Cari Blog Ini

Jumat, 14 Juli 2017

Waspada Kuda Troya Pasca Perppu Anti Radikalisme; Intoleransi Atas Nama Toleransi


 
Sulit untuk dipahami bagaimana alam demokrasi ditegakkan ketika atas nama demokrasi prinsip kesetaraan hak, kebersamaan dalam keberagaman, justru diabaikan. Padahal, prinsip demokrasi sejatinya telah berdiri di atas kepentingan semua orang, semua golongan, semua unsur yang bernaung di bawah negara. Artinya, saat negara ini telah berdiri tegak, maka prinsipnya pun harus dijaga bersama, demi menjaga harmonisasi, terutama bagaimana saling menghargai setiap individu, kelompok, maupun keyakinan yang berbeda.
Riwayat berdirinya negera ini sudah sangat jelas. Para pendiri tidak berdiri di atas kepentingan kelompoknya, mereka lebih memilih menancapkan visi mulia dengan menaikkan bargaining semua pihak sebagai kelompok yang setara. Saat Indonesia diproklamirkan, sejak itu pula sebutan minoritas dan mayoritas tak lagi mengemuka. Mayoritas dan minoritas hanyalah istilah identitas primordial yang hanya berlaku di jaman purba.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) seharusnya tidak perlu dikeluarkan jika seluruh elemen bangsa bergerak bersama untuk mendukung cita-cita bangsa. Kenyataannya, kisah kelam peralihan rezim Orde Lama ke Orde Baru dan Orde Baru digantikan Reformasi, belum sepenuhnya menumbuhkan kesadaran bersama tentang bahaya demokrasi ditunggangi sektarianisme. Bahkan, masih saja ada pihak yang memainkan praktek licik Kuda Troya demi kepentingan kelompoknya.
Saat ini, sudah sangat terang pihak-pihak yang sebenarnya hanya memanfaatkan demokrasi untuk menguatkan kelompoknya. Bahkan, beberapa kelompok beberapa kali menunjukkan praktek intoleran atas nama toleransi. Kesimpulannya, siapapun pihak yang menolak Perppu jelas merupakan pihak intoleran yang berkeinginan menguasai negara demi ambisi kelompoknya.
Intoleransi Atas Nama Toleransi
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mengeluarkan pernyataan menolak keras diterbitkannya Perppu Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) pada Rabu 12 Juli 2017. HTI berkesimpulan bahwa tidak ada alasan yang bisa diterima atas diterbitkannya Perppu tersebut.  Mereka bahkan dengan terang menuduh pemerintah telah bertindak represif dan diktator. Sebagaimana biasa, mereka kembali mengatasnamakan Islam, sebagai kelompok yang dizalimi oleh pemerintah, ulama dikriminalisasi, menghalangi da’wah dan membubarkan Ormas Islam.
Jika diperhatikan, HTI masih berusaha membela diri dengan memaikan strategi flaying victim. Mereka mencitrakan diri sebagai pihak yang dizalimi, diperlakukan tidak adil, dan tidak diberi ruang di negara ini. Bagaimana HTI memahami negara, jika negara ini disebutnya thogut? Bagaimana HTI bisa diberi ruang di negara ini jika tujuannya adalah merusak tatanan dan sistem kenegaraan Indonesia? Bagaimana mungkin intoleransi dibenarkan atas nama toleransi?
Dengan memosisikan diri sebagai pihak dizalimi, HTI berharap dapat meraih simpatik, berharap diselamatkan. Tapi, sebagaimana misi Kuda Troya, bahkan mereka rela berkamuflase dan mati suri demi merebut kemenangan. Seperti kisah Perang Troya dalam mitologi Yunani, kekalahan Troya terjadi saat mereka merasa perang telah selesai, lalu terlena dalam pesta, namun akhirnya harus menyaksikan kebangkitan lawan merebut kota.
Melawan Kuda Troya  
Perppu anti radikalisme hanya instrument, perangkat keras negara tetap perlu mewaspadai kebangkitan gerakan radikalisme yang justru berlindung di bawah naungan isu kriminalisasi, toleransi dan agama. isu-isu itu hingga kini masih sangat laku dan terbukti berhasil mengonsolidasikan kekuatan anti-pemerintah.
Kuda Troya kali ini akan semakin menampakkan diri pasca diterbitkannya Perppu anti radikalisme. Namun, untuk memudahkan pembahasan, klasifikasi Kuda Troya ada di kalangan elite dan organisasi kemasyarakatan.
Di kalangan elite setidak bisa ditemukan di lembaga tinggi negara, DPR. Adalah Fraksi PKS, Gerindra, PD, PAN adalah kelompok yang tidak menerima penerbitan Perppu. Di luar parlemen, beberapa Ormas yang sehaluan dengan HTI jelas akan segera mengonsolidasikan diri sebagai pihak yang dizalimi, atas nama toleransi, atas nama demokrasi, bahkan atas nama umat.
Isu kriminalisasi ulama, memusuhi Islam, dan rezim represif akan terus disebarkan demi meraih dukungan lebih luas lagi.
Tapi, seiring waktu, kriminalisasi ulama yang dilekatkan kepada Rizieq Shihab kian tergerus oleh sikapnya yang memilih tetap mangkir. Sebenarnya deretan kasusnya –penghinaan pancasila, pecalang, campur racun, penghinaan pendeta, tuduhan palu arit dalam lembaran rupiah- bisa diusut dengan ancaman hukuman lebih berat. Tapi, sepertinya langkah polisi untuk tetap fokus ke kasus chatmesum adalah strategi penjatuhan moral.
Kini, setelah Perppu anti radikalisme diterbitkan, pemerintah harus mengantisipasi strategi Kuda Troya yang bisa saja kembali digunakan dengan model baru. Kita sudah menyaksikan Fahri Hamzah dan beberapa koleganya dengan tegas menginginkan pelemahan KPK, lembaga yang justru selama ini bekerja mengembalikan harkat dan citra negara.
Jadi, lawan kita bukan hanya organisasi anti pancasila, tapi dalam wujud yang lebih elegan, Kuda Troya justru sedang duduk manis di DPR.

0 komentar:

Posting Komentar