Sulit
untuk dipahami bagaimana alam demokrasi ditegakkan ketika atas nama
demokrasi prinsip kesetaraan hak, kebersamaan dalam keberagaman, justru
diabaikan. Padahal, prinsip demokrasi sejatinya telah berdiri di atas
kepentingan semua orang, semua golongan, semua unsur yang bernaung di
bawah negara. Artinya, saat negara ini telah berdiri tegak, maka
prinsipnya pun harus dijaga bersama, demi menjaga harmonisasi, terutama
bagaimana saling menghargai setiap individu, kelompok, maupun keyakinan
yang berbeda.
Riwayat berdirinya negera ini sudah sangat
jelas. Para pendiri tidak berdiri di atas kepentingan kelompoknya,
mereka lebih memilih menancapkan visi mulia dengan menaikkan bargaining
semua pihak sebagai kelompok yang setara. Saat Indonesia diproklamirkan,
sejak itu pula sebutan minoritas dan mayoritas tak lagi mengemuka.
Mayoritas dan minoritas hanyalah istilah identitas primordial yang hanya
berlaku di jaman purba.
Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang (Perppu) seharusnya tidak perlu dikeluarkan jika seluruh
elemen bangsa bergerak bersama untuk mendukung cita-cita bangsa.
Kenyataannya, kisah kelam peralihan rezim Orde Lama ke Orde Baru dan
Orde Baru digantikan Reformasi, belum sepenuhnya menumbuhkan kesadaran
bersama tentang bahaya demokrasi ditunggangi sektarianisme. Bahkan,
masih saja ada pihak yang memainkan praktek licik Kuda Troya demi
kepentingan kelompoknya.
Saat ini, sudah sangat terang pihak-pihak
yang sebenarnya hanya memanfaatkan demokrasi untuk menguatkan
kelompoknya. Bahkan, beberapa kelompok beberapa kali menunjukkan praktek
intoleran atas nama toleransi. Kesimpulannya, siapapun pihak yang
menolak Perppu jelas merupakan pihak intoleran yang berkeinginan
menguasai negara demi ambisi kelompoknya.
Intoleransi Atas Nama Toleransi
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mengeluarkan
pernyataan menolak keras diterbitkannya Perppu Nomor 17 Tahun 2013
tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) pada Rabu 12 Juli 2017. HTI
berkesimpulan bahwa tidak ada alasan yang bisa diterima atas
diterbitkannya Perppu tersebut. Mereka bahkan dengan terang menuduh
pemerintah telah bertindak represif dan diktator. Sebagaimana biasa,
mereka kembali mengatasnamakan Islam, sebagai kelompok yang dizalimi
oleh pemerintah, ulama dikriminalisasi, menghalangi da’wah dan
membubarkan Ormas Islam.
Jika diperhatikan, HTI masih berusaha
membela diri dengan memaikan strategi flaying victim. Mereka mencitrakan
diri sebagai pihak yang dizalimi, diperlakukan tidak adil, dan tidak
diberi ruang di negara ini. Bagaimana HTI memahami negara, jika negara
ini disebutnya thogut? Bagaimana HTI bisa diberi ruang di negara ini
jika tujuannya adalah merusak tatanan dan sistem kenegaraan Indonesia?
Bagaimana mungkin intoleransi dibenarkan atas nama toleransi?
Dengan memosisikan diri sebagai pihak
dizalimi, HTI berharap dapat meraih simpatik, berharap diselamatkan.
Tapi, sebagaimana misi Kuda Troya, bahkan mereka rela berkamuflase dan
mati suri demi merebut kemenangan. Seperti kisah Perang Troya dalam
mitologi Yunani, kekalahan Troya terjadi saat mereka merasa perang telah
selesai, lalu terlena dalam pesta, namun akhirnya harus menyaksikan
kebangkitan lawan merebut kota.
Melawan Kuda Troya
Perppu anti radikalisme hanya instrument,
perangkat keras negara tetap perlu mewaspadai kebangkitan gerakan
radikalisme yang justru berlindung di bawah naungan isu kriminalisasi,
toleransi dan agama. isu-isu itu hingga kini masih sangat laku dan
terbukti berhasil mengonsolidasikan kekuatan anti-pemerintah.
Kuda Troya kali ini akan semakin
menampakkan diri pasca diterbitkannya Perppu anti radikalisme. Namun,
untuk memudahkan pembahasan, klasifikasi Kuda Troya ada di kalangan
elite dan organisasi kemasyarakatan.
Di kalangan elite setidak bisa ditemukan
di lembaga tinggi negara, DPR. Adalah Fraksi PKS, Gerindra, PD, PAN
adalah kelompok yang tidak menerima penerbitan Perppu. Di luar parlemen,
beberapa Ormas yang sehaluan dengan HTI jelas akan segera
mengonsolidasikan diri sebagai pihak yang dizalimi, atas nama toleransi,
atas nama demokrasi, bahkan atas nama umat.
Isu kriminalisasi ulama, memusuhi Islam, dan rezim represif akan terus disebarkan demi meraih dukungan lebih luas lagi.
Tapi, seiring waktu, kriminalisasi ulama
yang dilekatkan kepada Rizieq Shihab kian tergerus oleh sikapnya yang
memilih tetap mangkir. Sebenarnya deretan kasusnya –penghinaan
pancasila, pecalang, campur racun, penghinaan pendeta, tuduhan palu arit
dalam lembaran rupiah- bisa diusut dengan ancaman hukuman lebih berat.
Tapi, sepertinya langkah polisi untuk tetap fokus ke kasus chatmesum
adalah strategi penjatuhan moral.
Kini, setelah Perppu anti radikalisme
diterbitkan, pemerintah harus mengantisipasi strategi Kuda Troya yang
bisa saja kembali digunakan dengan model baru. Kita sudah menyaksikan
beberapa Fahri Hamzah dan beberapa koleganya dengan tegas menginginkan
pelemahan KPK, lembaga yang justru selama ini bekerja mengembalikan
harkat dan citra negara.
Jadi, lawan kita bukan hanya organisasi
anti pancasila, tapi dalam wujud yang lebih elegan, Kuda Troya justru
sedang duduk manis di DPR.
0 komentar:
Posting Komentar