Motivasi penulis menyajikan opini ini
adalah mendulang diskusi terhadap nurani terdalam kita sebagai manusia.
Jika kita percaya Tuhan hidup dalam sanubari, maka kita pasti mengerti
bahwa manusia adalah ciptaanNya yang amat Ia kasihi. Manusia di sini
termasuk manusia anggota HTI yang secara kelembagaan sudah tidak diakui
di Indonesia dan anggota-anggotanya sedang bingung mau kemana, dengan
siapa dan tak tahu berbuat apa.
Penulis menyadari bahwa di dunia ini, satu
hal yang amat dibutuhkan oleh manusia adalah pertolongan. Anda, saya si
minoritas yang bukan muslim, anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI),
anggota FPI, Fadli Zon, Fahri Hamzah, Prabowo, semua manusia tanpa
kecuali membutuhkan pertolongan. Tingkat keberhasilan atau kegagalan
relasi manusia dengan penolong-penolongnya lah yang kemudian membentuk
pribadi manusia menjadi beriman atau tidak beriman, orang kaya atau
miskin, orang yang semakin kuat atau orang yang semakin lemah, orang
sehat atau orang sakit, orang untung atau orang malang.
Dibanding dengan makhluk lain, sejak
dilahirkan, semua manusia termasuk para anggota HTI, adalah makhluk yang
sangat tergantung dengan makhluk-makhluk lainnya dan sulit untuk
mandiri. Manusia membutuhkan rata-rata satu tahun untuk mampu berjalan, 5
tahun untuk mulai mengaktifkan syaraf motoriknya yang kompleks, 17
tahun untuk dewasa, seumur hidup untuk mencari identitas diri.
Bandingkan dengan anak ayam yang membutuhkan 2 minggu untuk mulai
mencari makan sendiri, anak kambing yang membutuhkan 3 hari untuk
berdiri, anak kuda yang membutuhkan 1 jam untuk berdiri setelah
dilahirkan. Secara kodrati, manusia adalah makhluk yang sangat
membutuhkan pertolongan.
Meski di lain pihak, seperti halnya
makhluk predator lainnya, manusia mempunyai kemampuan untuk mengkhianati
atau bahkan membunuh penolongnya. Manusia-manusia anggota HTI jelas
membutuhkan bangsa Indonesia sebagai inang untuk berkembang dan mengasah
hidup beriman mereka. Apabila ternyata memang mereka berencana
“menikam” kemerdekaan bangsa Indonesia dengan paham “khilafah” yang
belum jelas strukturnya, maka ya… begitulah predator adanya. Tidak usah
heran.
Pertolongan kepada manusia bisa didapatkan
dari pihak lain. Dalam praktek hidupnya manusia mengalami bahwa ada
peristiwa alamiah yang tidak mampu diatasi sendiri. Maka pertanyaan
dasariah manusia adalah, siapakah “Sang Penolong” yang mampu menolong
manusia secara tak terbatas?
Beberapa manusia secara spontan dan
intuitif meletakkan jawabannya tersebut pada “sang harta yang maha
kuasa” yang sebanyak-banyaknya. Maka tidak heran beberapa pribadi
menjadi pelacur demi harta, menjadi budak demi materi, menjadi setan di
DPR demi uang, menjadi pengkhianat agama demi fulus. Bagi
mereka, uang adalah penolong yang sebenarnya. Mungkin, mereka tidak
mempunyai pilihan lain karena terlilit hutang atau trauma terhadap
kemiskinan akut atau memang kecanduan duit.
Beberapa manusia yang lain percaya bahwa
pertolongan sejati itu berasal dari seorang kawan. Pertolongan hanya
bisa didapat dari lingkungan persahabatan. Istilah “kawan sejati”
menjadi populer secara ilmiah setelah pada tahun 1839 Auguste Comte
membahas tentang sosiologi dalam bukunya, “A Course of Positive Philosophy”. Comte menyatakan bahwa solusi dari krisis kemanusiaan adalah socius
yang berarti kawan. Dilatarbelakangi krisis sosial Revolusi Prancis
pada zaman itu, Comte menyatakan bahwa manusia lebih membutuhkan kawan
daripada lawan untuk berkembang.
Beberapa manusia lain percaya, bahwa
pertolongan yang terbaik hanya datang dari diri sendiri yang menguat.
Oleh karena itu, penolong terbaik datang dari “lawan”. Manusia
sesungguhnya tidak bisa mengandalkan pertolongan dari pihak lain, karena
bisa saja pihak lain yang mau menolong adalah “penikam dari belakang”
atau serigala-serigala berwajah tulus. Teori Descartes rupanya memandang
“lawan”, apapun bentuknya, sebagai sesuatu yang diperlukan bagi manusia
untuk berinteraksi dengan dunianya. Manusia harus menaklukkan
kesulitan-kesulitan hidupnya melalui proses berpikir (cogito ergo sum).
Dalam proses pemikiran untuk menemukan solusi, lawan diperlukan sebagai
suatu kondisi yang membuat manusia serius menyingkirkan penghalang demi
hidup yang lebih baik.
Beberapa manusia lain akan sepakat bahwa
pertolongan sejati datang dari “Tuhan”. Jauh di lubuk hatinya manusia
mempunyai hasrat “religiusitas”. Religiusitas sendiri berasal dari
bahasa Latin “religare” yang artinya mengikat. Konteks religare dalam arti rohani berarti manusia merindukan ikatan terhadap Tuhan.
Ikatan manusia dengan Tuhan ini biasanya
didapat melalui agama-agama. Masing-masing agama meminta penganutnya
untuk mempertanggungjawabkan cara hidup mereka dan aturan “ikatan dengan
Tuhan”. Pada umumnya ada tiga hal yang diukur. Tiga hal itu adalah:
cara masing-masing penganut berelasi dengan Tuhan, berelasi dengan
sesama manusia, dan berelasi dengan lingkungan semesta.
Semakin erat relasi mereka, agama akan
menilai mereka sebagai kaum beriman, semakin renggang relasi mereka,
agama akan menilai mereka semakin kurang beriman. Itu adalah grand theory religiusitas dalam agama-agama yang percaya bahwa pertolongan sejati datang dari Tuhan.
Penulis sendiri belum memahami para
manusia anggota HTI mau hidup bagaimana setelah organisasi mereka
dibubarkan. Apakah mereka mencari pertolongan dengan menganggap
Pancasila sebagai “kawan” atau malah menganggap Pancasila sebagai
“lawan”. Apakah para manusia anggota HTI mencari “Tuhan” dengan cara
menjalin persahabatan terhadap NU misalnya, atau malah menjalin
pertemanan dengan “sang uang mahakuasa” yang berasal dari partai “bumi
datar” dengan semua ambisi duniawinya?
Penulis hanya mengingatkan bahwa Tuhan
penyayang umatnya. HTI perlu dibubarkan secara legal, tetapi janganlah
anggota-anggotanya disiksa dengan keji. Mereka toh tidak lebih dari
pribadi-pribadi yang belajar dewasa. Jangan kita samakan Hizbut Tahrir
yang baru berdiri tahun 1953 di jazirah Arab itu dengan Islam Nusantara
seperti NU yang berdiri tahun 1926 dengan banyak penganut di
pesantren-pesantren akar rumput maupun Muhammadiyah (minus Amien Rais)
yang berdiri tahun 1912 dengan banyak sekolah serta rumah sakit yang
mereka dirikan. Perbandingan Islam garis keras dengan Islam nusantara
jelas “jauh panggang dari api”.
Sebagai penutup, penulis kembali
mengingatkan agar para anggota “bumi bulat” bersikap adil terhadap semua
kaum. Janganlah kebencian menutup rasa keadilan. Sudah cukup berbagai
perang saudara di Indonesia mulai peristiwa tuding-tudingan PKI (1965;
1,5 juta jiwa terbunuh), Aceh pra DOM (1976-1989; ribuan terbunuh),
Papua (1966-2007; TNI vs OPM dengan ribuan orang terbunuh), tragedi
Trisakti, Mei 98 serta Semanggi (1998, 1700 orang terbunuh), perang
Sampit, perang Poso dan berbagai perang saudara lainnya.
Demi Tuhan yang hidup dalam hati kita
masing-masing, jangan hanya karena Islam garis keras yang masih belajar
kehidupan, kita terprovokasi kebencian. Salam persaudaraan. Salam
seword.
0 komentar:
Posting Komentar