Kehadiran Jokowi dalam KTT G20 Leaders’ Retreat mengenai terorisme di Hamburg Messe Und Congress di Jerman, membuktikan keseriusan Jokowi terutama Indonesia untuk memerangi terorisme.
Keseriusan Jokowi, dalam memerangi
terorisme tergambar jelas dalam komitmen di KTT G20 di mana, dihadiri
oleh beberapa negara, salah satunya Amerika Serikat, Rusia, Cina dan
Jerman sebagai tuan rumah.
Ide brilian Jokowi dalam memerangi terorisme soal pendekatan soft power dan hard power
menjadi kunci mendasar untuk menjinakan terorisme yang semakin
bergejolak lewat semburan paham-paham radikal (ideologis), bom, maupun
aksi peperangan yang berakibat fatal pada keselamatan nyawa orang lain
dan perdamaian dunia.
Apakah kita menyerah kepada teror?
Apakah kita akan tetap diam? Kita tidak boleh menyerah, kita tidak
boleh tinggal diam, kita harus bersatu untuk memerangi ancaman
terorisme,” kata Jokowi seperti dikutip dari rilis pers Biro Pers, Media
dan Informasi Sekretariat Presiden.
Untuk memerangi terorisme, Jokowi menjelaskan harus ada keseimbangan antara soft power dan hard power. Karena itu, pengerahan kekuatan militer saja tidak cukup untuk mengatasi masalah terorisme.
Jokowi menekankan, perlu adanya langkah
deradikalisasi untuk para mantan teroris. Seperti yang dilakukan oleh
Indonesia yang terbukti menurunkan niat para mantan teroris untuk
mengulangi aksinya kembali.
“Sejarah telah mengajarkan kita bahwa
senjata dan kekuatan militer tidak bisa memberantas terorisme. Pikiran
sesat hanya bisa dikoreksi dengan cara berpikir yang benar. Untuk itu,
pendekatan soft power berupa deradikalisasi dapat terus dilanjutkan,” kata Jokowi.
Bukti Kehadiran Negara
Deretan peristiwa sosial dalam kehidupan
kebangsaan kita, cukup membuka mata kita, bahwa betapa kebhinekaan kita
terus diuji dengan nalar-nalar sosial yang menyesatkan.
Kita tidak dapat membantah, bahwa berbagai
perilaku dan sikap intoleransi kerap menghiasi wajah keindonesian kita
(disadari atau tidak disadi).
Gerakan radikalisme berbasiskan kepada
nilai- nilai agama dan menentang negara Pancasila. Eksisnya, gerakan
radikalisme tersebut, memberikan gambaran kepada kita, bahwa pemerintah
sepenuhnya hadir untuk menegaskan sistem ketatanegaraan kita, yang
berbasiskan kepada nilai-nilai Pancasila. Menguatnya radikalisme dan
terorisme merupakan bentuk keprihatinan Indonesia maupun dunia
internasional, terutama apa yang terjadi di negara tetangga kita,
Filipina. Dan mungkin saja akan merambah ke negara kita. Untuk itu,
kewaspadaan kita, harus terus dirawat dengan percikan semangat
patriotisme sesama anak bangsa.
Ancaman kekerasan terhadap umat beragama
yang sering terjadi, merupakan bentuk ketidaksadaran kita terhadap
realitas kebhinekaan yang ada. Kita mesti harus sadar bahwa, sikap
intoleransi masih menjadi kekuatan yang mampu memantik konflik sosial
dalam kehidupan bermasyarakat.
Bibit-bibit konflik yang masih tumbuh
secara liar tanpa terkontrol yang menjadi bom waktu, yang pada suatu
waktu mungkin meledak meluluhlantahkan keindonesian kita.
Kehadiran masalah sosial yang merusak
tatanan sosial tersebut , merupakan tindakan yang harus dilawan bersama
dalam kehidupan bernegara dengan berbagai dimensinya.
Kehadiran negara melakukan deteksi dini
terhadap munculnya potensi tindakan berwajahkan kekerasan, sudah jadikan
prioritas bersama. Kekerasan demi kekerasan muncul secara bergantian,
menampilkan wajah Indonesia yang tidak toleran terhadap bentuk
kemajemukan yang semestinya menjadi modal sosial dalam penyelenggaraan
pemerintahan negara.
Kehadiran negara di bawah pemerintahan
Jokowi, sudah menampilkan keseriusan ada upaya secara sistematis yang
dilakukakan oleh negara, lewat pendekatan lintas agama maupun pendekatan
adat istiadat atau budaya. Kita dapat memastikan, bahwa kehadiran
pemerintah sebagai representasi negara dalam setiap dinamika sosial,
segala macam bentuk ancaman, baik yang berasal dari dalam maupun dari
luar dapat diatasi. Menjawab amanat konstitusi, pemerintah dengan
kekuatan yang ada, mengatur tata tertib sosial, melindungi seluruh warga
negara dengan segala hak dan kewajibannya.
Dengan demikian, semua warga negara mempunyai jaminan menjalankan hak dan kewajiban sebagai warga negara.
Nawacita Presiden Jokowi
Sebagaimana tertuang dalam nawacita
presiden poin 8 yaitu melakukan revolusi karakter bangsa melalui
pendidikan kewarganegaraan, yang menempatkan secara proporsional aspek
pendidikan, seperti pengajaran sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai
patriotisme dan cinta tanah air, semangat bela negara, dan budi pekerti
didalam kurikulum pendidikan Indonesia dan poin ke- 9 yaitu memperteguh
kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan
memperkuat pendidikan kebhinekaan dan meciptakan rung-ruang dialog
antarwarga.
Hal tersebut, memberikan gambaran kepada
kita, bahwa presiden memiliki kesadaran bahwa Indonesia dibangun di atas
kemajemukan dengan corak yang beragam menjadi satu kesatuan yang utuh.
Kesadaran tersebut sudah diimbangi dengan komitmen politik Jokowi untuk
melaksanakan gagasan-gagasan tersebut dalam ruang praksis kehidupan yang
nyata di masyarakat.
Tentu, menjadi masalah, jikalau kita tidak
bersatu dan sepaham terhadap niat baik Jokowi untuk Indonesia ke
depan. DImana, ketika gagasan untuk membentuk perubahan dalam kehidupan
berbangsa, dan bernegara disepelekan dan dianggap tak bermanfaat.
Presiden Jokowi selaku kepala negara dan
pemerintahan, sadar betul bahwa dalam mengelola kemajemukan masyarakat
Indonesia sebagai lanjutan peristiwa sejarah lalu yang sudah dicatat
dengan baik oleh para pendiri bangsa. Bahwa, sejarah bangsa secara tegas
mendeskripsikan tentang konstruksi negara yang dibangun di atas tatanan
yang majemuk.
Soekarno menegaskan, bahwa jangan pernah
melupakan sejarah.Tentu sejarah yang konstruktif. Dalam menjawab masa
depan bangsa, bangunan kemajemukan bangsa, sebagaimana tertuang dalam
nawacita presiden menjadi modal sosial dalam pembangunan bangsa. Anak
bangsa dituntut merawat keindonesiaan, bukan malah menjadi virus bagi
sesama yang menyebabkan kematian bagi seluruh bangsa.
Menjaga keutuhan negara kesatuan negara
republik Indonesia, dijawab dengan kerja-kerja pro rakyat Jokowi selama
ini. Kekayaan masyarakat dalam bentuk adat istiadat, bahasa dan budaya
menjadi kekuatan kolektif dalam penyelenggaraan pembangunan. Kehadiran
Pemerintah untuk merencanakan konsep kerja secara nasional dengan
seluruh tatanan nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Seluruh nilai yang hidup dalam masyarakat menjadi landasan filosofis sekaligus sosilogis dalam setiap perumusan kebijakan pembangunan nasional.
Seluruh nilai yang hidup dalam masyarakat menjadi landasan filosofis sekaligus sosilogis dalam setiap perumusan kebijakan pembangunan nasional.
Pada tahap pelaksanaan pun, keterlibatan
seluruh pemangku kepentingan menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi.
Pilihan kebijakan yang mengakomodir seluruh keberagaman yang ada, akan
menjadi tali pengikat yang terus mempersatukan.
Pendekatan Soft Power dan Hard Power
Dalam kerangka kerja pembangunan secara
nasional, Pancasila dijadikan landasan dasar untuk merumuskan berbagai
bentuk kebijakan pemerintah dalam menggerakan seluruh pembangunan dalam
setiap sektor. Dan ini harus kita sepakati dulu, sebagai satu kesatuaan
bangsa, agar tolak ukur kita jelas dalam memahami kebangsaan.
Diumpakan, kalau patokan kita Berkebun, yah kita siapkan lahannya, apa tanaman yang cocok untuk ditanam, dan siapkan pupuk untuk tanaman tersebut. Kalau patokan kita Nelayan, siapkan sampannya atau jala untuk menangkap ikan. Begitu pula kalau bicara Pancasila.
Dalam rumusan serta tujuan pelaksanaan
pembangunan nasional, harus mampu menjawab seluruh nilai dalam sila-sila
Pancasila, sebagai kristalisasi nilai-nilai yang hidup dan berkembang
dalam masyarakat Indonesia, melalui konsensus nasional sebagai ideologi
negara.
Sebagai dasar negara, Pancasila dijadikan
sebagai sumber utama dalam pengambilan kebijakan penyelenggaraan
pemerintahan negara. Dalam hal ini, Pemerintah Jokowi sebagai pemegang
mandat rakyat, sudah memastikan bahwa negara berjalan sesuai dengan
nilai-nilai yang terkandung pancasila. Pada titik ini, Pemahaman
terhadap pancasila berserta nilai-nilai yang terkandung didalamnya hanya
pengejawantahannya dalam pemerintahan dijamin pelaksaaannya.
Bentuk komitmen pemerintah tergambar dalam
nawacita terutama poin ke-8 dan ke-9 di atas, sudah tertuang dalam
bentuk kebijakan-kebijakan Jokowi dalam hal ini terorisme dan
radikalisme. Merumuskan pendidikan kewarnegaraan dalam kurikulum sistem
pendidikan nasional, memuat komponen nilai-nilai kebangsaan, kesadaran
dalam kebhinekaan, cita-cita kehidupan berbangsa dan bernegara,
merupakan komponen dasar tegaknya eksistensi negara kesatuan republik
Indonesia.
Dialog lintas iman, sebagai jembatan
penghubung menguatkan pemahaman keagamaan lintas iman, dan menjadi
penting dilaksanakan, di tengah menguatnya distorsi terhadap pemahaman
nilai-nilai agama yang ada. Dan inilah yang disebut Jokowi sebagai
pendekatan soft power dan hard power.
0 komentar:
Posting Komentar