Terorisme sudah menjadi musuh besar umat
manusia di bumi. Selain melanggar hak asasi manusia sebagai hak dasar
yang secara kodrati melekat dalam diri manusia, yaitu hak untuk merasa
nyaman dan aman. Terorisme juga menimbulkan korban jiwa dan kerusakan
pada harta benda. Tindak kejahatan terorisme juga merusak stabilitas
negara, terutama dalam sisi ekonomi, pertahanan, dan keamanan.
Hal inilah yang mendasari pentingnya
menyelesaikan permasalahan terorisme secara tuntas. Terorisme kian jelas
menjadi momok dan ancaman bagi peradaban manusia. Apalagi, motif dan
metode yang digunakan kini semakin bervariasi, sehingga semakin jelas
bahwa teror bukan merupakan bentuk kejahatan kekerasan destruktif biasa,
melainkan sudah merupakan kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan
umat manusia.
Salah satu langkah mengatasi terorisme
adalah dengan deradikalisasi. Deradikalisasi adalah segala upaya untuk
menetralisir paham-paham radikal melalui pendekatan interdisipliner,
seperti hukum, psikologi, agama, dan sosial-budaya bagi mereka yang
dipengaruhi atau terekspose paham radikal dan/atau prokekerasan.
Deradikalisasi
terorisme diwujudkan dengan program reorientasi motivasi, re-edukasi,
resosialisasi, serta mengupayakan kesejahteraan sosial dan kesetaraan
dengan masyarakat lain bagi mereka yang pernah terlibat terorisme maupun
bagi simpatisan, sehingga timbul rasa nasionalisme, humanisme dan mau
berpartisipasi dengan baik sebagai Warga Negara Indonesia.
Deradikalisasi membutuhkan waktu panjang
untuk menyadarkan orang yang terlanjur radikal. Oleh karena itu perlu
ditingkatkan kerjasa sama terutama dengan lembaga yang ada seperti
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), Kepolisian, TNI, dan lembaga terkait
lainnya. Sebab, proses penyadaran narapidana terorisme berbeda dengan
narapidana tindak pidana biasa.
Dibutuhkan perenungan serta strategi tepat
untuk mengajak narapidana teroris dalam berkomunikasi, karena mereka
berpikir hanya orang yang sepaham dengan mereka yang bisa mengelola
negara. Jadi harus ada pendekatan secara khusus kepada mereka yang harus
dimiliki oleh para petugas Lapas.
Harapan para narapidana teroris tentang
negara Islam itu adalah konsep yang tidak beralasan. Alasan itu harus
terus ditanamkan kepada mereka sekaligus meyakinkan kehidupan berbangsa
dan bernegara di bawah ideologi Pancasila suatu keniscayaan.
Kita harus terus membina dan merangkul
mereka untuk bisa menjalani dan mengisi kehidupan yang lebih baik.
Artinya, setelah proses penyadaran ini, harus ada proses lanjutan untuk
mengantar mereka kembali ke masyarakat, setelah bebas dari penjara
nanti.
Implementasi deradikalisasi
Terkait dengan proses deradikalisasi, ada
sebuah contoh implementasi dari mantan terpidana kasus terorisme, Iqbal
Husaini, yang dua kali harus menjalani hidup di balik jeruji besi.
Pada 2006, ia ditangkap karena menyimpan
dan menguasai senjata api, amunisi serta bahan peledak untuk aksi
terorisme. Ia memiliki kemampuan merakit senjata setelah mendapat
pelatihan militer di Filipina bersama kelompok Abu Sayyaf. Setelah
bebas, pada 2013, ia kembali tertangkap dalam kasus serupa. Total
hukuman yang ia terima yakni 10 tahun.
Pria yang dulu dikenal sebagai Ramli alias
Rambo itu sebenarnya sudah mulai menyadari bahwa perbuatannya tidak
dibenarkan pada 2011. Saat itu, ia sudah keluar dari penjara setelah
dihukum empat tahun penjara. Iqbal sempat berinteraksi dengan sejumlah
korban bom Bali I.
“Interaksi dengan korban membuat saya
menyadari kesalahan utama bahwa yang jadi musuh utama bukan masyarakat
sipil. Ketika ditempatkan di tempat target, banyak masyarakat sipil, di
luar dugaan malah jadi imbasnya ” ujar Iqbal.
Iqbal melihat bagaimana korban ledakan
menjadi cacat permanen, kehilangan keluarga dan orang terdekat, bahkan
ada polisi yang kondisi tubuhnya tak sanggup ia ceritakan. Padahal,
secara tidak langsung Iqbal terkait dengan aksi tersebut.
Namun, pada 2013, Iqbal kembali ditangkap
karena masih menyuplai senjata rakitannya untuk kelompok teroris. Meski
sudah ada penyesalan sejak berinteraksi dengan korban Bom Bali, namun
Iqbal mengaku tak bisa lepas begitu saja dari kelompok teroris.
Prosesnya tidak bisa seperti bekerja di kantoran yang tinggal mengajukan
surat resign.
Setelah menjalani sisa hukuman, Iqbal
meneguhkan diri untuk berhenti. Rasa simpatinya kepada korban sejumlah
aksi bom membuatnya tersadar bahwa apa yang dia yakini selama ini salah.
Proses kembali ke masyarakat
Iqbal menyadari, sebagai terpidana
teroris, ada label berbahaya yang melekat pada dirinya. Ia yakin,
masyarakat akan menghindarinya karena stigma mantan teroris. Awalnya,
begitu keluar dari penjara, Iqbal sempat menutup diri dari lingkungan.
Ia khawatir dengan pandangan orang yang akan mencap jelek dirinya.
Namun, setelah coba membuka diri dan berinteraksi dengan tetangga,
mereka mau menerima Iqbal.
Iqbal mengatakan, sebaiknya para mantan
teroris yang bertobat tidak menutup diri. Mereka harus bersosialisasi
dengan keluarga, tetangga, sehingga masyarakat dan keluarga percaya
bahwa mereka telah bertobat.
#lawanTerorisme
#KamiTidakTakut
0 komentar:
Posting Komentar