“Apa yang kau harapkan dari pekerjaanmu
sekarang ini? Apakah dengan pekerjaanmu ini, kau sanggup membuat
keluargamu bahagia? Apakah kamu juga bisa yakin setelah kamu mati, kamu
akan mendapatkan surga?”
Kata-kata itu terngiang dengan jelas oleh
Rakimin, lelaki yang pekerjaan kesehariannya sebagai tukang sol sepatu
itu. Kata-kata yang diluncurkan dari seseorang yang belum lama
dikenalnya, sesame orang berdarah Jawa, meski namanya sudah berubah
seperti nama orang-orang gurun di Timur Tengah.
Rakimin berjumpa dengan Rudi Santoso, yang
namanya berubah menjadi Ruslan Al Azhari, ketika sedang beristirahat di
bawah pohon talok, di kota kabupaten di salah satu propinsi pulau Jawa.
Perjumpaan yang menjadikan Rakimin dilanda kebingungan yang luar biasa.
Bingung dengan nasipnya sekaligus juga bingung dengan tawaran masuk
surga serta jaminan masa depan istri dan anak-anaknya.
“Nasipmu yang berat serta pahit itu
terjadi karena orang-orang kafir yang melakukannya. Dan kita butuh
banyak orang untuk melawan mereka. Yakinlah, surga sudah menunggumu jika
kamu mau melawan mereka. Surge yang indah, yang di sana aka nada 73
bidadari yang siap melayanimu. Jangan kuatirkan istri dan anak-anakmu,
kami siap menanggung mereka”, demikian Rudi Santosa alias Ruslan al Azhari itu menceramahinya.
Rakimin awalnya tidak pernah mempedulikan
tawaran itu. Namun ketika semakin hari, semakin berat pekerjaan dan
beban yang mesti ditanggungnya, berawal dari sekedar memikirkannya
sepintas, lama-kelamaan Rakimin mulai merasa ada kebenaran dari
kata-kata Sugito alias Ruslan Al Azhari itu.
Meskipun ijazahnya SMK, namun sangat sulit
mendapatkan pekerjaan layak. Bekerja di pabrik namun hanya kontrak dan
hitungannyapun harian. Jika sakit atau harus bermasyarakat maka tidak
akan mendapatkan bayaran, malahan mendapatkan potongan. Tidak kuat
dengan segala beban berat bekerja harian di pabrik, Rakimin akhirnya
keluar tanpa pesangon serupiahpun.
Rakimin memilih berusaha sendiri. Dan
satu-satunya bakat yang dimilikinya adalah menservis sepatu dengan cara
di sol. Sedikit tabungan miliknya dibuat untuk modal berkeliling
menawarkan jasa sol sepatu. Itu yang membuat Rakimin mulai memikirkan
tawaran dari Ruslan Al Azhari.
“Nasipmu tidak akan berubah. Negaramu tidak mungkin menjamin nasipmu”, Kata Ruslan suatu waktu, ketika untuk kesekian kalinya menjumpai Rakimin di pinggir jalan, saat Rakimin sedang bertugas, membetulkan sepatu milik Koh Yuan, pemilik toko sebelah kantor pos.
“Lha apakah negaraku bukan negaramu mas?”, Jawab Rakimin masih nampak berani. Dan sepertinya Ruslan Al Azhari, atau Sugito itu memang sudah pandai untuk mempengaruhi setiap orang, hingga meskipun dijawab sekenanya oleh Rakimin, dia tidak marah.
“
“Nasipmu tidak akan berubah. Negaramu tidak mungkin menjamin nasipmu”, Kata Ruslan suatu waktu, ketika untuk kesekian kalinya menjumpai Rakimin di pinggir jalan, saat Rakimin sedang bertugas, membetulkan sepatu milik Koh Yuan, pemilik toko sebelah kantor pos.
“Lha apakah negaraku bukan negaramu mas?”, Jawab Rakimin masih nampak berani. Dan sepertinya Ruslan Al Azhari, atau Sugito itu memang sudah pandai untuk mempengaruhi setiap orang, hingga meskipun dijawab sekenanya oleh Rakimin, dia tidak marah.
“
Hahaha…ini memang tanah tumpah darahku.
Tapi aku sudah tidak bisa mengharapkan apa-apa dari negeri ini. Semua
sudah dikuasahi kafir. Agama kita akan dihancurkan, maka aku memutuskan
melawan. Oleh karena itu, aku mengajakmu untuk membela agama kita”,
Begitulah jawab Ruslan.
Semakin hari, Rakimin semakin dilanda
galau yang semakin berat. Bingung dengan pekerjaannya yang tidak tentu
menghasilkan uang, sementara dua anknya serta istrinya selalu
mengharapkan uang saat dia datang ke rumah. Pekerjaannya kalah dengan
mesin dan pabrik. Orang sudah jarang menservis sepatu atau sandal,
mereka lebih senang membeli yang baru.
“Hidupku sangat susah, itu berarti anak
dan istrimu juga susah. Jika aku memilih tawaran Ruslan Al Azhari, aku
akan mendapatkan kenikmatan akherat, sementara anak dan istriku akan
dijamin hidupnya”, Guman Rakimin suatu saat, manakala sedang sendirian
di halaman depan rumahnya, sembari menatap langit dengan sejuta
bintangnya.
Kemudian Rakimin beringsut menuju dalam
rumahnya. Perlahan dia mendekati botol minuman, karena ruangan yang
sangat kecil ruangan tidur dan tempat makan serta minum jadi satu.
Berhati-hati agar anak-anaknya tidak terganggun kemudian terbangun.
Kemudian Rakimin membuka botol minuman mineral yang sangat populer di
dunia, menegaknya dengan berat. Seolah ada duri di air minum itu
sehingga Rakimin merasakan berta luar biasa.
Sambil beranjak ke ruang depan, Rakimin menatap wajah polos istri an anak-anaknya. Tidak nampak derita dan duka di garis wajah mereka. Rakimin menatap mereka bergantian dan agak lama. Nampak dalam temaram lampu 5 watt, ada butiran-butiran air bening dari pelupuk matanya, mulai bergulir jatuh melintasi pipinya yang legam tersengat sinar matahari.
Sambil beranjak ke ruang depan, Rakimin menatap wajah polos istri an anak-anaknya. Tidak nampak derita dan duka di garis wajah mereka. Rakimin menatap mereka bergantian dan agak lama. Nampak dalam temaram lampu 5 watt, ada butiran-butiran air bening dari pelupuk matanya, mulai bergulir jatuh melintasi pipinya yang legam tersengat sinar matahari.
“Aku ingin kita semua bahagia, namun bukan
berpisah dengan kalian. Ruslan bilang, bahagiaku hanya saat aku mau
mengerjakan tugas dari si boss yang juga merupakan bosnya Ruslan” Batin
Rakimin. Lelaki sederhana itu kemudian beringsut menuju ruang tamu untuk
tidur.
Malam semakin sepi dan beranjak menuju kepastiannya. Rakimin merasakan letih dan karenanya, dia hendak segera tidur. Baru saja hendak merebahkan tubuh, tiba-tiba HPnya berbunyi, ada pesan masuk. Rakimin segera mengambil HPnya di tasnya dan kemudian membacanya. Nampak ada perubahan besar di wajah Rakimin. Sekali lagi Rakimin berusaha membaca pesan di HP itu lagi dan juga mengusap-usap matanya, namun tetap sama.
Malam semakin sepi dan beranjak menuju kepastiannya. Rakimin merasakan letih dan karenanya, dia hendak segera tidur. Baru saja hendak merebahkan tubuh, tiba-tiba HPnya berbunyi, ada pesan masuk. Rakimin segera mengambil HPnya di tasnya dan kemudian membacanya. Nampak ada perubahan besar di wajah Rakimin. Sekali lagi Rakimin berusaha membaca pesan di HP itu lagi dan juga mengusap-usap matanya, namun tetap sama.
“Lusa ada tugas yang akan membawamu ke surga”, Demikian bunyi pesan di HPnya itu dan itu ternyata dari Ruslan Al Azhari.
Keringat dingin tiba-tiba mengucur deras
dari tubuh Rakimin. Ditatapnya istri dan kedua anaknya. Pada satu sisi,
dia tidak mau berpisah dengan mereka, namun di sisi lain, beban hidup
dan derita yang dirasakan, seolah membuat Rakimin enggan melanjutkan
hidupnya.
Rakimin tahu, tugas yang disampaikan
Ruslan. Membawa panik dalam ransel, kemudian menuju sebuah pusat
keramaian. Di sana, setelah tepat waktunya, Ruslan yang akan bertindak.
Dan..saat itulah perpisahan sempurna dengan istri dan kedua anaknya.
HP Rakimin tiba-tiba berbunyi kembali dan Rakimin segera membuka serta membaca pesan itu.
“Kami akan menjemputmu 40 menit dari sekarang. Tulis surat wasiat ke anak istrimu. Segera!”
Rakimin tertegun. Tiba-tiba dia merasa terancam. Hidupnya terasa hendak dirampok oleh orang-orang pengecut yang hanya mau menjerumuskan orang lain sementara dirinya sendiri tidak mau melakukannya. Tiba-tiba tangannya mengepal, dadanya bergetar. Bibirnya menggigit bibirnya dalam kesadaran sempurna. Dipandanginya dalam temaram cahayu lampu 5 watt wajah anak-anak dan istrinya.
“Kami akan menjemputmu 40 menit dari sekarang. Tulis surat wasiat ke anak istrimu. Segera!”
Rakimin tertegun. Tiba-tiba dia merasa terancam. Hidupnya terasa hendak dirampok oleh orang-orang pengecut yang hanya mau menjerumuskan orang lain sementara dirinya sendiri tidak mau melakukannya. Tiba-tiba tangannya mengepal, dadanya bergetar. Bibirnya menggigit bibirnya dalam kesadaran sempurna. Dipandanginya dalam temaram cahayu lampu 5 watt wajah anak-anak dan istrinya.
“Hmmm..orang lain bisa kalian tipi dengan
janji surgamu, namun jangan pernah merayuku. Jika dengan melakukan itu
masuk surge, mengapa kalian tidak melakukannya sendiri!? Dasar
Bajingan…setan alas!!!”, Rakimin berguman lirih namun berat. Kemudian
bergerak, meninggalkan ruangan tidur itu, melangkah keluar rumah
sempitnya dan menutup pintu. Menuju halaman depan rumahnya sembari
melepas baju bagian atasny. Dingin tengah malam tiada Rakimin hiraukan.
“Datanglah, jika mau memaksa, langkahi
mayatku dahulu. Tidak akan kubiarkan siapa saja merampas aku dan
keluargaku”, Desis Rakimin. Dalam penantian, Rakimin tiba-tiba teringat
nasehat dua sosok sederhana yang pernah dijumpainya, Ustad dan pendeta.
Dua sosok yang rukun dalam segala perbedaan yang ada. dari mereka
kemudian Rakimin merasa menemukan keindahan hidup yang sejati, meski
sempat hampir hancur lebur dirayu manusia-manusia berwatak serigala.
Semilir angin malam menerjang Rakimin.
Sudah 35 menit dia menanti. Rakimin yakin, segera akan ada tamu. Dan
dirinya sudah siap dengan semua resiko. Sudah 40 menit, namun tiada yang
datang. Rakimin semakin yakin kalau semua itu gertak sambal dan tidak
akan berani melakukan ancamannya. Jika berani, mengapa mesti merekrut
orang, mengapa tidak dijalani sendiri?
Tiba-tiba, Rakimin melihat tiga bayangan hitam menuju tempatnya. Rakimin siap dengan segala yang akan terjadi.
Tiba-tiba, Rakimin melihat tiga bayangan hitam menuju tempatnya. Rakimin siap dengan segala yang akan terjadi.
Tiga bayangan itu semakin mendekat..
0 komentar:
Posting Komentar