Pada hakikatnya NKRI adalah negara
kebangsaan modern, yang didirikan berdasarkan semangat kebangsaan, yaitu
sebuah semangat masyarakat membangun masa depan bersama dalam satu
negara, yang walaupun berbeda-beda agama, ras, etnis dan golongan,
tetapi tetap bersatu dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
NKRI adalah negara berdaulat, yang
diciptakan oleh Tuhan, dan milik Tuhan, bukan milik HTI. Kalau di negara
asalnya, HTI tak berkembang, mestinya HTI sadar, berarti HTI tak
dikehendaki oleh Tuhan berada di planet bumi ini. Solusinya, HTI harus
cari planet lain.
Planet Mars sepertinya sangat cocok bagi HTI mengembangkan konsep khilafah.
Di Mars wilayahnya masih luas dan belum ada manusia yang menempatinya.
HTI bisa sebebas-bebasnya menjadikan Alien sebagai anggota. Merupakan
lompatan luar biasa jika HTI menjadi perintis pertama menempati planet
Mars, atau bisa ke Asgardia yang merupakan negara luar angkara.
Khilafah, yang dalam arti
modernnya adalah negara Islam, adalah negara impian para idiot, yang
hanya menjanjikan sorga di telinga tapi menciptakan neraka di hati.
Konsep khilafah tidak realistis, anti demokrasi, anti
keberagaman dan penuh ilusi kesempurnaan. HTI tidak menyadari bahwa
namanya masih manusia yang menempati dunia tidak akan luput dari
kesalahan dan kehilafan.
Tak ada yang bisa menjamin pemimpin khalifah tidak akan korupsi. Tak ada yang bisa menjamin orang HTI tidak akan menjadi diktator. Tak ada yang bisa menjamin pemimpinnya akan adil
bagi semua orang. Kemungkinan yang bakal terjadi adalah perebutan
kekuasaan seperti yang terjadi di Timur Tengah, yang sampai saat ini tak
kunjung selesai dan negara mereka hancur lebur.
Arab Saudi yang notabenenya merupakan negara asal agama Islam tidak menggunakan sistem khilafah, tapi yang mengherankan HTI tetap ngotot menjadikan Indonesia sebagai khilafah.
Konsep khilafah yang memaksakan sistem salah satu agama sebagai hukum negara, yang getol (diligent)
diperjuangkan HTI merupakan bentuk pemberontakan terhadap Negara
Kesepakatan Rakyat Indonesia. Disebut pemberontakan karena Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terdiri atas beragam agama, ras, suku
dan budaya yang berbeda, yang tersebar di seluruh wilayah nusantara dan
telah disepakati dan diakui oleh para pendiri bangsa sebagai negara
yang Bhinneka Tunggal Ika.
Keinginan keras HTI memaksakan sistem
salah satu agama sebagai hukum positif negara sama saja dengan
menghidupkan kembali ide-ide sesat DI/TII. Bayang-bayang ide anti
demokrasi tersebut tampak jelas dalam HTI. Pemerintah dan rakyat sudah
30 tahun lebih terlalu toleran terhadap HTI yang menganut paham radikal
tersebut. Langkah pemerintah yang telah membubarkannya patut kita dukung
dan apresiasi.
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) bukan kelompok dakwah, tapi gerakan politik yang mengemas dirinya dengan agama. Menurut Saiful Mujani Research Consulting (SMRC), warga yang tahu tentang keberadaan HTI hanya 28,2 persen. Sisanya sebanyak 71,8 persen tidak tahu tentang keberadaannya.
Hasil survey SMRC juga menunjukkan bahwa warga yang tahu cita-cita HTI mendirikan negara Islam (khilafah)
hanya 56,7 persen, sedangkan yang tidak tahun 43,4 persen.Warga yang
tidak setuju dengan perjuangan HTI sebanyak 68,8 persen, sedangkan yang
setuju hanya 11,2 persen, sisanya 20 persen tidak menjawab.
Dari survey SMRC terlihat bahwa masyarakat
yang setuju dengan HTI hanya 11,2 persen; sedangkan yang setuju HTI
dibubarkan oleh pemerintah sebanyak 78,4 persen. Ini artinya HTI adalah
organisasi berbahaya bagi keutuhan NKRI, mungkin lebih berbahaya dari
PKI dan organisasi radikal lainnya.
Berikut ini adalah sejumlah konsep HTI yang membahayakan keutuhan NKRI. Pertama, HTI menilai NKRI sebagai konsep kufur (atheis) atau kafir (infidel).
Karena itu, HTI tidak percaya bahwa Indonesia bisa berdiri independen
sebagai sebuah bangsa. HTI menghendaki pemimpin pemerintan Indonesia
harus tunduk pada pemimpin yang disebut khalifah. Khalifah yang dimaksud boleh berada di negara lain, seperti Arab Saudi, Irak atau di Iran.
Kedua, HTI telah kehabisan banyak energi sia-sia berjuang untuk menjadikan Indonesia sebagai bagian dari khilafah. Menurut HTI, pemimpin Indonesia yang menolak keputusan khilafah bisa diganti; lebih berbahaya adalah jika tetap menolak, Indonesia bisa diberi sanksi oleh khalifah bahkan bisa diperangi.
Ketiga, HTI tidak percaya
empat pilar bangsa (Pancasila, UUD 45, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika)
dan semua rujukan konstitusi negara. Juga tidak percaya pada pemilu dan
demokrasi. Selama ini mereka terlihat percaya, itu hanya kamuflase,
karena HTI begitu yakin bahwa suatu saat Indonesia bisa diubah menjadi
bagian dari khilafah Islam.
Keempat, HTI
mengistimewakan warga Muslim, bersikap diskriminatif terhadap warga
non-Muslim. Dalam hal pemilihan pemimpin, warga non-Muslim tidak diberi
hak politik yang sama. Partai politik hanya dibolehkan untuk parpol
Islam. Jika ada pemilu hanya boleh diikuti oleh umat Islam. Pemilu bagi
HTI hanya merupakan pilihan terakhir. Bagi HTI yang ideal dalam memilih
pemimpin adalah melalui keputusan organisasi, yaitu semacam majelis
alim-ulama yang mempersatukan para ulama dan cerdik pandai.
Kelima, HTI anti keberagaman hukum. Tidak percaya parlemen untuk mengendalikan khalifah dan
pemerintah. HTI menganggap tidak perlu Undang-Undang yang dibuat oleh
wakil rakyat di parlemen. Bagi HTI, Syariah (hukum Islam) sudah
cukup.Tapi jika diperlukan atau ada kebutuhan untuk mengeluarkan aturan,
khalifah dan pembantu-pembantunya dapat membuat peraturan yang mengikat seluruh warga.
Keenam, model kepemimpinan HTI bukan demokrasi, tapi berbentuk diktaktor. Pemimpin yang terpilih diteguhkan dengan cara dibaiat (disumpah). Rakyat harus tunduk dan percaya padanya. Seorang khalifah harus merujuk pada Syariah (hukum Islam). Kepemimpinannya tidak memiliki batas waktu. Ia baru diganti jika wafat, atau kepemimpinannya tidak didasarkan pada Syariah, atau memimpin dengan cara yang lalim atau zalim (tyrannical), dan jika melanggar Syariah bisa dtiumbangkan dengan kekerasan.
Bagi sebagian umat Islam, retorika Hizbut
Tahrir mengembalikan kejayaan Islam menarik, tapi jika dipelajari
ternyata sistem pemerinthan yang ditawarkan HTI bertentangan dengan
konsep NKRI dan membahayakan keutuhan bangsa.
HTI merupakan manifestasi baru dari
DI/TII, yang membuai masyarakat dengan jargon-jargon agamis, tetapi
sebenarnya wujud nyata HTI adalah serigala berbulu domba dan iblis yang
memakai parfum.
Iblis yang memakai parfum memiliki cara
kerja yang halus. Berbeda dengan iblis di desa yang memakai jahe sebagai
alat bantu untuk komat-kamit, cara kerjanya kasar dan mudah diketahui
dari bau jahe yang menyengat. Sementara iblis yang memakai parfum
membuat sebagian orang mudah terjebak oleh bau parfum yang mewangi
semerbak.
Kalau Felix Siauw mengatakan bahwa HTI tidak melanggar Pancasila, itu adalah pembohongan kepada publik, karena konsep khilafah
yang diusung HTI jelas-jelas tidak hanya bertentangan dangan Pancasila,
tetapi juga bertentangan dengan NKRI, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal
Ika.
Bau harum parfum agamis Felix Siauw Cs
ternyata sangat beracun dan berbahaya, karena melunturkan rasa
nasionalisme, anti Pancasila, anti NKRI, anti UUD 1945, anti
kebhinekaan, dan anti Negara Kesepakatan Rakyat Indonesia.
Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas
yang dikeluarkan oleh pemerintah bukan kemunduran bagi demokrasi, tetapi
menyelamatkan demokrasi dari usaha HTI yang berniat menggantinya dengan
khilafah.
Presiden Jokowi dan para pembantunya tidak
keliru membubarkan HTI. Karena HTI telah menjadi benalu demokrasi.
Apakah dibiarkan? Tentu tidak!
HTI juga telah melakukan pembohongan masif kepada publik dengan cara meramaikan wacana waspada terhadap kebangkitan PKI dan komunisme gaya baru. Ternyata
wacana yang dikemukakan oleh HTI hanya ilusi dan untuk mempertahankan
eksistensinya , karena HTI tak dapat membuktikan keberadaan PKI dan
aktivitasnya. Mungkinkah yang dimaksudkan dengan komunis gaya baru
adalah HTI sendiri?
Orang-orang yang keberatan terhadap
pembubaran HTI seperti Amien Rais, Din Syamsudin, Yusril Ihza Mahendra,
adalah orang-orang yang mau mencari panggung lagi. Mereka adalah
oang-orang yang tak pernah puas dengan kekuasaan. Amien Rais misalnya,
ia empat kali “merombak” UUD 1945, tapi sampai kini tetap tak puas.
Fahri Hamzah dan Falid Zon, yang juga
keberatan terhadap pembubaran HTI, memiliki motivasi lain, yaitu tetapi
ingin menggenggam kekuasaan dan terus menikmati kursi empuk.
Mereka tidak peduli dengan keselamatan
bangsa dan negara dari rongrongan organisasi berkedok agama seperti HTI.
Bagi mereka, yang terpenting adalah kekuasaan, kenikmatan dan kemewahan
dunia. Terus nyinyir, bersilat lidah dan mengeluarkan
pernyataan-pernyataan yang bombastis dan membodohi rakyat.