Cari Blog Ini

Selasa, 04 Juli 2017

MUI, Radikalisme, dan Terorisme


Tiga anggota polisi tewas dan 10 orang lainnya mengalami luka-luka akibat bom bunuh diri yang dilakukan di Kampung Melayu, Jakarta Timur. Dua orang lainnya, yang diduga merupakan pelaku bom bunuh diri, juga tewas. Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengutuk keras bom bunuh diri tersebut.
MUI menyatakan, kekerasan atas nama agama tak bisa dibenarkan. “MUI mengutuk keras pelaku bom di Kampung Melayu. Tindakan tersebut sangat biadab dan jauh dari nilai-nilai agama,” ujar Waketum MUI Zainut Tauhid Sa’adi dalam pernyataanya. Menurut Zainut, bom bunuh diri tersebut merupakan tragedi kemanusiaan yang sangat keji dan memilukan.

Sementara itu, HM Baharun, Guru Besar Sosiologi Agama yang juga Ketua Komisi Hukum MUI Pusat juga mengecam aksi bom bunuh diri tersebut. “Terorisme dan kekerasan atas nama agama, dengan pembunuhan secara sadistis dan kerusakan, jelas merupakan kejahatan kemanusiaan yang tidak bisa dibenarkan. Siapapun pelakunya pasti ini adalah kejahatan kemanusiaan yang tidak bisa ditoleransi. Agama apapun tidak dapat membenarkan berbuat kezaliman seperti ini.”
MUI sendiri sudah menetapkan dalam fatwa Nomor 3 Tahun 2014 bahwa terorisme adalah tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban yang menimbulkan ancaman serius terhadap kedaulatan negara, bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat.
MUI wajar segera bereaksi karena pandangan umum memang segera mengarah kepada kelompok Islam. Apalagi, beragam rentetan kejadian sebelumnya di pelbagai belahan dunia lain, seperti yang terjadi di General Santos (Filipina), Bari (Somalia), dan Manchester (Inggris), diakui dilakukan oleh orang Islam atau organisasi yang mengasosiasikan dirinya dengan Islam.
Serentetan aksi terorisme di dalam negeri pun tidak pernah dapat dilepaskan dari nama Islam, dengan beragam nama, afiliasi, agenda, dan cara. Karenanya, tidaklah mengherankan jika kemudian ada yang bertanya, “Apakah Islam mengajarkan kekerasan dan terorisme?”
Pertanyaan lanjutan yang diajukan adalah, “Bagaimana Islam diajarkan di negeri ini. Apakah dengan sudut pandang radikal?” Tahun lalu, misalnya, buku-buku berbau ajaran kekerasan dan radikalisme ditemukan GP Ansor Cabang Kota Depok di beberapa TK/ PAUD di Kota Depok. Buku berjudul “Anak Islam Suka Membaca” ini sangat berbahaya jika dipelajari oleh anak usia dini.
Pada jilid 2 halaman 28 buku tersebut terdapat unsur caci maki. Kemudian pada jilid 3 halaman 5 terdapat kata “di sini ada belati”; halaman 9 terdapat kata “gegana ada dimana”; halaman 18 terdapat kata “rela mati bela agama”; halaman 27 terdapat kalimat “bila agama kita dihina kita tiada rela, lelaki bela agama, wanita bela agama, kita semua bela agama, kita selalu sedia jaga agama kita demi ilahi semata”; halaman 30 terdapat kata “bahaya sabotase”; halaman 45 kalimat “topi baja kena peluru”; halaman 50 kalimat “bazooka dibawa lari”.
Selanjutnya pada jilid 4, halaman 5 terdapat kata “jihad”; halaman 12 terdapat kata “bom”; halaman 15 terdapat kata kafir; halaman 20 terdapat kalimat “berjihad di jalan dakwah”; dan pada halaman 26 terdapat kalimat “hati-hati man haj batil”. Tentu saja, contoh serupa mudah kita temukan di tempat lain dengan buku-buku yang lain.
Selain itu, pembiaran tumbuhnya benih-benih radikalisme juga tampak di sekitar kita. Belum lama ini dalam pergelaran pilkada DKI Jakarta, misalnya, serangkaian demonstrasi massa yang mengaku membela Islam membawa beragam spanduk dan meneriakkan kata-kata mengerikan, seperti ancaman membunuh, menggantung, mengganyang,  serta menghalalkan darah orang dan kelompok masyarakat yang mereka anggap lawan.
Sayangnya, praktik-praktik yang sangat jauh dari ajaran Islam yang benar itu berlangsung terus menerus, tanpa pernah ada upaya pencegahan atau pelarangan dari para pemimpin demonstrasi yang mengaku ulama. MUI pun, yang mengklaim diri sebagai lembaga yang mewadahi ulama di Indonesia tak pernah sekali pun bersuara menyatakan kecaman, apalagi larangan, terhadap ujaran-ujaran kebencian dan spanduk-spanduk provokatif dan intimidatif yang merusak citra Islam itu.
Praktik pembiaran atas perilaku radikal seperti itu, secara langsung maupun tidak langsung telah mempengaruhi umat Islam, apalagi banyak di antara peserta demonstrasi masih berusia sangat belia. Karena tiadanya larangan dari ulama dan MUI, yang patut dikhawatirkan adalah apabila mereka kemudian menganggap praktik-praktik kebencian, radikalisme dan terorisme adalah bagian dari ajaran Islam.

0 komentar:

Posting Komentar