MENELISIK KEMBALI ARTI RADIKALISME
DAN INTEGRASINYA DENGAN PRAKTEK
KEKERASAN
DALAM PERSPEKTIF AGAMA[1]
Oleh: Muhammad Shobahus Sadad, Ahmad Muzaqqi, dan Erlina
Latar
Belakang
Dimulai
dari peristiwa menggemparkan 11 September 2001, hari kelam bagi Amerika, saat
dua pesawat tempur menghantam sepasang gedung megah WTC, dan sebuah pesawat
menubruk pusat keamanan AS Pentagon beberapa menit kemudian.
Sebuah
aksi terorisme yang tak pelak menebar ketakutan di kalangan berbagai pihak,
baik dari pihak AS, maupun masyarakat internasional. Lebih ironisnya lagi, aksi
itu dikaitkan dengan Islam, karena oknnum-oknum yang berperaan aktif dalam aksi
tersebut memang sarat dengan lambing-lambang islam, mulai dari pakaian,
perawakan, sampai video pribadi penyeru jihad.
Pentingnya
perlindungan HAM dalam dunia abad ke-21 ini mnyebabkan penolakan keras terhadap
gerakan-gerakan penganut kekerasan. Hingga dapat diketahui, hanya karena
beberapa orang pecinta pemaksaan dan kekerasan berjubah “islam” datang dengan
menggenderangkan genderang perang, masyarakat islam pula lah yang menerima imbas
buruk. Bermacam-macam, mulai dari pengecapan keras dan tanpa kasih sayang,
hingga isu propaganda yang saling berkesinambungan bak untaian tasbih nan tak
ada ujungnya.
Secara
luas, gerakan-gerakan seperti ini disinyalir sebagai gerakan radikalisme Islam,
yang notabennya terus-menerus dikaitkan dengan wacana kekerasan. Sehingga tak
pelak membuat citra Islam di mata dunia menjadi semakin buruk, disamping
peradaban Islam juga telah mengalami keterpurukan.
Serangan
balik, bukanlah jawaban yang tepat, namun memahami kelompok-kelompok radikal
tadi secara leih dalam dan dekat, apalagi bagi kaum muslim, hingga wujud islam
sebagai sebuah keselamatan (salam) dan ketenteraman bagi semua orang,
baik bagi yang memeluknya maupun yang ada di sekitarnya.
Rumusan
Masalah
Pengantar yang telah dipaparkan diatas memang
tak mampu member penjelasan lebih, hingga perlu penulis buat rumusan-rumusan
masalah yang nantinya akan dikaji lebih lanjut dalam makalah sederhana ini,
yaitu sebagai berikut,
1.
Menelaah kembali makna radikalisme
2.
Kemunculan radikalisme dan Faktor-faktor
multidimensional yang mengintegrasikannya dengan aksi kekerasan
3.
Fakkta-fakta aksi kekerasan dan
implikasinya dalam masyarakat
Makna Radikalisme
Kata radikalisme
ditinjau dari segi terminologis berasal dari kata dasar radix yang artinya akar
(pohon). Bahkan anak-anak sekolah menengah lanjutan pun sudah mengetahuinya
dalam pelajaran biologi. Makna kata tersebut, dapat diperluas kembali, berarti
pegangan yang kuat, keyakinan, pencipta perdamaian dan ketenteraman, dan
makna-makna lainnya. Kata ini dapatdikembangkan menjadi kata radikal, yang
berarti lebih adjektif. Hingga dapat dipahami secara kilat, bahwa orang yang berpikir radikal pasti memiliki pemahaman
secara lebih detail dan mendalam, layaknya akar tadi, serta keteguhan dalam
mempertahankan kepercayaannya. Memang terkesan tidak umum, hal inilah yang menimbulkan kesan menyimpang di masyarakat.
Setelah itu, penambahan sufiks –isme sendirri memberikan makna tentang
pandangan hidup (paradigma), sebuah faham, dan keyakinan atau ajaran.
Penggunaannya juga sering disambungkan dengan suatu aliran atau kepercayaan
tertentu.
Ketua umum Dewan Masjid
Indonesia, Dr. dr. KH. Tarmidzi Taher memberikan komentarnya tentang
radikalisme bemakna positif, yang memiliki makna tajdid (pembaharuan) dan islah
(peerbaikan), suatu spirit perubahan menuju kebaikan. Hingga dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara para pemikir radikal sebagai seorang pendukung
reformasi jangka panjang.
Dari sini, dapat
dikembangkan telisik makna radikalissme, yaitu pandangan / cara berfikir
seseorang yang menginginkan peningkatan mutu, perbaikan, dan perdamaian
lingkungan multidimensional, hingga semua lapisan masyarakatnya dapat hidup
rukun dan tenteram.
Namun demikian, dalam
perkembangannya pemahaman terhadap radikalisme itu sendiri mengalami
pemelencengan makna, karena minimnya sudut pandang yang digunakan, masyarakat
umum hanya menyoroti apa yang kelompok-kelompok radikal lakukan (dalam hal ini
praktek kekerasan), dan tidak pernah berusaha mencari apa yang sebenarnya
mereka cari (perbaikan). Hal serupapun dilakukan oleh pihak pemerintah, hingga
praktis pendiskriminasian terhadap paham yang satu ini tak dapat dielakkan.
Kemunculan
Radikalisme
Kata radikal itu
sendiri berasal dari bahasa latin radix yang berarti akar(pohon) Dan fundamentalisme bermakna dasar dan inti,
fundamentalisme islam dengan demikian adalah dasar dan inti ajaran islam.
Gerakan ini dapat berada di wilayah akademik, politis, bahkan ekonomis.
Fundamentalis dengan radikal memang saling
berkaitan, keduanya memiliki kesamaan arti yang sama-sama bermakna inti,
kelompok radikalisme muncul dengan di landasipaham fundamentalis.
Sesungguhnya, sejarah
munculnya fundamentalisme apabila di lacak secara akademis baru tumbuh sekitar
abad ke-19 dan terus mengemuka sampai sekarang. Dalam tradisi barat sekuler hal
ini di tandai keberhasilan industrialisasi pada hal-hal positive di satu sisi
tetapi negative disisi yang lain. Apa yang negative, yaitu munculnya perasaan
kekosongan jiwa, kemurungan hati, kehampaan, dan ketidakstabilan perasaan.
Iwan gunawan menyebutkan zaman
fundamentalisme dengan istilah zaman ironi, dimana sikap yang di tonjolkan
adalah sedih melihat teman senang dan merasa senang melihat teman sedih.[2]
Sesungguhnya, sejarah
kemunculan gerakan radikalisme dan kelahiran kelompok fundamentalisme dalam
islam lebih di rujuk karena dua factor, yaitu:
1.
Faktor internal
Faktor internal adalah adanya legitimasi Teks
keagamaan, dalam melakukan “perlawanan” itu sering kali menggunakan legitimasi
teks (baik teks keagamaan maupun teks “cultural”) sebagai penopangnya. untuk
kasus gerakan “ekstrimisme islam” yang merebak hampir di seluruh kawasan
islam(termasuk indonesia) juga menggunakan teks-teks keislaman (Alquran, hadits
dan classical sources- kitab kuning) sebagai basis legitimasi teologis,
karena memang teks tersebut secara tekstual ada yang mendukung terhadap
sikap-sikap eksklusivisme dan ekstrimisme ini.[3] Seperti
ayat-ayat yang menunjukkan perintah untuk berperang seperti; Perangilah orang-orang yang tidak beriman
kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak
mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama
dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan
Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang
mereka dalam Keadaan tunduk. (Q.S. Attaubah: 29)[4] menurut
gerakan radikalisme hal ini adalah
sebagai pelopor bentuk tindak kekerasan dengan dalih menjalankan syari’at ,
bentuk memerangi kepada orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan lain
sebagainya. Tidak sebatas itu, kelompok fundamentalis dengan bentuk radikal
juga sering kali menafsirkan teks-teks keislaman menurut “cita rasa” merka
sendiri tanpa memperhatikan kontekstualisasi
dan aspek aspek historisitas dari teks itu, akibatnya banyak fatwa yang
bertentangan dengan hak-hak kemanusiaan
yang Universal dan bertentangan dengan emansipatoris islam sebagai agama pembebas manusia dari
belenggu hegemoni. Teks-teks keislaman yang sering kali di tafsirkan secara
bias itu adalah tentang perbudakan, status non muslim dan kedudukan perempuan.
Faktor internal lainnya adalah dikarenakan gerakan
ini mengalami frustasi yang mendalam karena belum mampu mewujudkan cita-cita
berdirinya ”negara islam internasional” sehingga
pelampiasannya dengan cara anarkis; mengebom fasilitas publik dan terorisme.
Harus diakui bahwa salah satu penyebab gerakan
radikalisme adalah faktor sentimen keagamaan, termasuk di dalamnya adalah
solidaritas keagamaan untuk kawan yang tertindas oleh kekuatan tertentu. Tetapi
hal ini lebih tepat dikatakan sebagai faktor emosi keagamaannya, dan bukan
agama (wahyu suci yang absolut). Hal ini terjadi pada peristiwa pembantaian
yang dilakukan oleh negara Israel terhadap palestina, kejadian ini memicu adanya
sikap radikal di kalangan umat islam terhadap Israel, yani menginginkan agar
negara Israel diisolasi agar tidak dapat beroperasi dalam hal ekspor impor.
2.
Faktor eksternal
Faktor eksternal
terdiri dari beberapa sebab di antaranya : pertama, dari aspek
ekonomi-politik, kekuasaan depostik pemerintah yang menyeleweng dari
nilai-nilai fundamental islam. Itu artinya, rejim di negara-negara islam gagal
menjalankan nilai-nilai idealistik islam. Rejim-rejim itu bukan menjadi pelayan rakyat, sebaliknya
berkuasa dengan sewenang-wenang bahkan menyengsarakan rakyat. penjajahan Barat yang serakah, menghancurkan
serta sekuler justru datang belakangan, terutama setelah ide kapitalisme global
dan neokapitalisme menjadi pemenang. Satu ideologi yang kemudian mencari daerah
jajahan untuk dijadikan “pasar baru”. industrialisasi dan ekonomisasi pasar
baru yang dijalankan dengan cara-cara berperang inilah yang sekarang
mengejawantah hingga melanggengkan kehadiran fundamentalisme islam. Karena itu,
fundamentalisme dalam islam bukan lahir karena romantisme tanah (seperti
Yahudi), romantisme teks (seperti kaum bibliolatery), maupun melawan
industrialisasi (seperti kristen eropa). Selebihnya, ia hadir karena kesadaran
akan pentingnya realisasi pesan-pesan idealistik islam yang tak dijalankan oleh
para rejim-rejim penguasa dan baru berkelindan dengan faktor-faktor eksternal
yaitu ketidakadilan global.[5]
Kedua, faktor budaya, faktor ini menekankan pada
budaya barat yang mendominasi kehidupan saat ini, budaya sekularisme yang
dianggap sebagai musuh besar yang harus dihilangkan dari bumi.
Ketiga, faktor sosial politik, pemerintah yang
kurang tegas dalam mengendalikan masalah teroris ini juga dapat dijadikan
sebagai salah satu faktor masih maraknya radikalisme di kalangan umat islam.[6]
Fakkta-fakta
aksi kekerasan dan implikasinya dalam masyarakat
Berbicara tentang
radikalisme, lebih-lebih fundamentalisme, tak mungkin menafikan adanya
aksi-aksi yang memang berasaskan kekerasan, pemankasaan, bahkan pembinasaan.
Salah satunya adalah Pemboman-pemboman
yang dilakukan di Paris oleh kelompok-kelompok Islam Aljazair seperti pegawai
islam bersenjata telah memperburuk ketegangan-ketegangan di Prancis dan
menambah jumlah dukungan untuk mereka yang mempersoalkan apakah islam sesuai
dengan budaya Prancis, entah itu budaya yahudi-kristen atau budaya sekuler, dan
apabila muslim dapat menjadi warga negara Prancis yang sejati dan loyal.
Penasehat menteri dalam negeri tentang imigrasi mengingatkan, “Sekarang ini,
memang benar-benar terdapat ancaman Islam di Prancis itu adalah bagian dari
gelombang besar fundamentalisme muslim dunia.[7]
Di tengah-tengah
perdebatan Prancis terhadap suatu kecenderungan untuk melihat islam sebagai
agama asing, menempatkannya sebagai agama yang bertolak belakang dengan tradisi
Yahudi-Kristen. Sementara banyak orang menekankan proses asimilasi yang
menyisakan hanya sedikit ruang untuk pendekatan multikultural, sebagian yang
lain berpendapat bahwa muslim harus diizinkan untuk mengembangkan identitas
muslim Prancis yang khas yang mencampur antara nilai-nilai asli ke-Prancis-an,
dengan akidah dan nilai-nilai islam.[8]
Realita lain yang
dikenal sebagai awal berkibarnya bendera perang terhadap terorisme oleh AS,
yaitu peristiwa 11 September yang merontokkan Gedung WTC dan Pentagon merupakan
tamparan berat buat AS. Maka, agar tidak kehilangan muka di dunia
internasional, rezim ini segera melancarkan “aksi balasan” dengan menjadikan
Afghanistan dan Irak sebagai sasarannya (maaf, kambing hitamnya!).[9]
Jika benar “benturan
peradaban” antara Barat dan Islam terjadi tentu aksi koboi AS (dan Inggris) ke
Afghanistan dan Irak disambut gembira oleh umat Kristiani. Faktanya ribuan
rakyat (entah Kristen atau bukan) di berbagai belahan dunia Barat justru
menggalang solidaritas sosial untuk menentang aksi keji dan biadab ini. Begitu
ketika WTC dan Pentagon diledakkan, ribuan umat islam turut mengutuknya.
Meskipun reaksi di beberapa negara Amerika Latin banyak yang tidak simpati
terhadap peristiwa 11 September itu. Sebab, selama berpuluh-puluh tahun, rakyat
di sana tidak pernah menikmati kemajuan sekalipun sumber daya alam mereka yang
sudah habis dikuras. China juga bersikap kurang lebih sama dengan Amerika Latin
ini. Pasalnya mereka justru menganggap adalah AS sendiri yang bersikap hostile
karena surplus perdagangan bilateral memang berada di pihak China. Akhirnya China,
oleh AS, justru dianggap sebagai pesaing strategis ketimbang mitra strategis
dalam ekonomi.[10]
[1]
Makalah ini pernah dilombakan pada lomba Presma Orsenik IAIN Walisongo tahun 2011 dan mendapatkan juara 2.
[2]
Untuk iwan , terima kasih dialpg-dialognya. (memaafkan islam)
[3]
Sumanto Alqurtuby, Jihad Melawan Ekstremis Agama, h al.49
[4]
Ahmad Norma Permata, Agama dan Terorisme, hal.78.
[5]
Memaafkan Islam , M. Yudhie Haryono hal 102
[6]
Jihad melawan ekstremis Agama
[7]
Islam warna warni, hal.256
[8]
Ibid.
[9]
Sumanto Alqurtuby, Jihad Melawan Ekstremisme Agama, hal.47
0 komentar:
Posting Komentar