Seharusnya, tak perlu ada perdebatan
panjang apalagi mengadu ke Mahkamah Agung soal terbitnya Perppu Nomor 2
Tahun 2017. Apa yang dilakukan pemerintah sudah sangat tepat, bahkan
jika masih disoal, hanya soal waktu yang agak terlambat, mengingat
gerakan radikalis sudah mulai merasuk ke ranah publik secara meluas,
sistematis dan massif.
Kenyataannya, Perppu anti teror itu pun
dipersoalkan, bahkan dituduh sebagai praktek inkonstitusional. Entah
logika apa yang digunakan, kala menilai tindakan negara yang
mengeluarkan kebijakan menjaga amanah konsitusional, justru disebut
sebagai pelanggaran hukum.
Di atas segalanya, kita tentu masih
sepakat bahwa negara berdiri di atas kedaulatan rakyat. Rakyatlah yang
berkuasa penuh atas negara, yang mengamanahkan pengelolaannya kepada
seperangkat struktur pemerintahan. Perangkat pemerintaan itu
masing-masing bekerja sesuai tugas dan fungsinya; MPR-DPR (legislatif),
Lembaga Peradilan (Yudikatif) dan Presiden serta segenap jajarannya
hingga ke tingkat RT-RW (Eksekutif).
HTI Sejak Lahir Sudah Mengingkari Indonesia
Tak perlu berpolemik, sejak masuk ke
Indonesia, Hizbut Tahrir sudah mengingkari Indonesia kok. Menambahkan
identitas Indonesia menjadi HTI hanyalah kedok biar bisa meraih
simpatik.
Padahal, mereka yang menyokong HTI tak
mungkin mengabaikan sejarah dan kenyataan bahwa Indonesia terdiri dari
multi-etnis, bahwa di Indonesia dikenal dan diakui keberadaan agama yang
bukan hanya Islam.
Memang, selama ini Jawa menjadi sentrum
pembangunan, yang akhirnya memunculkan disparitas yang tajam antar pulau
dan regional. Tapi bukan berarti negara ini harus dibelah dan dipecah
sesuai jumlah suku yang ada.
Memang, kenyataan dan sejarah pun
menuliskan bahwa kiprah dan komposisi Islam di negara ini adalah
dominan, karena pemeluknya memang mayoritas. Akan tetapi, bukan berarti
sebuah kemutlakan negara Islam harus didirikan. Jika sistem kekhalifahan
dipaksakan, maka dengan sendirinya Indonesia harus bubar terlebih
dahulu.
Karena, tidak mungkin negara ini diiris
untuk membentuk pemerintahan berdasarkan tuntutan agama tertentu,
sementara sekelompok yang lain pun punya pemahaman dan harapan terhadap
agama yang dianutnya.
Nah, jika Hizbut Tahrir Indonesia masih
berusaha membela diri sebagai kelompok yang terzolimi dan menganggap
telah diperlakukan tidak adil oleh negara, justru yang terjadi adalah,
keutuhan Indonesia-lah yang saat ini sedang digerogoti. Jika tetap
memandang pemerintahan yang sah dan segala perangkat hukumnya sebagai
produk thogut yang tak layak diikuti, semestinya HTI memeriksa kembali
tanah pijakan tempat mereka berdiri, ini bumi Ibu Pertiwi bung, tanah
warisan leluhur.
Perppu untuk Menangkal sekaligus Menekuk
Sejumlah tudingan pun diarahkan ke
pemerintah sebagai pihak yang memanfaatkan terbitnya Perppu
pemberantasan gerakan radikalisme demi momentum politik. Tudingan itu
jelas tendensius, sebab bahkan di sekolah, sejumlah murid mendapatkan
perlakukan bullying hanya karena mereka beragama berbeda. Belum
lagi, jika kita menghitung daftar percobaan serangan bom yang datang
dari sel-sel tak terduga. Apalagi, ratusan nyawa telah terenggut akibat
aksi teror bom, menunjukkan situasi bernegara ini tidak dalam keadaan
baik-baik saja.
Jika penerbitan Perppu ini pun dinilai
sarat nuansa politik, sesungguhnya tudingan itu lebih tepat jika
dialamatkan ke lembaga DPR. Mereka telah diamanahkan untuk menuntaskan
pembahasan RUU (Rancangan Undang-undang) Terorisme, namun lebih setahun
berlalu, RUU itu tak juga berubah status, masih dalam bentuk draft, dan
tak mungkin dijadikan acuan untuk memberantas gerakan terorisme.
Jadi, jika masih ada pihak yang tak
menerima dan merasa terganggu dengan dikeluarkannya Perppu Anti
Radikalisme itu, boleh jadi mereka adalah kelompok yang memang selama
ini bergerak dalam lingkaran teroris.
Sebab, jika kelompok yang ada, didirikan
tidak untuk mendirikan negara baru, tidak pula memaksakan sebuah ajaran
dan pemahaman kepada pihak lain, dan tidak juga terafiliasi dengan
lembaga terorisme, untuk apa kebakaran jenggot?
Seharusnya, Indonesia sudah cukup menjadi
naungan bersama, yang di dalamnya hidup berdampingan ragam suku,
berbagai macam warna kulit, dan penganut jenis kepercayaan yang berbeda
dapat berdiri sejajar saling menghormati.
Seharusnya, Indonesia sudah cukup menjadi
kelompok besar yang mengatur hajat hidup warganya. Dan tentu saja,
menjadi sebuah tugas mulia, jika perangkat negara berusaha
mempertahankan keutuhan negara ini.
Seharusnya, mereka yang anti terhadap
Perppu Anti Terorisme, mulai memikirkan hal-hal produktif, atau hal-hal
sederhana, misalnya: istri di rumah sedang masak apa; amankah anak-anak
dari pengaruh narkoba?
0 komentar:
Posting Komentar