Bahaya terorisme nampaknya sudah menjadi
ancaman terbesar yang sangat pantas diwaspadai negeri tercinta,
Indonesia. Model teror ada dalam berbagai bentuk, ada yang meneror
dengan meledakan bom,ada yang melakukan terror melalui gerakan-gerakan
radikalisme dan juga terror langsung seperti penusukan-penusukan aparat
kepolisian. Adapun wujut terror langsung adalah dengan adanya
peristiwa-peristiwa penusukan-penusukan aparat kepolisian di wilayah
negara kita.
Ada korban nyawa, yang terjadi di Sumatera
Utara dan juga korban lain meskipun tidak menghilangkan nyawa, yaitu
penusukan anggota brimob di kebayoran baru Jakarta Selatan. Kalau
melihat gerakan terorisme, sejatinya apa yang terjadi bukanlah hal yang
mengherankan, namun ada satu yang menarik, yaitu tentang semakin brutal
dan kalapnya para teroris.
Hal ini terkait dengan nekatnya terorisme
dalam melakukan gerakan dan tindakannya. Perstiwa penusukan aparat
kepolisian di dalam tempat ibadah, oleh pelaku yang juga ikut beribadah,
memberikan gambaran betapa brutalnya gerakan terror dan terorisme di
negeri ini. Dari sini bisa dilihat, betapa agama sudah bukan
merupakan ranah sakral, namun sudah dijerumuskan kekubangan politik
yang seringkali terlihat kotor dan menjijikan.
Tulisan
ini bertujuan untuk menyadarkan seluruh pembaca seword, dimanapun dan
kapanpun keberadaanya agar meningkatkan kewaspadaan. Mengapa demikian?
Karena teror oleh teroris sudah tidak memiliki ranah sakral, karena di
dalam tempat ibadahpun berani melakukan teror.
Imbas dari gerakan-gerakan terror yang
masif dan juga spartan bisa berefek luar biasa, dan efek itu adalah
ketakutan atau trauma. Pihak yang akan mendapatkan efek trauma serta
ketakutan luar biasa adalah aparat kepolisian dan juga rakyat
kebanyakan.
Pembunuhan polisi di Sumatra Utara dan
penusuakn dua anggota polisi di Jakarta, pasti akan mengakibatkan
meningkatnya volume ketakutan anggota polisi di dalam menjalani
kehidupannya. Pengalaman penusukan di tempat ibadah, pastilah membuat
kawan-kawan polisi merasa ngeri, karena ternyata ancaman kepada korps
polisi meningkat dan seolah polisilah sasaran tembak teroris dimanapun
dan kapanpun.
Hal ini pastilah akan mneyebabkan kinerja
polisi bisa terganggu. Mereka akan dihantui ketakutan saat berdinas dan
juga saat diluar dinas. Akibat ketkautan ini maka kinerja kepolisisan
juga terganggu sehingga tingkat pengamanan yang merupakan tugas utama
polisi akan terganggu.
Hal yang demikian yang akan menyebabkan
para teroris semakin lelausa bergerak dan memang inilah tujuan dari
mereka . Para teroris dan juga otak teroris pasti cerdik atau licik
dalam menjalankan strateginya. Serangan ke aparat kepolisian bertujuan
untuk meruntuhkan mental korps kepolisian sehingga dengan turunnya
kinerja kepolisian, maka semakin leluasalah mereka melakukan gerakan.
Pihak yang akan mendapatkan efek ketakutan
adalah masyarakat awan. Informasi masif tentang terorisme dan juga
korban-korban yang diakibatkannya,pastilah akan membuat masyarakat
merasakan bahwa ancaman keselamatanpun juga mengintai mereka. Serentak
dengan itu, masyarakat akan menautkan sistem keamanan kepada
perangkat keamanan, yaitu polisi. Jika sudah demikian, bisa jadi aka
nada dua rongrongan mengancam keberadaan negeri ini.
Masyarakat mengharapkan pengamanan dari
kepolisian sementara merekapun juga mendapatkan ancaman. Ketika performa
aparat kepolisian menurun dan ini juga menjadikan tingkat kepercayaan
masyarakat menurun, maka teroris akan bersorak kegirangan.
Oleh karena itu, usulan penulis adalah, yang pertama, beri dukungan nyata kepada pihak kepolisian.
Kalau Ahok menadapatkan kiriman karangan bunga, mengapa kepolisian yang
sudah bertaruh nyawa dalam menjaga negeri tercinta tidak dilakukan?
Menurut penulis, memang tidak harus persis seperti yang diberikan ke
Ahok, namun tindakan empati dan simpati yang nyata untuk polisi sangat
mutlak dibutuhkan. Terkait bentuk atau model nyata ungkapan simpati,
silakan dipikirkan bersama-sama.
Yang kedua adalah tetap memberi kepercayaan penuh keda pihak kepolisian.
Jangan sekalipun mengendorkan semangat kerja kepolisian dengan
kritik-kritik yang kurang konstruktif, karena jika ini muncul, maka bisa
jadi akan ada gesekan antara masyarakat dengan polisi, jika ini terjadi
maka iblis teroris akan bersorak gembira karena longgarnya pengamanan
dan pengawasan kepada mereka.
Poin ketiga terkait usulan
ini, maka penulis mengusulkan agar warga masyarakat meningkatkan sistem
pengamanan dalam lokalitas terkecil. Lingkungan Rukun
Tetangga atau RT menjadi benteng pertama yang menjadi penjaga negara
dari ancaman terorisme. Jika dalam masyarakat sudah tercipta sistem
keamanan yang kuat maka sel-sel dan virus-virus terorisme akan segera
mudah ditangkal.
Memang budaya dan peradaban neomodernisme
menjadikan menguatnya sikap-sikap individual. Masyarakat mulai
berprinsip, jika bukan urusan saya maka tidak akan peduli. Jika ada tamu
atau gerakan-gerakan dalam masyarakat serta pertemuan-pertemuan, tidak
ada yang peduli. Padahal bisa jadi itu adalah pertemuan-pertemuan
kelompok-kelompok teroris yang merencanakan tindakan-tindakan jahat
mereka.
Diakhiri tulisan ini, penulis mengajak
kepada semua pembaca seword untuk ikut terlibat aktif dalam upaya
menangkal gerakan terorisme. Perkuatlah relasi dalam lingkungan
terdekat, control siapa-siapa yang masuk dan bermukin di daerah saudara,
sehingga gerakan terorisme bisa ditangkal sedini mungkin.
Salam NKRI Jaya
0 komentar:
Posting Komentar