Fahri
Hamzah dan Fadli Zon sebagai kaum nyinyir? Ya. Kenapa Fahri Hamzah dan
Fadli Zon selalu nyinyir, negatif, sok pintar, melecehkan dalam
mengomentari Presiden Jokowi tentang Perppu No 2/2017 tentang Ormas?
Kenapa Amien Rais selalu bermulut pedas tidak karuan? Mengapa polah
Rizieq FPI lucu aneh dan memuakkan di mata para manusia waras? Kenapa
tampak kebencian dalam diri Masinton dan Fahri Hamzah terhadap KPK
muncul? Di mana akhlak politik dan kepatutan politik manusia seperti
Yusril Ihza dan Margarito Kamis dan juga Romli? Jawabnya adalah mereka
adalah alat; mereka adalah abdi, mereka hanyalah korban dari kewarasan
mereka sendiri. Mereka adalah para political clown kaum nyinyir.
Logika yang Dibalik
Publik tentu memahami istilah bad guys atau good guys atau bahkan dalam peran lain sebagai bad cop and good cop dalam suatu organisasi. Masinton dan Hidayat Nur Wahid itu contoh nyata kenekatan para partai dalam menciptakan dirinya sebagai political clown. Nigel Farage juga menjadi political clown di Parlemen Eropa dan Inggris dalam kasus Brexit – yang akhirnya dia terjungkal sendiri.
Sesunguhnya logika adalah kekuatan. Logika
sekaligus juga bisa menjadi kelemahan jika tidak dibarengi dengan nilai
kebenaran dan keumuman. Melihat polah Fahri Hamzah ingin membubarkan
KPK. Menonton Fadli Zon yang mengomentari Perppu Pembubaran Ormas
Radikal, Amien Rais yang mencla-mencle, dan juga Rizieq FPI misalnya,
publik sering dibuat tertawa terbahak menertawakan logika kewarasan
hebat mereka.
Memang, pola pikir dan logika political clown
alias badut politik dalam menjalankan perannya selalu bertentangan
dengan logika umum, pendapat umum, kepatutan umum, kawarasan dan
ketidakwarasan umum, dan bahkan bertentangan dengan hati nurani sendiri.
Bahkan ketika seseorang menjadi political clown
adalah istri, anak, cucu, dan keluarga inti sering ikut nekat menjadi
gambaran political clown mereka. Anak-anak mereka sering menjadi
gambaran para political clown dalam bersikap dan bertingkah laku.
Anak Fadli Zon kelakuannya di New York
misalnya adalah gambaran kewarasan Fadli Zon. Hanum Rais dan Hanafi Rais
adalah gambaran keturunan maha sempurna kalakuan mencla-mencle Amien
Rais.
Political clown selalu
menampakkan diri mewakili politik atau parpol atau kepentingan tertentu.
Hidayat Nur Wahid pun menjadi gambaran ideologi kewarasannnya sendiri
sebagai political clown ketika menyarankan penggunaan peluru
karet dalam perang melawan teroris. Juga tentang sikap partai yang
mengedepankan wani piro menjadi ideologi partai terutama ketika partai
agama PKS menjadi partai korupsi sapi.
Political Clown sebagai Alat dalam Strategi Politik
Publik waras gagal membayangkan kebenaran
nilai universal dalam diri para manusia itu, jauh panggang dari bara api
membara. Maka para manusia seperti Fahri Hamzah, Fadli Zon, Rizieq FPI,
dan juga Amien Rais bahkan juga lainnya yang waras ras yang logika keumuman mereka perlu dipertanyakan itu sesungguhnya adalah political clown yang siap dan pantas ditertawai dan menjadi bahan tertawaan.=
Namun publik tak paham bahwa sesungguhnya polical clown adalah peran penting bagi suatu alat mencapai kekuasaan dalam strategi politik. Strategi menciptakan political clown
bertujuan untuk membuat status quo dukungan. Kekalahan Pilpres 2014
menjadi awal strategi memertahankan status quo agar para pendukung gagal
move on. Para pendukung Prabowo harus tetap menjadi bahan investasi pendukung pilpres 2019. Itu strategi mereka.
Para political clown ada yang sukses berkibar dan menjadi bagian kekuasaan. Fahri Hamzah dan Fadli Zon adalah contoh political clown
yang dibina, disuruh, dilatih, dimanfaatkan secara sadar dan
mendapatkan perlindungan penuh dari para bandara, para tuan, para
pengatur dan para mastermind(s) proxy war yang mereka sendiri tidak pahami.
Fahri Hamzah berhasil memertahankan diri dari serangan partai agama PKS yang memecatnya – karena peran dirinya sebagai political clown bukan hanya untuk partai agama PKS – namun juga bukan untuk Prabowo, namun untuk mastermind proxy-nya.
Saling dukung Fahri Hamzah dan Setya
Novanto juga Fadli Zon menghasilkan aliansi kekuasaan yang luar biasa.
Terjungkal dari kursi Ketua DPR, Novanto pun bisa kembali karena peran
kekuasaan dan kekuatan tanpa batas mereka. Modal media, uang, organisasi
kampanye terstruktur, masif, dan cerdas menurut teori dan strategi
kampanye yang menghalalkan segala cara – dengan menempatkan political clown salah satunya – menjadikan mereka berhasil mengatur alur kepentingan kekuasaan mereka.
Pun tujuan besar dan utama mereka sebagai political clown
yang mendelegitimasi kinerja, pencapaian, keberhasilan pemerintahan
Presiden Jokowi berhasil. Buktinya polarisasi dukungan tetap terjadi
yang menghasilkan haters Jokowi dan lovers Jokowi juga lovers Prabowo dan haters Prabowo.
(Prabowo pun tidak dan bukan siapa-siapa dalam ranah perang proxy dan bisa tersingkir dan tidak maju nyapres
di 2019. Fahri dan Fadli mengabdi kepada kepentingan politik yang tidak
tampak dan mengambang. Prabowo bukanlah tuan bagi Fahri dan Fadli dan
Novanto. Mereka adalah wayang yang digerakkan oleh kekuatan modal yang
tidak tampak yang menguasai politik tingkat tinggi. Gagal mengabdi
kepada mereka siapa pun akan tersingkir.
Dalam strategi besar 2019, posisi Jusuf
Kalla menjadi sangat unik. Dalam Pilkada DKI Jakarta lalu, JK
benar-benar menjadi political clown yang begitu berhasil mendudukkan
Anies dengan strategi ayat dan mayat. Kelicinan JK ini menjadi sangat
menarik diamati – dan tentu dilawan oleh counter strategi the Operators dalam level nasional.)
Maka membicarakan political clown selalu bersentuhan dengan strategi politik, kampanye politik, dan tentu proxy war,
alias perang nabok nyilih tangan alias memukul menggunakan kekuatan
lain yang rumit dan tidak tampak di mata awam publik. Ini patut dipahami
secara jernih oleh publik sehingga tidak terkecoh dengan kelakukan para
politikus, termasuk yang memerankan diri sebagai political clown.
Political Clown sebagai Korban
Namun ada pula political clown
yang hanya menjadi begundal dan tersingkir masuk ke tong sampah alias
terbuang ke lumpur derita secara moral spiritual dan bahkan karir dan
kehidupan. Ketika kegunaan mereka telah sirna, maka mereka akan
diasingkan.
Manusia seperti Anies dan Sandi bisa menjadi contoh political clown
yang akan habis ketika tujuan telah tercapai – yakni dengan porandanya
tatanan Kota Jakarta setelah Oktober 2017 karena ditagih sana-sini.
Menjauhkan Rizieq FPI juga bagian dari strategi mastermind proxy
agar FPI tidak menagih jasa kepada Anies dan Sandi. Anies dan Sandi
akan tersingkir – dalam arti hukum atau arti kacau balau stagnasi
pembangunan di DKI Jakarta.
Buni Yani dan Rizieq adalah contoh political clown
yang terbuang, disingkirkan, diasingkan, bahkan dibui. Sepi sendiri
menghadapi ancaman bui bagi Buni Yani. Buni Yani yang dulu tampil gegap
gempita menjadi pahlawan kesiangan, berjasa bagi FPI dan kelompok Islam
garis keras, kini adalah manusia apkiran: terbuang tak berguna.Kini tak
ada lagi yang mendukung menghadiri pengadilan atas dirinya. Kini tangis
dan derita di haribaan Buni Yani.
Begitu pula untuk Rizieq FPI habis manis
sepah dibuang. Kegiatan harian Rizieq FPI kini bisa jadi memandangi onta
dan ular serta pasir di gurun negeri leluhur sebagai habitat yang cocok
baginya. Pulang pun ketakutan setengah mati. Kasus chat mesum dengan
Firza dan kasus penghinaan atas Pancasila menanti dan menari di
benaknya.Paranoid dan ketakutan, sementara para masterminds pun meninggalkannya.
Mereka terbuang karena ketololan mereka dalam bersikap dan dimanfaatkan oleh masterminds dalam politik perang proxy.
Ada pula political clown yang
masuk ke dalam peta perang proxy namun tidak memahami keberadaan mereka.
Din Syamsuddin adalah salah satu manusia unik yang masuk menjadi political clown
alias badut politik dengan berseberangan dengan Syafei Ma’arif
misalnya. Pun manusia seperi Fahira Idris, bahkan Sudirman Said pun
menjelma menjadi badut politik alias political clown.
Jadi melihat reaksi manusia seperti Fadli
Zon tentang Perppu Ormas dan para anteknya juga termasuk Amien Rais dll.
publik tidak perlu resah gelisah. Atau sikap Masinton dan Fahri Hamzah
tentang KPK, tak perlu risau. Mereka adalah political clown yang peran mereka ya memang seperti itu.
Mereka pada titik tertentu akan tersingkir
dengan sayatan hati dan derita politik yang orang awam hanya akan
menertawai mereka. Mereka pun telah siap berperan menjadi political clown.
Maka publik yang waras pun akan memahami tingkah polah dan komentar
nyinyir dengan tanpa mikir baper; ringan saja. Mereka menjadikan diri
mereka sebagai kaum nyinyir yang disukai oleh kaum bumi datar, kaum
cingkrang,kaum sumbu pendek, dan kaum daster Arab. Maka silakan tertawa
terbahak setelah memahami siapa mereka sesungguhnya dalam konteks
strategi poloitik dan kampanye. Salam bahagia ala saya.
0 komentar:
Posting Komentar