Sebenarnya pembahasan RUU Anti Terorisme
lebih mendesak dan sangat penting digesa dibandingkan RUU Ormas yang
juga punya arsiran kepentingan dan tujuan yang sama. Arsiran kepentingan
dan tujuan tersebut adalah menghambat gerakan radikal yang mulai
menjamur di NKRI. Bukan hanya mengancam ketertiban dan keamanan umum,
tetapi juga ideologi bangsa.
Kemendesakan dan kesangatpentingnya isu
radikalisme dan terorisme bukan lagi menjadi sebuah wacana, melainkan
sudah menjadi realita yang harus dicegah sebelum benar-benar terjadi.
Jangan sampai kejadian seperti korupsi dan narkoba yang sudah sangat
merusak negara kini ditambah lagi oleh gerakan radikal dan teror.
Apalagi dengan semakin terdesaknya ISIS
setelah kalah di Irak dan juga Suriah. Filipina yang sudah mulai
dimasuki oleh ISIS sangat dekat dengan Indonesia. Bahkan daerah yang
direbut oleh ISIS di Filipina sangat dekat dengan perbatasan Indonesia.
Hal yang sangat memungkinkan Indonesia akan terkena dampak dari ISIS di
Filipina.
Indonesia memang menjadi ladang empuk
berkembangnya ISIS karena sudah sejak lama, Indonesia membiarkan dan
cenderung memelihara ormas yang juga punya nafas sama, mendirikan negara
Islam, HTI. Jumlah mereka bukan hanya banyak, tetapi juga sudah
memasuki para pejabat-pejabat, politisi, dan orang-orang penting di
negeri ini.
Itulah tidak heran ketika pemerintahan
Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)
tentang Ormas, banyak dari mereka yang menentang. Mereka malah dengan
sangat sadisnya menyamakan bahwa Perppu ini adalah sebuah tindakan yang
lebih kejam dari penjajahan Belanda, Orba, dan bahkan Orla.
Entah bagaimana dasar penilaiannya, tetapi
karena yang menyebutkan pakar segalanya, Yusril Ihza Mahendra, maka
sudah bisa dipastikan bahwa pernyataan tersebut ngawur. Sama dengan
ngawurnya saat dia menyebutkan KPK adalah bagian dari pemerintah. Pakar
kok bisa tidak paham kepakarannya.
Meski RUU Anti Terorisme berjalan dengan
sangat lambat dan terkesan tidak ada keberanian DPR untuk segera memutus
RUU menjadi UU, Perppu ini bisa menjadi jalan untuk mencegah bukan
hanya isu radikalisme tetapi juga isu terorisme. Karena memang isu
radikalisme sangat dekat dengan isu terorisme. Sama seperti dekatnya HTI
dan PKS.
Apalagi ancaman terorisme sudah sangat
dekat di depan mata kita. Sudah banyak aksi yang kalau disebut oleh
Polri sebagai tindakan Lone Wolf. Bukan hanya bom, tetapi juga ancaman
dengan mulai dikibarkannya bendera dan lambang ISIS di beberapa tempat.
Buku-buku pengajaran ISIS pun sudah mulai disebar. Negara sudah darurat
ISIS.
Sikap pemerintah bukan lagi siaga 1 tetapi
harus sudah awas dan waspada tingkat tinggi. Apalagi jumlah WNI yang
terjangkit ISIS tidaklah sedikit. Menurut data dari Kementerian Dalam
Negeri Turki seperti dilansir News.com.au, Sabtu (15/7/2017), dari total 4.957 militan asing ISIS yang ditangkap di Turki, ada warga Indonesia yang 435 orang.
Jumlah ini hanya kalah dari jumlah warga
negara Rusia yang jumlahnya 804 orang. Orang Indonesia yang terjangkit
ISIS secara langsung ini pastinya tidak akan bisa dirawat atau
direhabilitasi tanpa adanya RUU Anti Terorisme. Mereka-mereka ini akan
sangat sulit juga diantisipasi kalau tidak ada payung hukumnya.
Jika jumlah mereka ini ditambah dengan
jumlah orang Indonesia lain yang menjadi Lone Wolf atau sudah mulai
berkerumunan dengan jumlah yang tidak pasti, makka negara sudah pasti
mengalami ancaman. Itulah mengapa Perppu ini menjadi seperti benteng
awal mencegah gerakan radikalisme dan Terorisme mengormas.
Tentu ini belum cukup dan harus segera
mungkin diterbitkannya UU Anti Terorisme yang baru supaya pencegahan dan
pengawasan bisa lebih baik dan massif. Kita harus terus dorong
percepatan ini dan kalau perlu dorong pemerintah mencabut draft mereka
dan buat Perppu saja serta memakai mekanisme partai koalisi untuk
menyetujuinya.
Terlambatnya pembuatan UU Terorisme ini
bisa berakibat fatal. Seperti kanker, sebenarnya isu teroris ini sudah
hampir masuk stadium 3. Tidak lagi boleh dianggap remeh dan dibiarkan.
Seperti yang saya sampaikan di atas, ancamannya sudah ada di depan mata
kita. Sekali meleng dan kita lepaskan pengawasan, maka mereka sudah
merebut satu daerah.
Daerah manakah kemungkinan tersebut??
Bukan saya suudzon, tetapi daerah yang paling getol masalah ISIS dan
terorisme daerah apalagi kalau bukan Jawa Barat. Daerah yang ssangat
dekat dengan Ibukota pemerintahan. Apakah ketakutan ini terlalu
berlebihan?? Menurut saya tidak ada ketakutan berlebihan kalau berbicara
soal ISIS dan terorisme.
Semoga saja, pemberitaan ini membuat
pemerintah segera berpikir cepat dan tegas karena kalau mengharapkan DPR
sama saja mengharapkan cinta dari mantan yang sudah menikah dan punya
anak.
Salam WASPADA!
0 komentar:
Posting Komentar