Singkat saja, aku ingin menuliskannya.
Menganggap elit Islam otomatis benar, dan tidak mungkin salah, tentu menyalahi prinsip dalam Islam yang menganggap manusia sebagai rumah kesalahan. Menganggap keturunan Nabi atau keturunan Ulama lebih tinggi derajatnya ketimbang manusia lainnya juga menyalahi prinsip dalam Islam yang memerintahkan untuk memuliakan semua manusia, tanpa memandang ras dan agamanya.
Jika tidak, maka kaum muslim akan terus menerus terjebak pada kontradiksi internal antara yang seharusnya dan senyatanya. Jika ini tak bisa dilampaui oleh kaum muslim hari ini, maka kita tak bisa membayangkan akan muncul perdebatan ilmiah yang mampu menjelma obor pencerahan (at-tanwir) bagi matinya kewarasan, sebagaimana dulu, perdebatan antara Al-Ghazali dan Ibn Rusyd. (Roy Murthado)
Kaum fanatik, lebih memilih untuk “percaya” ketimbang “dikaji dan berpikir” terlebih dahulu. Seperti pengikut RS misalnya dalam menanggapi kasus “pornografi”, mereka akan lebih percaya bahwa itu fitnah ataupun rekayasa, karena RS sebut pada pengikutnya bahwa dia dipolitisasi dan dikriminalisasi, namun dengan waktu yang bersamaan mereka (pengikut RS) lupa kalau RS juga manusia biasa. Ini dapat disebut sebagai “Penyakit”.
Begitupun pada pelaku teroris yang berkedok “jihadi”, sebetulnya para pelaku ini juga merupakan korban, yaitu korban doktrin teroris takfiri yang juga dibeking imperium dan zionis. Dan salah satu strategi doktrin tersebut adalah menciptakan watak untuk “percaya”, seperti untuk percaya bahwa bom bunuh diri akan mengantarkannya ke syurga dengan memandang kitab hanya sebatas tekstualitas semata. Maka bukan “nurani” lagi yang dilumpuhkan, melainkan “kewarasan” yang dimatikan.
Sementara dalam konteks Islam, apa yang dikatakan Jibril kepada Muhammad SAW pertama kali adalah “Iqra!” (Bacalah). Dimana dalam artian luas, umat muslim sudah diperintahkan untuk “membaca”, membaca dalam hal ini mempunyai artian luas, yang mana diantaranya membaca tanda-tanda kebesaranNYA, dengan “iqra!” maka manusia akan senantiasa menganalisa, mengkaji, berpikir, bersyukur, dst. Maka yang lantas langsung “percaya” begitu saja dengan ajakan untuk melakukan teror ataupun aksi intoleransi serta saling mengkafiri sesama dengan berbagai pembenaran sepihak, bisa jadi mereka lupakan “iqra!” (Bacalah!), sementara manusia adalah makhluk yang berpikir.
Disisi lain, keinginan mereka menciptakan masyarakat yang “monis” dan menegakkan khilafah. Hal ini sama saja bahwa mereka melupakan kejayaan Islam itu sendiri.
“Khilafah sebagai salah satu sistem pemerintahan adalah fakta sejarah yang pernah dipraktikkan oleh al-Khulafa` al-Rasyidun. Al-Khilafah al-rasyidah adalah model yang sangat sesuai dengan eranya; yakni ketika kehidupan manusia belum berada di bawah naungan negara-negara bangsa (nation states). Masa itu umat Islam sangat dimungkinkan untuk hidup dalam satu sistem khilafah. Pada saat umat manusia bernaung di bawah negara-negara bangsa (nation states) maka sistem khilafah bagi umat Islam sedunia kehilangan relevansinya. Bahkan membangkitkan kembali ide khilafah pada masa kita sekarang ini adalah sebuah utopia.” (Ulil)
Khilafah yang dikehendaki untuk kepemimpinan secara internasional, sama hal nya seperti komitern komunis Internasional yang kini usang. Maka pemaksaan kehendak dengan menegasikan zaman, bukanlah solusi, karena sama saja tidak mengakui realita yang terjadi.
Kata khilafah yang kini kembali mencuat, dan banyak dimainkan oleh jamaah Hizbut Tahrir yang didirikan di Jerusalem Timur, 1952, yang mana untuk di Indonesia dikenal dengan nama HTI. Dan yang marak belakangan ini juga digaungkan oleh Islamic State of Iraq and Sham (ISIS) di Irak dan Syiria, yang bukan hanya bercokol di Timur Tengah melainkan juga sudah masuk ke Asia, khususnya Asia Tenggara. Dan mereka seolah-olah lupa akan kejayaan Islam itu sendiri, hingga mereka anggap Islam sedang terpuruk, dan butuh membangkitkan kejayaan dengan orang-orang di bom bardir. Sementara dibelakang tirai, imperium asyik memasok senjata. Sambil berkata, “Dimana lagi negara yang kaya SDA, untuk kita lakukan eksploitasi dan ekspansi, terus pasok senjata agar “pecah-belah lalu kuasai”
Untuk di Nusantara, benih-benih tentang ide penegakkan khilafah, sejarah mencatat bahwa ide tersebut sudah ada sejak awal kemerdekaan RI pada tahun 1945, baik ada yang bersifat konstitusional, seperti Majelis Konstituante, atau pun bersifat militer, seperti dalam peristiwa kasus DI/TII, yang mana kesemua itu berusaha mendirikan negara Islam dan menolak Pancasila.
Pasca reformasi, organisasi-organisasi fundamental bermunculan, hal ini tentunya didukung karena kebebasan berpendapat sudah mendapatkan “kemerdekaan” yang mana selama 32 tahun kebebasan ini “terpenjara”. Dan sejak berdirinya ormas fundamental itu juga dengan waktu yang bersamaan, opini tentang khilafah kian vulgar dan cukup massive disebarkan.
Hal ini tentu akan semakin menggiurkan capitalis global dan imperial untuk menyerang dari dalam, seperti yang terjadi di Timur Tengah dengan berkedok “jihadi”. Melihat hal ini maka aksi terorisme di Nusantara tidak akan terselesaikan oleh kata “kutuk” ataupun “tangkap” semata. Karena dengan waktu bersamaan doktrin teroris takfiri terus berjalan dan bahkan terfasilitasi sampai ke dunia pendidikan. Kalau kata Duterte, untuk menghadapinya “lupakan HAM”, Kalau Bassar Al Assad untuk menghadapinya “mari bertempur”. Namun kita tidak boleh lupa, bahwa beda negara, beda pula cara teroris takfiri ini masuk ke setiap kawasan dan tentu berbeda pula cara menghadapinya.
Akhir kata, untuk simpatisan dan pengikut kelompok fundamental, kalian yang ingin membangkitkan kembali ide khilafah pada masa kita sekarang ini adalah sebuah utopia, karena ini bukan eranya dalam histori khilafah itu sendiri, dimana ketika itu kehidupan manusia belum berada di bawah naungan negara-negara bangsa. Karena negara dengan bentuk khilafah sama saja mengingkari perkembangan umat Islam saat ini dan juga menafikan perkembangan sosial politik masyarakat Islam. Apalagi ide khilafah yang didengungkan saat ini bukan lagi sebuah kemurnian melainkan buah karya imperial.
Mari kita “iqra!”, karena kita makhluk berpikir.
0 komentar:
Posting Komentar