Manufer dua jenderal berakhir lelucon.
Pertemuan keduanya Kamis, 27 Juli 2017 saja sudah menjadi lelucon.
Alasannya, dua jenderal ini sebelumnya musuh bebuyutan, namun kini
saling tarik, merangkul. Isi pertemuan mereka juga lelucon karena
hambar, tak sepedas nasi goreng yang mereka cicipi.
Leluconpun mengalir dari keduanya.
Katanya, kedua jenderal ini telah berikrar bersama. Keduanya mau
mengawal sepak-terjang Sang Presiden ‘Ndeso’ yang spektakuler. Artinya,
mereka mau mengawal yang lurus agar menjadi bengkok dan yang bengkok
agar menjadi jongkok. Mantap.
Perhatikan baik-baik komentar tahu-tempe
mereka. Jenderal yang satu mengatakan UU Pemilu yang baru disahkan oleh
DPR adalah lelucon. Parliamentary threshold 20% adalah lelucon.
Nalar sang jenderal rupanya sudah turun berat. Itu efek nyapres yang
gagal melulu. Ia lupa bahwa 2 kali Pilpres sebelumnya memakai parliamentary threshold 20%.
Dengan menganggap bahwa UU Pemilu yang
baru disahkan adalah lelucon, berarti sang jenderal terbukti gagal paham
bahwa produk UU Pemilu itu dari DPR. Bisa dibayangkan jika sosok
jenderal ini menjadi Presiden. Ia cepat lupa dan menganggap semuanya
lelucon. Mengerikan.
Nah itu kisah jenderal yang satu, jenderal
yang gagal bermimpi. Lalu bagaimana dengan jenderal yang lainnya?
Jenderal ini, sukses menjadi Presiden 2 periode alias 10 tahun. Selama
10 tahun ia sukses meninabobokan rakyat dengan aneka subsidi dan tak
punya nyali mencabutnya. Lalu ia tambah ninabobo dengan lagu-lagunya
yang PHP. Tetapi infrastruktur nihil, radikalisme tumbuh senyap-sunyi
dan siap meletus dahsyat.
Namun itu bukan lelucon. Leluconnya
adalah ketika sang jenderal gagal membumi pasca lengser. Ia menganggap
diri masih menjadi Presiden, terus menasehati Presiden ‘Ndeso’ lewat
twitter. Padahal dulu ia tidak berbuat banyak. Lengser dari kursi empuk
di istana memang mengharukan. Menerima keadaan pensiun dari kekuasaan
adalah hal yang menyakitkan. Anak pun jadi korban ambisi, dicoba
diorbitkan, namun gagal total.
Maka sang jenderal yang gagal membumi,
membuat lelucon seusai bertemu dengan jenderal yang gagal bermimpi.
Kekuasaan Presiden ‘Ndeso’ sudah absolut. Sudah abuse of power. Begitu komentar nyinyirnya. Dimana absolutnya? Tangkisan Sang Presiden ‘Ndeso’ telak dan menusuk jantung sang jenderal.
Di era smartphone ini, kecuali kalau masih
menggunakan Nokia yang mudah disadap Australia itu, tak ada lagi
kekuasaan yang absolut. Alasanannya karena ada selalu pers yang
mengawal. Ada rakyat, ada DPR, ada penegak hukum yang selalu mengawasi.
Jadi kalau Sang Presiden ‘Ndeso’ berkuasa absolut, itu lelucon dari sang
jenderal yang gagal membumi. Itu nalar yang sudah bengkok. Itu itulah
lelucon.
Lalu mengapa dua jenderal nalarnya menjadi bengkok?
Bagi sang jenderal yang gagal bermimpi,
naiknya sang Presiden ‘Ndeso’ sangat menyakitkan. ‘Ndeso’ yang baru satu
kali nyalon, langsung menjadi Presiden. Itu tidak mungkin, itu tidak
mungkin. Oh tidak mungkin. Kata-kata itu terus mengingang-ngiang,
mendengung-ndengung dan mengaum-ngaum di telinga, di mata, dan di
seluruh panca indera. Lalu dunia berkunang-kunang, langit berputar-putar
dan nalar menjadi bengkok. Parliamentary threshold 20% lelucon. Begitu katanya. Lelucon.
Bagi sang jenderal yang gagal membumi,
ketegasan dan keberanian sang Presiden Ndeso, sangat mengusik. KMP,
Petral dibubarkan dan PSSI dibekukan. Lalu kapal asing ditenggelamkan.
Papua dibangun besar-besaran. Perbatasan dimegahkan, jalan tol, kereta
api dan banyak lagi dibangun besar-besaran. Busyet. Baru satu tahun, si
‘Ndeso’ kalahkan gua yang sepuluh tahun berkuasa. Itu pun gua masih
mangkrak di Hambalang. Ternyata nyali sang Presiden ‘Ndeso’ sungguh
membelakkan mata, ketika HTI dibubarkan.
Sang jenderal, mantan Presiden, yang gagal
membumi tak tahan. Skak-skak mat Sang Presiden ‘Ndeso’ sungguh menusuk
dan menyayat ulu hati. Sang Jenderal terpaksa cari kawan. Musuh
bebuyutan terpaksa dirangkul. Ego dan rasa malu keduanya terkikis karena
dirasuki oleh kepentingan abadi. Keduanya tak tahan terusik. Jenderal
yang satu terus, terus dan terus kebelet ingin mencicipi rasa manisnya
kursi Presiden. Sedangkan jenderal yang lainnya tak tahan melihat sepak
terjang spektakuler sang Presiden Ndeso. Ia ingin menghentikan dan
menjegalnya. Lalu keduanya berangkulan untuk memanasi demo 287, tetapi
gagal.
Itu kisah kedua jenderal. Bagaimana kisah
sang pelengser Gusdur, sesepuh si Amin Rais, sosok yang tak bisa
menepati janji, jalan kaki dari Yogyakarta-Jakarta dan
Jakarta-Yogyakarta? Katanya, sang sesepuh yang nalarnya terus turun
karena digerogoti oleh rasa benci yang amat sangat, mau memimpin demo
di Istana, di MK entah di mana lagi. Namun hari ini saat demo 287,
sisesepuh tak nongol. Alasan, kesehatan. Tetapi itu mungkin hanya alibi.
Ketika anggota demo tak sesuai harapan dan
gagal memancing 7 jutaan massa, maka hasilnya pun gagal. Jumlah yang
jauh dari 7 jutaan itu sudah terlihat saat salat di Istiglal. Akibatnya
sang sesepuh pun mundur teratur dan tidak lagi mau memimpin demo di MK
apalagi di istana. Wibawanya di atas mobil komando akan hambar jika
anggota demo tinggal seupil. Sangat berbeda halnya jika anggota demo
berjibun seperti demo 212 yang lalu. Itu alasan yang pertama. Alasan
kedua, rupanya sisesepuh baru sadar jika ia tidak didukung oleh MUI dan
ketakutan jika kelak ia dicap sebagai pendukung berat HTI. Atau mungkin
alasan ketiga, ia sudah paham bahwa demonya tak karuan, ngawur-ngawuran,
gagal alias lelucon.
Nah itu kisah sisesepuh yang gagal pimpin
demo. Si sesepuh terlihat terus gagal menarik perhatian Sang Presiden
‘Ndeso’. Bahkan Si Presiden ‘Ndeso’ tak melirih sedikitpun kepada
sisesepuh, mendengar ocehannya, apalagi takut. Malah si Presiden ‘Ndeso’
sekarang semakin menakutkan karena ia telah membunyikan genderang
perang untuk menggebuk mereka-mereka yang menghasut, memfitnah,
mengganti Pancasila dan memproklamasikan negara khilafah. Begitulah
kura-kura.
Salam Seword, Asaaro Lahagu
0 komentar:
Posting Komentar