Budaya hedonis, pemahaman keliru atas
ajaran agama, kemudian pengaruh-pengaruh dari budaya asing adalah sebab
dari mulai tipisnya ikatan sosial sesama warga.
Kita ambil contoh, tuduhan radikal atau
ekstrimis pada sebagian kelompok orang tentu bukan tuduhan tanpa alasan
kuat. Negara Indonesia bukan negara Islam dari sejak bangsa ini sepakat
untuk bersatu. Bukan Proklamasi yang menjadi tolok ukurnya, tetapi
Sumpah Pemuda. Pancasila adalah buah pemikiran yang berangkat dari
pengalaman spiritual, dari sebuah renungan atas sebuah pengalaman hidup.
Sebagaimana halnya kita semua sejak lahir telah dan akan terus
berproses menjadi lebih maju. Ada yang lahir dalam keluarga Kristen,
Kong Hu Cu dan lain-lain. Ketika dia keluar dari rumahnya, tentu dia
akan mendapati suasana yang berbeda. Dia bertetangga dengan keluarga
muslim, dengan orang berprofesi macam-macam dan karakter yang berbeda
pula. Dari lingkungan sekitar kita sudah ada keragaman yang benar-benar
unik, Tanpa toleransi dan kompromi tentu keragaman itu akan hancur
dengan sendirinya. Dan kita adalah makhluk sosial tentu saja harus
sanggup menerima perbedaan itu dalam batasan toleransi dan kompromi
dengan banyak pihak.
Merupakan tradisi lama yang sudah hampir
musnah ketika orang tak lagi bertegur sapa. Saat ini upaya sebaiknya
kita semua menghidupkan lagi budaya sapa agar warga menjadi lebih peduli
dengan sekitarnya tanpa mempersoalkan perbedaan apapun. Saling menyapa
sebenarnya dapat meminimalkan batasan sosial. Padahal mereka itu boleh
jadi tetangga kita yang sangat rajin memutakhirkan status melalui media
sosial. Karena merupakan kenyataan bahwa perbedaan sosial baik itu
ekonomi, keyakinan maupun etnis atau suku masih terhambat oleh cara
pandang warga itu sendiri.
Budaya saling sapa akan dengan sendirinya
membawa suasana batin kita menjadi kenal dengan yang disapa. Tak kenal
maka tak sayang, begitu kata orang tua. Dari sini kita telah dituntut
untuk mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi
setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama,
kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan
sebagainya.
Bagaimana mungkin anda menuntut hak penuh
dalam penggunaan jalan di kampung? Dan bagaimana mungkin kita menolak
uluran tangan tetangga atau apakah mungkin kita berdiam diri ketika
tetangga mengalami musibah? Itu merupakan pertanyaan sederhana.
Terorisme selalu berawal dari pemahaman
radikal tentang ajaran agama dan mampu melahirkan watak psikopat bagi
pelaku. Ada sebuah gagasan yang diperkenalkan oleh Sayyid Qutub yang
pada akhirnya kita akan memahami mengapa ada sebagian orang Indonesia
yang menolak menggunakan hukum positif negeri ini, menolak Pancasila
atau bahkan menyebut Pancasila sebagai thogut, menjadikan polisi sebagai
korban teror, atau mungkin menganggap diri kita sebagai orang yang bisa
dibunuh tanpa alasan.
Begini gagasan itu disebutkan ; “Teori
hukum dalam agama Islam dibangun di atas persaksian bahwa tiada ilâh
yang behak diibadahi selain Allah. Dan bila dengan persaksian ini telah
ditetapkan bahwa peribadatan hanya layak ditujukan kepada Allah semata,
maka ditetapkan pula bahwa perundang-undangan dalam kehidupan umat
manusia adalah hak Allah Azza wa Jalla semata. Dari satu sisi, hanya
Allah Yang Maha Suci, yang mengatur kehidupan umat manusia dengan
kehendak dan takdir-Nya. Dan dari sisi lain, Allah Azza wa Jalla jualah
yang berhak mengatur keadaan, kehidupan, hak, kewajiban dan hubungan
mereka, juga keterkaitan mereka dengan syari’at dan ajaran-ajaran-Nya……
Berdasarkan kaidah ini, manusia tidak dibenarkan untuk membuat
undang-undang, syari’at, dan peraturan pemerintahan menurut gagasan
diri-sendiri. Karena perbuatan ini artinya menolak sifat ulûhiyyah Allah
Azza wa Jalla dan mengklaim bahwa pada dirinya terdapat sifat-sifat
ulûhiyah. Dan sudah barang tentu ini adalah nyata-nyata perbuatan
kafir.” [Al ‘Adâlah Al-Ijtimâ’iyah hlm. 80]
Penutup
Pemahaman radikal seperti paparan Sayyid Qutub diatas tetap mempunyai jalan keluar untuk dijinakkan, yaitu dengan melibatkan setiap pendatang baru di lingkungan kita dalam banyak aktifitas sosial seperti kerja bakti dan semacamnya. Kita wajib mengenal siapa tetangga kita dan apabila mereka tertutup ya minimal bisa dilaporkan ke ketua rt untuk diawasi bersama-sama. Budaya saling menyapa adalah awal dari saling mengenal. Mari kita mulai dan kembangkan lagi budaya ini demi perdamaian.
Pemahaman radikal seperti paparan Sayyid Qutub diatas tetap mempunyai jalan keluar untuk dijinakkan, yaitu dengan melibatkan setiap pendatang baru di lingkungan kita dalam banyak aktifitas sosial seperti kerja bakti dan semacamnya. Kita wajib mengenal siapa tetangga kita dan apabila mereka tertutup ya minimal bisa dilaporkan ke ketua rt untuk diawasi bersama-sama. Budaya saling menyapa adalah awal dari saling mengenal. Mari kita mulai dan kembangkan lagi budaya ini demi perdamaian.
Demikianlah. Wassalam
0 komentar:
Posting Komentar