Pilpres 2014 telah menampilkan secara
telanjang wajah radikal agama di Indonesia. Belum pernah dalam sejarah
perpolitikan Indonesia terjadi perpecahan yang begitu jelas berdasarkan
agama. Dalam sejarah pemilu Orde Baru, tidak pernah terjadi jurang yang
begitu dalam antara PPP dengan Golkar atau PDI. Bahkan saat Mega
dilengserkan dari tampuk pimpinan PDI setelah peristiwa Kudatuli terjadi
fenomena Mega Bintang yang menggelembungkan suara PPP dan menggembosi suara PDI Suryadi pada Pemilu 1997.
Pilgub DKI 2017 menunjukkan secara lebih
gamblang lagi garis pemisah ini. Diawali dengan pidato Ahok yang
“disinyalir” melecehkan Al Qur’an, diikuti oleh aksi masa 112, 212, dan
313. Serangkaian peristiwa ini membuat kita bertanya-tanya sejauh mana
paham Islam radikal berkembang di Indonesia.
Pemahaman agama secara radikal sekarang
sudah ditunjukkan secara terbuka, tidak lagi sembunyi-sembunyi seperti
pada zamannya NII. HTI, FPI, FUI dan organisasi sejenis secara gamblang
melaksanakan aksi mereka, bukan sekadar unjuk rasa, melainkan juga
sampai membubarkan ibadah agama lain.
Sementara itu pemerintah tampaknya lebih berkutat melakukan
deradikalisasi yang berkaitan dengan terorisme, tetapi belum berbuat
banyak untuk menangani gerakan radikal di bangku sekolah maupun mimbar
terbuka.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa salah satu penyebar radikalisme justru adalah guru agama di sekolah. Bukan rahasia lagi kalau banyak guru agama Islam di sekolah-sekolah negeri (bukan madrasah, loh) yang berpaham radikal. Organisasi-organisasi pelajar dan mahasiswa seperti Rohis dan KAMMI juga
sering dipakai untuk menyemai paham radikal ini. Oleh karena itu
reformasi pendidikan agama adalah sesuatu yang niscaya jika kita ingin
membendung gerakan ini.
Saya mencoba menggali memberikan beberapa alternatif cara mereformasi pendidikan agama dalam tulisan ini.
Pertama, model yang paling radikal
sekaligus paling sulit diterima oleh semua pihak, adalah menghapus
pelajaran agama. Penghapusan pelajaran agama bukan berarti menghentikan
kegiatan pengajaran agama di Indonesia, melainkan memisahkan pelajaran
agama dari pendidikan formal. Pelajaran agama tetap dilaksanakan di
masjid-masjid, gereja-gereja, dan rumah ibadah lain. Pendanaan
pendidikan agama berbasis tempat ibadah ini juga bisa diambil dari APBN
atau APBD.
Penghapusan pelajaran agama di sekolah
berarti mengembalikan pendidikan agama kepada keluarga dan masyarakat.
Pendidikan agama bukan lagi menjadi tanggung jawab pemerintah secara
langsung. Solusi ini mungkin terdengar aneh bagi umat Islam. Namun bagi
umat Kristen hal seperti ini telah dilakukan sejak dahulu. Pendidikan
agama secara formal dalam kegiatan menggereja tidak dilakukan di
sekolah, melainkan di gereja. Pendidikan agama di sekolah bagi umat
Kristen hanyalah sebagai bagian dari pendidikan umum.
Model yang sama mungkin bisa diadopsi oleh
umat Islam. Masjid dan mungkin madrasah harus diaktifkan sebagai tempat
pembelajaran agama bagi masyarakat umum. Madrasah mungkin bisa
mengadakan semacam “kelas ekstensi” bagi siswa yang bersekolah di
sekolah umum untuk belajar agama Islam.
Model ini mungkin membawa konsekuensi
cukup berat bagi mereka yang menyandang status guru agama. Mau
dikemanakan mereka ini semua? Perubahan ini bukan hanya akan mengguncang
pemahaman melainkan juga hajat hidup orang banyak. Oleh karena ini
model ini kemungkinan besar tidak bisa dijalankan.
Kedua, ganti pelajaran agama dengan
pelajaran perbandingan agama. Model ini tetap sulit diterima, meskipun
mungkin tidak sesulit model pertama. Selama ini yang menjadi salah satu
biang kerok adalah ekskusivitas dalam pelajaran agama. Peserta didik
agama Islam hanya mempelajari agama Islam tetapi tidak mengenal agama
Kristen, begitu pula sebaliknya. Kita saling tidak mengenal agama lain
sehingga banyak terjadi salah paham ajaran agama lain, bahkan untuk
orang sekelas “doktor” seperti Zakir Naik. Kesalahpahaman ajaran agama
lain mungkin bisa dikurangi dengan mempelajari juga agama lain selain
agama sendiri. Hal seperti ini pernah dilakukan di pengajian Paramadina
dengan mengundang pendeta untuk menjelaskan suatu doktrin Kristiani.
Bila ini terjadi tentunya pelajaran agama
akan berubah secara cukup drastis. Akidah tidak akan lagi mendapatkan
porsi utama digantikan dengan pengetahuan agama. Agama diajarkan sebagai
sebuah ilmu bukan sebagai sebuah doktrin. Pengajaran agama sebagai
doktrin dikembalikan ke rumah-rumah ibadah, bukan bangku sekolah.
Model seperti ini sebenarnya juga bukan
model yang asing. Banyak sekolah teologi yang mengundang dosen Muslim
untuk mengajarkan tema agama Islam, begitu pula dengan pendeta atau
bhiksu yang mengajar tentang agamanya di universitas Islam. Model ini
hanya perlu diperluas ke sekolah-sekolah menengah.
Ketiga, membiarkan pendidikan agama
seperti sekarang, tetapi melakukan reedukasi guru-guru agama. Solusi ini
mungkin lebih kecil tantangannya, tetapi bisa jadi mahasulit karena
mereformasi guru agama sama sekali tidak mudah. Sudah terlalu banyak
guru-guru agama yang telanjur radikal.
Meskipun terlihat cukup sulit, program ini bisa jadi mendapat banyak dukungan dari masyarakat, terutama dari silent majority.
Program ini juga tidak benar-benar tanpa daya, mengingat masih banyak
Universitas Islam Negeri (UIN) dan pesantren-pesantren yang tidak
mengajarkan paham radikal. Mereka inilah yang akan menjadi ujung tombak
reedukasi guru-guru agama. Penantang utama ide ini pastilah hanya mereka
yang menganut paham radikal itu sendiri.
Untuk menghindari konfrontasi secara
frontal mungkin ada baiknya diadakan model keempat, yaitu melakukan
reedukasi secara halus dan bertahap. Reformasi hanya dilakukan secara
terbatas pada dosen yang mengajar calon-calon guru agama dalam Fakultas
Tarbiyah atau Keguruan. Pengawasan dalam UIN mungkin lebih mudah; yang
lebih sulit diawasi adalah pada fakultas-fakultas pendidikan agama di
universitas swasta. Dosen-dosen yang mengajar di fakultas ini tanpa
kompromi harus mendukung NKRI ber-Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
Tidak ada tempat bagi dosen-dosen yang tinggal di Indonesia tetapi
menggerogoti negara ini dari dalam.
Ide tentang pembangunan sebuah kampus Islam internasional
untuk menyebarkan paham Islam moderat juga harus disambut. Diharapkan
dosen dan lulusan perguruan tinggi ini juga bisa menjadi ujung tombak
untuk menyebarkan Islam yang lebih toleran dan berkebangsaan.
Dosen-dosen ujung tombak deradikalisasi
ini diharapkan juga mampu menghasilkan guru-guru agama baru yang tidak
radikal, sekaligus mereformasi bibit-bibit radikal dalam calon-calon
guru ini. Gelombang lulusan baru ini akan menjadi garda depan dalam
menghadapi paham radikal dan memberi napas baru bagi kesejukan beragama
di negara ini.
Bersamaan dengan langkah ini harus
dilakukan sensor mendalam buku-buku pelajaran agama yang beredar. Sudah
terlalu lama para penggiat radikalisme menggunakan buku-buku ajar untuk menyebarkan paham radikal.
Sudah saatnya Kementrian Agama mengambil langkah tegas. Langkah ini
juga tidak terlalu sulit, asal ada niat, mengingat hanya melibatkan
teks, bukan manajemen manusia.
Saya tentu saja tidak mengklaim bahwa
model-model yang saya ajukan di atas adalah model terbaik. Saya hanya
sekadar mengajukan pemikiran ini sebagai sebuah diskusi, mengingat
darurat radikalisme di Indonesia, khususnya dalam pendidikan agama.
0 komentar:
Posting Komentar