“My loyalty to my party ends when my loyalty to my country begins.“
(Manuel L Quezon, Presiden Persemakmuran Filipina 1935-1944)
Wakil Ketua DPR kita yang terhormat,
Saudara Fadli Zon –seperti dilansir dari merdeka.com- menganggap bahwa
keberadaan Perppu ini cacat. Menurutnya, dari sisi prosedural, Perppu
Nomor 2 Tahun 2017 tidak memenuhi syarat yang ditentukan undang-undang.
Misalnya dalam pasal 22 UUD 45 disebutkan Perppu bisa diterbitkan ketika
kondisi negara sedang genting. “Negara ini tidak genting jadi tidak memenuhi syarat,” ujar dia.
Entah apa yang ada di benak Wakil Ketua
DPR yang terhormat, Saudara Fadli Zon menyikapi aksi intoleransi dan
berjamurannya ormas-ormas radikal di tanah air. Terbersitkah dalam
pikirannya, betapa semenjak reformasi, banyak ormas-ormas yang berlatar
keagamaan berdiri dan berkembang. Di satu sisi hal itu merupakan dampak
positif dari era demokratisasi. Tapi di sisi lain, sebagian dari mereka
menggerogoti demokrasi itu sendiri.
Dan selama ini pemerintah banyak
mendiamkan kasus-kasus yang banyak melibatkan ormas-ormas tersebut.
Tindakan semena-mena, persekusi dan intoleransi kerap berulang,
sementara sanksi hanya berkisar pada oknum-oknumnya bukan pada
organisasi-organisasi yang melakukan tindakan-tindakan seperti itu.
Belum lagi ditambah, ormas-ormas yang
jelas-jelas membahayakan kehidupan bernegara, karena mereka bercita-cita
untuk merubah ideologi negara, menganggap pemerintah sebagai “Thogut”
yang tidak boleh ditaati. Mencemooh dan mengkafirkan sistem demokrasi,
namun mereka turut menikmati proses demokrasi yang tengah terjadi di
tanah air.
Pendiaman dan pembiaran ini mulai sangat
dirasakan di tengah masyarakat kita yang majemuk. Persekusi atas nama
mayoritas menimpa kelompok-kelompok minoritas. Masyarakat kita yang
sejak zaman dahulu terkenal tinggi akan nilai toleransinya mulai
mengalami keretakan karena ulah ormas-ormas ini. Beberapa provinsi
bahkan selama bertahun-tahun menjadi jawara dalam hal intoleransi. Dan
pemerintah daerahnya mendiamkan predikat buruk ini tanpa ada usaha
perbaikan.
Radikalisme dan fundamentalisme kemudian
berujung menjadi tindakan dan aksi terorisme. Semenjak bom Bali, praktek
terorisme di negeri ini tak kunjung berakhir. Salut dan apresiasi yang
tinggi untuk Densus 88 Anti Teror yang sudah banyak memberangus dan
menghancurkan sel-sel teroris. Namun, jika kita membiarkan Densus 88
bekerja sendiri maka akan kewalahan.
Kewalahan, karena sejatinya usaha
pemberantasan terorisme adalah kerja dan komitmen semua pihak.
Pemerintah dengan demikian harus membuat antisipasi pencegahan agar
kejadian yang sama tidak berulang-ulang. Aksi teror di Kampung Melayu,
penerobosan teroris ke Markas Kepolisian di Polda Sumut dan terakhir
penusukan anggota Brimob di masjid Falatehan menunjukkan bahwa sel-sel
teroris masih hidup, bahkan aksi-aksi “lone wolf” ini
disinyalir akan terus dilakukan. Menurut Kapolri Jenderal Tito
Karnavian, saat ini berkembang gerakan teroris nonstruktur, tanpa
pemimpin dan bergerak sendiri atau dikenal dengan istilah Lone Wolf (serigala sendiri) (merdeka.com).
Maka, tak aneh dan wajar jika kemudian
pemerintah dan Presiden dalam hal ini mengeluarkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan
atas UU Nomor 17 tahun 2013 tentang Ormas. Yang tidak wajar dan aneh
adalah jika pemerintah dan Presiden tidak melakukan apa-apa. Apalagi
fakta-fakta di lapangan membuktikan bahwa Ormas ini menjadi semakin
relevan di saat ini.
Berita terbaru yang kita baca dari media
disebutkan bahwa banyak anggota militan asing ISIS yang berhasil
ditangkap aparat Turki merupakan WNI. Dan yang mencengangkan, jumlah
mereka di urutan kedua ! Menurut Kementerian Dalam Negeri Turki, semua
WNI tersebut ditangkap karena terbukti sebagai anggota dan simpatisan
ISIS.
Jumlah tersebut menempatkan Indonesia di
posisi kedua sebagai negara ‘penyumbang’ teroris dan simpatisan ISIS. Di
peringkat teratas terdapat nama Rusia. Pihak berwajib Turki, mengklaim
telah menangkap 804 militan ISIS asal Rusia. Hal tersebut terungkap dari
pernyataan yang dirilis oleh Kementerian Dalam Negeri Turki, belum lama
ini. Seperti dirilis News Com Au, Turki dikabarkan telah melakukan
penahanan terhadap 435 warga negara Indonesia (WNI).
Dapat dibayangkan, alumni-alumni ISIS ini
jika kembali ke tanah air, mendirikan ormas dan menyebarluaskan paham
keji mereka. Jika tidak ada rambu-rambu dalam ke-ormasan maka
diibaratkan sebuah pertandingan sepak bola tanpa penjaga gawang. Kita
akan terus kebobolan oleh aksi-aksi teroris.
Sekarang bukan waktunya untuk selalu
menyerang kebijakan pemerintah. Betapapun, posisi Saudara Fadli Zon dan
partainya berada di luar pemerintah dan mendeklarasikan sebagai
“oposisi” namun tidak berarti membiarkan dan mengabaikan kepentingan
yang jauh lebih besar, yakni keselamatan negara dari rongrongan ormas
intoleran yang maksud dan tujuan mereka berdiri jelas-jelas hendak
menggantikan ideologi negara ini.
0 komentar:
Posting Komentar