah kejahatan kemanusiaan yang tidak bisa ditoleransi.
Agama apapun tidak dapat membenarkan berbuat kezaliman seperti ini.”
MUI sendiri sudah menetapkan dalam fatwa
Nomor 3 Tahun 2014 bahwa terorisme adalah tindakan kejahatan terhadap
kemanusiaan dan peradaban yang menimbulkan ancaman serius terhadap
kedaulatan negara, bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta
merugikan kesejahteraan masyarakat.
MUI wajar segera bereaksi karena pandangan
umum memang segera mengarah kepada kelompok Islam. Apalagi, beragam
rentetan kejadian sebelumnya di pelbagai belahan dunia lain, seperti
yang terjadi di General Santos (Filipina), Bari (Somalia), dan
Manchester (Inggris), diakui dilakukan oleh orang Islam atau organisasi
yang mengasosiasikan dirinya dengan Islam.
Serentetan aksi terorisme di dalam negeri
pun tidak pernah dapat dilepaskan dari nama Islam, dengan beragam nama,
afiliasi, agenda, dan cara. Karenanya, tidaklah mengherankan jika
kemudian ada yang bertanya, “Apakah Islam mengajarkan kekerasan dan
terorisme?”
Pertanyaan lanjutan yang diajukan adalah,
“Bagaimana Islam diajarkan di negeri ini. Apakah dengan sudut pandang
radikal?” Tahun lalu, misalnya, buku-buku berbau ajaran kekerasan dan
radikalisme ditemukan GP Ansor Cabang Kota Depok di beberapa TK/ PAUD di
Kota Depok. Buku berjudul “Anak Islam Suka Membaca” ini sangat
berbahaya jika dipelajari oleh anak usia dini.
Pada jilid 2 halaman 28 buku tersebut
terdapat unsur caci maki. Kemudian pada jilid 3 halaman 5 terdapat kata
“di sini ada belati”; halaman 9 terdapat kata “gegana ada dimana”;
halaman 18 terdapat kata “rela mati bela agama”; halaman 27 terdapat
kalimat “bila agama kita dihina kita tiada rela, lelaki bela agama,
wanita bela agama, kita semua bela agama, kita selalu sedia jaga agama
kita demi ilahi semata”; halaman 30 terdapat kata “bahaya sabotase”;
halaman 45 kalimat “topi baja kena peluru”; halaman 50 kalimat “bazooka
dibawa lari”.
Selanjutnya pada jilid 4, halaman 5
terdapat kata “jihad”; halaman 12 terdapat kata “bom”; halaman 15
terdapat kata kafir; halaman 20 terdapat kalimat “berjihad di jalan
dakwah”; dan pada halaman 26 terdapat kalimat “hati-hati man haj batil”.
Tentu saja, contoh serupa mudah kita temukan di tempat lain dengan
buku-buku yang lain.
Selain itu, pembiaran tumbuhnya
benih-benih radikalisme juga tampak di sekitar kita. Belum lama ini
dalam pergelaran pilkada DKI Jakarta, misalnya, serangkaian demonstrasi
massa yang mengaku membela Islam membawa beragam spanduk dan meneriakkan
kata-kata mengerikan, seperti ancaman membunuh, menggantung,
mengganyang, serta menghalalkan darah orang dan kelompok masyarakat
yang mereka anggap lawan.
Sayangnya, praktik-praktik yang sangat
jauh dari ajaran Islam yang benar itu berlangsung terus menerus, tanpa
pernah ada upaya pencegahan atau pelarangan dari para pemimpin
demonstrasi yang mengaku ulama. MUI pun, yang mengklaim diri sebagai
lembaga yang mewadahi ulama di Indonesia tak pernah sekali pun bersuara
menyatakan kecaman, apalagi larangan, terhadap ujaran-ujaran kebencian
dan spanduk-spanduk provokatif dan intimidatif yang merusak citra Islam
itu.
Praktik pembiaran atas perilaku radikal
seperti itu, secara langsung maupun tidak langsung telah mempengaruhi
umat Islam, apalagi banyak di antara peserta demonstrasi masih berusia
sangat belia. Karena tiadanya larangan dari ulama dan MUI, yang patut
dikhawatirkan adalah apabila mereka kemudian menganggap praktik-praktik
kebencian, radikalisme dan terorisme adalah bagian dari ajaran Islam.
0 komentar:
Posting Komentar