Pemblokiran Telegram dan pembubaran
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), adalah tindakan serius pemerintah
menyikapi organisasi apapun yang berupaya menghalalkan segala cara untuk
mengubah dasar negara dan menghacurkan NKRI.
Jumat, 14 Juli 2017, Kemonkominfo telah meminta Internet Service Provider (ISP) untuk melakukan pemutusan akses (pemblokiran) terhadap 11 Domain Name System (DNS) milik Telegram yang digunakan oleh kelompok radikal untuk mengakses layanan chat terorisme. Sementara aplikasi mobile Telegram masih bisa digunakan hingga saat ini.
Layanan chat Telegram diblokir
karena dinilai sebagai tempat beredarnya konten bermuatan propaganda
radikalisme, paham kebencian, ajakan cara merakit bom, cara melakukan
penyerangan, disturbing images, dan hal destruktif lainnya yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Pemblokiran situs Telegram oleh pemerintah
didasari alasan dan bukti yang kuat, yaitu telah disalahgunakan untuk
penyebaran ajaran radikal yang mengarah pada terorisme. Pemblokirannya
disetujui oleh tiga institusi, yaitu Kemkominfo, Badan Intelejen Negara
(BIN), dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
“…Ada lebih dari 500 halaman (di
Telegram memuat situs yang mengancam keamanan negara), mulai dari ajaran
radikal, cara membuat bom, ajakan membenci aparat kepolisian, banyak!”
kata Rudiantara di pesawat Kepresidenan Boeing 737-400 AU, Sabtu 15 Juli 2017.
Sebanyak 17 aksi teror sejak tahun 2015
dikomunikasikan melalui situs Telegram. Itu adalah buktinya. Bukti
lainnya menurut Dirjen Aplikasi Informatika Kemenkominfo, Samuel
Abrijani Pangerapan, adalah rencana pembunuhan terhadap Basuki Tjahaja
Purnama alias Ahok, mantan Gubernur DKI Jakarta.
Dijelaskan oleh Pangerapan bahwa rencana
pembunuhan terhadap Ahok juga dibarengi dengan rencana pengeboman mobil
dan tempat ibadah, yang direncanakan dilakukan pada tanggal 23 Desember
2015. Informasi tersebut ia dapatkan dari Detasemen Khusus (Densus). “Detailnya, adalah Densus yang tahu,” ujarnya.
Menurut Menteri Komunikasi dan Informatika
(Menkominfo), Rudiantara, Telegram sebelum diblokir telah dihubungi
oleh Menkominfo sejak tahun 2016, namun tidak direspons oleh Pavev Durov
selaku Chief Executive Officer (CEO) Telegram.
Minggu, 16 Juli 2017, Pavev Durov baru meresponsnya ketika ia mengetahui layanan chat
Telegram telah diblokir. Ia minta maaf. Permintaan maafnya sekaligus
membantah klaimnya yang mengaku tidak pernah mendapat permintaan
penghapusan konten maupun komplain dari Kominfo.
Rudiantara mengaku telah menerima permintaan Durov terkait pemblokiran pengoperasian layanan chat Telegram yang memuat channel
berbau radikalisme dan terorisme. Rudiantara mengapresiasi respons
Durov, namun ia tidak menyebutkan kapan pemblokiran akan dicabut.
Presiden Joko Widodo, yang akrab disapa
Jokowi, usai memberikan kuliah umum pada pendidikan Akademi Bela Negara
Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Minggu 16 Juli2017, mengatakan bahwa
terdapat ribuan aktivitas komunikasi antarnegara dalam aplikasi Telegram
yang mengarah pada aktivitas terorisme.
“Pemerintah kan sudah mengamati lama,
dan kita kan ini mementingkan keamanan negara, keamanan masyarakat,
oleh sebab itu keputusan itu dilakukan,” kata Jokowi.
Presiden Jokowi menjelaskan bahwa masih banyak aplikasi lain yang bisa digunakan oleh masyarakat untuk berkomunikasi.
Pascapemblokiran situs Telegram tanggal 14
Juli 2017, lima hari kemudian, yakni tanggal 19 Juli 2017, pemerintah
membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Pembubaran HTI melalui proses panjang,
lewat pengamatan dan mempelajari nilai yang dianut oleh HTI. Walaupun
HTI merupakan organisasi dakwah, namun tindakan dan dakwah yang
disampaikan HTI masuk wilayah politik,” kata Wiranto.
Penilaian Wiranto terhadap HTI masih sedikit soft.
Berbeda dengan penilaian Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin. Ia
menyebut Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) bukan sebagai organisasi dakwah
keagamaan melainkan organisasi politik.
Walaupun penilaian Wiranto dan Lukman
terlihat sedikit berbeda, tetapi keduanya sebenarnya memiliki penilaian
yang sama terhadap HTI, bahwa HTI adalah organisasi politik yang berbaju
agama, yang dalam isttilah Wiranto disebut masuk wilayah politik.
Dalam dakwahnya, HTI sebagai gerakan pembebasan selalu menyuarakan khilafah. Khilafah adalah idiologi yang meniadakan nation state,
mengganti Pancasila dan UUD 1945, dan membuat politik Indonesia sebagai
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak berdaulat lagi.
Menurut Wiranto tidak akan ada kompromi bagi organisasi manapun yang mengancam eksistensi Indonesia, termasuk HTI. “Kewajiban kita yang lahir di Indonesia mempertahankan warisan ini, warisan keberadaan NKRI,” ujar Wiranto.
HTI hadir di Indonesia sekitar tahun
1980-an (1983?). Artinya 30 tahun lebih HTI telah eksis di Indonesia.
Tiga puluh tahun lebih bukanlah waktu yang singkat bagi HTI menebarkan
idiologinya. Selama itu pula mereka menimbulkan pertentangan dan
keresahan di tengah masyarakat. Cukup lama pemerintah memberikan hati
(tindakan soft) kepada HTI, tapi maunya HTI adalah jantung, yaitu memaksa pemerintah harus melakukan tindakan tegas.
Tanggal 8 Mei 2017, pemerintah melalui
Menko Polhukam, Wiranto, telah memberi signal untuk membubarkan HTI,
dengan tiga alasan, yaitu: 1) sebagai ormas berbadan hukum, HTI tidak
melaksanakan peran positif untuk mengambil bagian dalam proses
pembangunan guna mencapai tujuan nasional; 2) kegiatan yang dilaksanakan
HTI terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan, asas, dan ciri
yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Ormas; dan 3) aktivitas yang dilakukan HTI nyata-nyata telah menimbulkan
benturan di masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban
masyarakat, serta membahayakan keutuhan NKRI.
Akhmad Sahal, adalah salah satu orang yang tidak setuju dengan keberadaan HTI. Di akun Twitternya @sahal_AS, ia menulis “Dulu yang memusuhi kebangsaan kita adalah kaum penjajah. Kini yang memusuhi kita adalah HTI dan @felixsiauw,” kicaunya dalam akun @sahal_AS.
Sebelas hari kemudian, pasca Wiranto
memberi signal, yaitu pada hari Jumat, 19 Mei 2017, Presiden Jokowi juga
mengeluarkan signal. Dihadapan 1.500 prajurit TNI di Tanjung Datuk
Kepulauan Natuna-Riau, Jokowi menembakkan pelurunya secara jitu dan
mengenai sasarannya. Peluru itu adalah ucapan Jokowi: Gebuk...! Sasaran tembaknya adalah ormas anti Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika dan ormas berpaham PKI.
Kata gebuk ditembakkan
oleh Jokowi pada momen yang tepat. Kekuatannya lebih hebat dari senjata
modern, dan menggema di seluruh Indonesia bahkan dunia. Ormas-ormas yang
mendorong publik terbingkai dalam perpecahan, dan mengotak-atik pilar
bangsa, yang merencanakan makar gemetar.
Dua bulan kemudian, pada tanggal yang
sama, yaitu 19 Juli 2017, peluru yang ditembakan Jokowi mengenai sasaran
tembaknya, yaitu HTI digebuk/dibubarkan. Sasaran
tembaknya sangat tepat, karena HTI adalah organisasi politik berkedok
dakwah, yang anti Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan anti Bhinneka Tunggal
Ika.
***
0 komentar:
Posting Komentar