Cari Blog Ini

Info-bendera-putih

Info-bendera-putih

Info-bendera-putih

Info-bendera-putih

Info-bendera-putih

Sabtu, 11 November 2017

Segudang Prestasi Jokowi belum bisa membuka mata para Pembenci?

Presiden Jokowi diketahui hari ini telah menghadiri sejumlah acara penting yang salah satunya Sidang Tahunan MPR.

Dalam acara yang turut dihadiri oleh sejumlah pejabat penting negara itu pun dimanfaatkan oleh Jokowi untuk bisa memamerkan hasil kerjanya selama ini.

Hanya dalam kurun waktu 3 tahun menjadi seorang Presiden Indonesia, Jokowi telah berhasil memaparkan segudang prestasinya dalam memimpin.


Segudang Prestasi Jokowi belum bisa membuka mata para Pembenci?


Mulai dari pembangunan infrastruktur, ekonomi, hingga hal-hal mendetail lain yang membuat para hadirin terbelalak melihatnya.

Mungkin sebagian banyak dari pejabat tinggi negara yang hadir itu kaget karena selama ini hanya sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.

Siapa yang bisa menyangka kalau pembangunan yang dilakukan oleh Jokowi tak hanya berfokus pada daerah perkotaan saja, namun hingga ke pelosok pedesaan.

Hal yang cukup membuat perut menggelitik yaitu saat para pembenci yang ternyata masih saja melontarkan sindiran serta hujatannya.

Mereka hanya memiliki niat untuk mencari kesalahan demi kesalahan dari Jokowi. Bahkan, di sela pemanjatan doa sekalipun turut disertai dengan isi sindiran-sindiran.

Di sosial media, hal yang serupa juga terjadi. Sejumlah netizen yang masih belum bisa move on masih saja mengungkapkan ujaran kebencian terhadap Jokowi.

Padahal, Jokowi telah membeberkan hasil kinerja yang sangat memuaskan bahkan sangat diyakini kalau mereka yang menghujat itu juga turut merasakan hasil kerja keras dari Jokowi.

Mungkin rasa gengsi yang teramat tinggi masih menjadi pemenang dan membuat mereka jadi belum bisa membuka mata hatinya untuk mengakui.

Semoga Indonesia tetap jaya selalu!

Rabu, 08 November 2017

Tiga tahun Jokowi-JK: 5 pencapaian di sektor pariwisata

Salah satu sektor yang paling menggeliat dalam tiga tahun pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo-Jusuf Kalla adalah pariwisata.
Sektor ini tumbuh begitu pesat sehingga pemerintah berani memproyeksikan sektor pariwisata akan menjadi penyumbang devisa terbesar pada 2019.
Bukan target yang terlalu muluk. Sebab Indonesia memang punya seribu satu destinasi wisata, baik yang sudah terekspos maupun yang masih tersembunyi.
Apalagi dengan pembangunan infrastruktur yang terus digenjot, dunia pariwisata pun dipastikan akan menjadi primadona baru bagi pemasukan negara.
Lantas apa saja pencapaian pemerintah Jokowi yang akan genap berusia 3 tahun pada 20 Oktober di sektor pariwisata? Berikut lima di antaranya:
Penyumbang devisa terbesar
Pendapatan dari sektor pariwisata terus meningkat dalam tiga tahun terakhir. Pada 2015, misalnya, sektor pariwisata menyumbang devisa sebesar US$ 12,225.
Angka ini membuat pariwisata sebagai penyumbang devisa keempat terbesar di bawah Migas (US$ 18,574 miliar), CPO (US$ 16,427 miliar), dan batu bara (US$ 14,717 miliar).
Setahun kemudian, yakni 2016, sumbangan devisa pariwisata melonjak menjadi US$ 13,568 miliar. Angka ini membuat pariwisata menjadi penyumbang devisa kedua terbesar setelah industri kelapa sawit (CPO) yang menyumbang US$ 15,965 miliar.
"Perolehan devisa negara dari sektor pariwisata sejak tahun 2016 sudah mengalahkan pemasukan dari migas dan di bawah pemasukan dari CPO,” kata Menteri Pariwisata Arief Yahya, Selasa 16 Oktober 2017.
Karena itu pemerintah kemudian menargetkan pariwisata sebagai penyumbang utama devisa pada 2019. Targetnya, pada 2019 nanti, pariwisata akan menyumbang US$ 24 miliar.
Pertumbuhan tercepat
Perusahaan media di Inggris The Telegraph mencatat Indonesia sebagai menjadi salah satu dari 20 negara dengan pertumbuhan pariwisata tercepat.
Bahkan mereka menilai pertumbuhan pariwisata Indonesia empat kali lebih tinggi dibanding pertumbuhan regional dan global. Data memang membuktikan klaim tersebut.
Pertumbuhan pariwisata Indonesia dalam beberapa tahun terakhir mencapai 25,68 persen, sedangkan industri plesiran di kawasan ASEAN hanya tumbuh 7 persen dan di dunia hanya 6 persen.
Tak hanya itu, Indeks Daya Saing Pariwisata Indonesia menurut World Economy Forum (WEF) juga menunjukkan perkembangan menggembirakan. Menurut mereka, peringkat Indonesia naik 8 poin dari 50 di 2015 ke peringkat 42 pada 2017.
Investasi naik
Investasi di dunia pariwisata terus naik dari tahun ke tahun. Badan Koordinasi Penanaman Modal mencatat investasi pariwisata pada Semester I Tahun 2017 mencapai 929,14 juta dolar Amerika Serikat (Rp12,4 triliun) atau 3,67 persen dari total investasi nasional.
Nilai ini tumbuh 37 persen dari realisasi investasi pariwisata pada semester I tahun 2016. Bahkan nilai investasi tersebut jauh lebih besar dari nilai investasi pada 201 yang tercatat sebesar 602 juta dollar AS atau berkontribusi sebesar 1,45 persen dari total investasi nasional.
Jumlah wisatawan melonjak
Meningkatnya sumbangan devisa dari sektor pariwisata, tentu saja, karena jumlah wisatawan yang terus melonjak. Pada 2015, jumlah wisatawan berjumlah 10 juta orang.
Angka tersebut bertambah menjadi 12 juta orang pada 2016. Penambahan jumlah wisatawan ini menambah pemasukan devisa negara dari US$ 12,336 miliar menjadi US$ 12,44 miliar.
Sementara pada paruh pertama tahun 2017 ini tercatat jumlah pelancong asing sudah menyentuh angka 7,8 juta orang. Pemerintah menargetkan 20 juta wisatawan akan berkunjung ke Indonesia pada 2019.
Menciptakan 10 "Bali Baru"
Untuk memenuhi target perolehan devisa dan 20 juta wisatawan pada 2019, pemerintah pun telah mengembangkan 10 destinasi wisata prioritas, yakni Tanjung Kelayang, Tanjung Lesung, Mandalika, Morotai, Borobudur, Danau Toba, Kepulauan Seribu, Bromo Tengger Semeru, Wakatobi, dan Labuan Bajo.
Ke-10 destinasi prioritas tersebut melengkapi 10 destinasi lain yang telah berkembang, seperti Wakatobi, Raja Ampat, Bunaken, Bali, Jakarta, Kepulauan Riau, Banyuwangi, Bandung, Yogyakarta, Solo dan Semarang.

Pencapaian 3 Tahun Jokowi-JK Sangat Memuaskan, Ini Beberapa Hasil Positifnya

https: img.okeinfo.net content 2017 10 19 337 1798872 pencapaian-3-tahun-jokowi-jk-sangat-memuaskan-ini-beberapa-hasil-positifnya-dnJziEpdds.jpg
Kantor staf kepresidenan baru saja merilis laporan 3 tahun Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Ada beberapa catatan positif tercatat dalam laporan tersebut.
Dalam laporan tersebut, ada 4 aspek utama yang disebut menunjukkan komitmen pemerintah terhadap pemerataan didukung oleh program-program yang relevan.
Berikut empat aspek utama:
1. Pembangunan ekonomi dan peningkatan produktivitas – untuk memperbesar kue ekonomi yang hendak dibagi secara adil
2. Pengentasan kemiskinan dan kebijakan afirmatif – untuk mengatasi ketimpangan sosial
3. Pembangunan kewilayahan – untuk mengatasi ketimpangan wilayah
4. Pembangunan polhukam dan budaya – untuk memastikan program-program pemerataan dapat dijalankan secara efektif
Di era Presiden Joko Widodo, kedaulatan pangan dicantumkan sebagai salah satu program prioritas dalam Nawacita:
1. Pada 2014, anggaran untuk program kedaulatan pangan mencapai Rp67,3 triliun.
2. Tahun ini, anggaran kedaulatan pangan melonjak hingga 53,2% menjadi Rp103,1 triliun.
Untuk dana desa, anggarannya terus mengalami peningkatan setiap tahun. Digulirkan sejak 2015 hingga saat ini, jumlah dana desa terus meningkat. Berikut detailnya:
1. Tahun 2015 danadesa awalnya hanya sebesar Rp 20,76 triliun
2. Tahun 2016 naik menjadi Rp 46,9 triliun
3. Tahun 2017 kembali naik menjadi sebesar Rp 60 triliun
Dan di bidang ketenaga kerjaan, di mana selama kurun tiga tahun, tingkat penggangguran mencatatkan rekor terendah. Berikut catatannya
Tingkat Pengangguran Terbuka Nasional:
1. Tahun 2015 5,81 %
2. Tahun 2016 turun menjadi 5,5 %
3. Tahun 2017 kembali turun menjadi 5,33 %

Jumat, 03 November 2017

MEMASUKI 3 TAHUN PEMERINTAHAN JOKOWI-JK, SUDAH BANYAK KEBERHASILAN DICAPAI

Memasuki masa tiga tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla dinilai telah banyak keberhasilan yang dilakukan.
Demikian dikatakan Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara, Brilian Moktar di Medan, Senin (16/10) seperti dilaporkan Reporter Elshinta Heru Rahmad Kurnia.
Disampaikan Brilian Moktar, jika bercerita tentang keberhasilan, tentunya harus dilihat dari awal, bagaimana Joko Widodo itu bisa menang.
Kemudian, ungkap Brilian, banyak persoalan maupun permasalahan telah diselesaikannya, baik itu dari sisi politik maupun sosial.
Tapi yang paling utama itu, kata Brilian Moktar, bagaimana efeknya kepada rakyat, dimana kebijakan politik bisa mempengaruhi kebijakan pembangunan.
"Selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo semuanya berjalan dengan baik," ujar Brilian.
Brilian melihat sosok Joko Widodo itu adalah seorang negarawan, sosok yang santun dan konsentrasi membangun Indonesia.
"Keberhasilan stabilitas ekonomi, pembangunan infrastruktur berjalan baik. Jokowi telah melakukan pembangunan, seperti di Irian Jaya, di Jawa sudah bagus dan di Sumut jalan tol sudah bertambah," kata Brilian.

Tiga Tahun Jokowi-JK, Keberhasilan Paling Menonjol Bidang Infrastruktur

Selama tiga tahun, pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla paling berhasil terlihat dari pembangunan infrastruktur menjadi lebih cepat.
Hal itu merupakan hasil survei PolMark Indonesia yang bertanya kepada 2250 responden dari 32 provinsi, kecuali Papua dan Papua Barat.
"51,3 persen menjawab keberhasilan kepemimpinan Presiden Joko Widodo, selanjutnya warga menjadi lebih sejahtera 6,3 persen, korupsi berkurang 4,9 persen," kata Direktur PolMark Indonesia Eep Saefulloh Fatah dalam Laporan Survei Nasional 'Tiga Tahun Jokowi-JK dan Calon Penantang Jokowi 2019' di bilangan SCBD, Jakarta, Minggu (22/10/2017).
Dalam survei ini, responden juga ditanya setuju atau tidak soal pembangunan infrastruktur meningkat dengan pesat.
"82,8 persen setuju. Yang tidak setuju 10,1 persen," kata Eep.
Setelah infrastruktur, kepuasan masyarakat di bawah kepemimpinan Jokowi-JK yaitu pada pemberantasan korupsi. Sebanyak 63,1 persen setuju dan ada 23,6 persen yang tidak setuju dalam hal tersebut.
"Ada 63,1 persen yang setuju terhadap pemberantasan korupsi di bawah kepemimpinan Jokowi-JK. Kalau yang tidak setuju 23,6 persen, dan yang tidak tahu yaitu 13,5 persen," katanya.
Sementara persoalan bangsa yang masih terjadi saat ini adalah masyarakat masih berada dalam garis kemiskinan, responden yang menjawab 27,7 persen.
Dibawahnya ada harga kebutuhan pokok yang terus meningkat dijawab 19,6 persen responden. Selain itu juga masalah korupsi yang merajalela sebanyak 14,2 persen.
Dalam survei yang dilakukan pada 9 sampai 20 September 2017 ini, menggunakan metodoe random sampling multistage, dengan margin eror +- 2,1 persen, pada tingkat kepercayaan 95 persen

Di Depan DPR, Sri Mulyani Pamer Keberhasilan Pemerintah Jokowi


Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, keberhasilan yang sudah dicapai pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Meskipun ada beberapa pekerjaan rumah yang harus segera direalisasikan.

Hal tersebut diungkapkannya pada saat rapat kerja bersama Komisi XI DPR tentang asumsi dasar ekonomi pada rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN) tahun anggaran 2018.

Di hadapan para anggota Komisi XI DPR, Sri Mulyani menyebutkan, pemerintah harus meningkatkan peringkat kemudahan berusaha menjadi di posisi 40. Saat ini, posisi ease of doing business (EoDB) Indonesia naik ke posisi 90 dari yang sebelumnya 106.



"Presiden meminta kabinet untuk terus memperbaiki ini, sehingga bahkan mendekati 40, ini perlu kerja lebih keras, reform yang luar biasa, dan policy maupun perizinan," kata Sri Mulyani di Ruang Rapat Komisi XI DPR, Jakarta, Rabu (6/9/2017).

Tidak hanya itu, mantan direktur pelaksana Bank Dunia ini juga memamerkan keberhasilan pemerintah lantaran berhasil mendapat rating investment grade dari 2 lembaga pemeringkat utama.

"Dengan adanya sentimen positif kita bisa ciptakan presure agar SBN mendapatkan yield kompetitif menurun, ini perlu meningkatkan minat asing untuk cadangan devisa kita dan bisa menjaga neraca secara baik," jelas dia.

Ani, sapaan akrab dia juga mengungkapkan soal tingkat kepercayana masyarakat terhadap pemerintah yang berasal dari survei Gallup dan dipublikasikan oleh EOCD.

"Ini adalah sesuatu hal yang positif, dan kita ingin menjaga momentum, dan kemudian diterjemahkan dalam bentuk investasi," jelas dia.

Sri Mulyani menuturkan, kinerja perdagangan Indonesia mengalami penguatan karena didukung oleh kinerja ekspor. Ke depan, pemerintah juga akan memfokuskan kebijakan-kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kinerja perekonomian yang mampu melayani dunia usaha lebih baik lagi.

"Reformasi sektor energi telah mampu mengurangi tekanan dari defisit neraca migas, kembali mencapai positif sejak kita situasi 2015. Kami optimis 2017 surplus perdagangannya dari 2016," tukas dia.

Rabu, 01 November 2017

Ini Perbedaan dan Persamaan ‘Jas Merah’ Soekarno dan ‘Jaket Merah’ Jokowi

Bagi para pembaca yang belajar sejarah, bukan sumbu pendek, dan bukan penikmat berita Saracen, tentu kita tahu motto yang pernah dikumandangkan oleh Soekarno, Jas Merah. Apa itu ‘jas merah’? Sebelum saya menjelaskan apa arti jas merah, mari kita simak apa yang menjadi sifat unik dari presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno.
History is His Story – James Packer
Soekarno suka sekali dengan singkatan-singkatan. Beberapa singkatan yang dibuat di era Soekarno yang saya tahu cukup banyak. Ada yang memang dari kalimat panjang ke sebuah singkatan secara langsung, ada pula dari kata dasar, dan dibuat cukup menarik oleh Soekarno. Ini adalah ide jenius Soekarno, yang rasanya ditularkan sebagian kepada saya, sebagai salah satu pengagumnya. Saya pun suka membuat jembatan keledai, untuk mempermudah saya mengingat sesuatu. Terima kasih Bung Karno!
Singkatan-singkatan yang dbuat di antaranya adalah Nefo, Oldefo, Maphilindo, Petani, Berdikari, Manipol USDEK, Nasakom. Nekolim. Sebenarnya masih banyak lagi jargon-jargon yang dibuat oleh Soekarto di dalam pidatonya, termasuk Jas Merah.
Ini kepanjangan-kepanjangan yang dimaksud:
Nefo: New Emerging Force. Oldefo: Old Emerging Force. Maphilindo: Malaysia, Philipina, Indonesia. Petani: Penyangga Tatanan Negara Indonesia (Keren sekali ya!). Berdikari: berdiri di atas kaki sendiri. Manipol USDEK: Manifesto politik yakni Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia. Nasakom: Nasionalisme, agama, komunisme (Saya baru tahu, Komunisme sempat menjadi primadona pada saat Soekarno, yang dihancurkan oleh Soeharto). Nekolim: Neo kolonialisme dan imperialisme. Jas Merah: Jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah.
There is nothing new in the world except the history you do not know. – Harry S Truman
Semboyan jas merah yang terkenal itu diucapkan pertama kalinya oleh Soekarno dalam pidato terakhirnya di dalam HUT RI tanggal 17 Agustus 1966, setelah kasus besar G30S terjadi, katanya karena didalangi oleh Soeharto. Sampai saat ini jargon ini sering kita dengar. Sebagai bangsa dan negara yang berdikari, bagaimana mungkin kita bisa meninggalkan sejarah kita?
Tentu meninggalkan sejarah tidak mungkin terjadi. Namun saya sangat yakin bahwa teriakan Soekarno yang sudah wafat, justru sedang mengajak bangsa kita yang sedang meninggalkan sejarah dan mengikuti propaganda orba, kembali kepada sejarah Indonesia yang sebenarnya.
Di mana sejarah Indonesia yang sebenarnya? Yang pasti, sejarah yang beredar di bumi Indonesia ini, sangat tidak subjektif, dan cenderung memiliki sifat propaganda untuk membesar-besarkan seseorang. Inilah yang dikatakan Sukmawati Sukarnoputri, bahwa rezim Orde Baru pandai dalam memelihara trauma. Jika ingin belajar sejarah, maka tidak sedikit orang-orang Indonesia yang mengirim dirinya atau dikirim ke Belanda, di sebuah universitas yang cukup terkenal dalam membahas sejarah Indonesia.
Universitas Leiden menjadi salah satu tempat untuk mempelajari sejarah. Mengapa harus ke luar negeri? Karena setidaknya, pencatat sejarah dari luar negeri terlihat jauh lebih objektif, karena tidak ada kepentingan-kepentingan yang dijaga. Setelah Soekarno meneriakkan jas merah, sekarang giliran Pak De Jokowi dengan kostum jaket merahnya yang digunakan pada saat nobar film yang dianggap propaganda orde baru, yakni Pengkhianatan G30S PKI.
Apa arti dari jaket merah Jokowi? Mungkin Jokowi tidak menyuarakan hal tersebut. Namun izinkan saya untuk melakukan interpretasi sederhana mengenai kostum jaket merah tersebut. Jika jas merah artinya “jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah”, maka jaket merah artinya “Jangan keterlaluan mempermainkan sejarah!”.
Sejarah yang sudah begitu suram di Indonesia, rasanya harus juga direvolusi. Mengapa? Jelas karena kesalahpahaman rakyat Indonesia terhadap sejarah sudah masuk ke tahap yang mengkhawatirkan. Lihat saja isu-isu PKI yang diembuskan bisa sampai nyasar ke Pak De Jokowi, dan juga isu-isu antek asing dan aseng yang diembuskan, bisa nyasar ke orang yang sama.
Lihat saja Ahok yang dizalimi karena ketidak tahuan para laskar atas kalimat yang sebenarnya diucapkan, dan diedit oleh Buni Yani. Saya berharap sekali bahwa Buni Yani bisa dipenjara lebih lama dari Ahok. Tuntutan JPU kepada Ahok 1 tahun dan diperpanjang oleh vonis hakim 2 tahun. Bagaimana jika tuntutan JPU kepada Buni Yani 2 tahun, diperpanjang sampai 4 tahun? Matematikanya sederhana bukan? Indonesia butuh orang-orang seperti Jokowi dan Ahok!
Betul kan yang saya katakan?
Jika pembaca Seword ingin melihat dan menikmati buah pemikiran saya yang lainnya, silakan klik link berikut:

Gemar Mengkafirkan ? Begini Kritik Bung Karno Dan Jokowi Tentang Fenomena ini

Syahdan, Bung Karno (BK) pun merasa gerah dengan kerapnya pemuka-pemuka agama melontarkan fatwa kafir dan menganggap kafir orang atau kelompok yang berbeda. Bahkan tak hanya itu, perjuangan Bung Karno bersama founding father yang lain demi tegaknya nasion Indonesia tak luput dari tuduhan kafir.
Dalam surat-surat Islam dari Endah (1930-an) dan Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara (1940), Bung Karno menulis kritik terhadap kecenderungan sebagian ulama dan umat Islam saat itu yang begitu mudah mencap kafir.
“Kita royal sekali dengan perkataan “kafir”, kita gemar sekali mencap segala barang yang baru dengan cap “kafir”. Pengetahuan Barat kafir; radio dan kedokteran kafir; sendok dan garpu dan kursi kafir; tulisan Latin kafir; yang bergaul dengan bangsa yang bukan bangsa Islam pun kafir! Padahal apa-apa yang kita namakan Islam? Bukan roh Islam yang berkobar-kobar, Bukan Api Islam yang menyala-nyala, Bukan amal Islam yang mengagumkan, tetapi...dupa dan korma dan jubah dan celak mata ! Siapa yang mukanya angker, siapa yang tangannya bau kemenyan, siapa yang matanya dicelak dan jubahnya panjang dan menggenggam tasbih yang selalu berputar,-dia, dialah yang kita namakan Islam. Astaghfirullah! inikah Islam? inikah agama Allah? yang mengkafirkan pengetahuan dan kecerdasan, mengkafirkan radio dan listrik, mengkafirkan kemoderenan dan ke up-to-date-an? yang mau tinggal mesum saja, kuno saja, yang terbelakang saja, tinggal naik onta dan makan zonder sendok saja, seperti di zaman Nabi dan khalifah-nya.”
Dus, fenomena kafir mengkafirkan memang bukan hal yang baru. Bahkan apabila kita menelisik sejarah agama-agama, akan banyak kita temukan satu kelompok mengkafirkan kelompok lainnya. Itu tidak terjadi dalam relasi antar agama, namun lebih dari itu kerap juga terjadi dalam hubungan internal agama bersangkutan.
Di tanah air sendiri yang kerap menjadi korban dari praktek semacam ini adalah kelompok Ahmadiyah (JAI) dan Syiah. Dua kelompok ini sering mendapatkan persekusi dari kelompok-kelompok intoleran yang kerap mengatasnamakan mayoritas umat Islam. Persekusi terhadap mereka biasanya dilatar belakangi oleh fatwa-fatwa yang menyebut bahwa mereka adalah kelompok sesat dan menyesatkan. Dalam hal ini fatwa MUI tidak bisa dianggap sepi. Dalam berbagai kesempatan, pelaku persekusi selalu mendasarkan sikap dan tindakan pada Fatwa yang diterbitkan MUI ini.
Peristiwa tragis yang menimpa JAI terjadi di beberapa daerah, namun yang tergolong sadis dan merobek kemanusiaan adalah peristiwa di Desa Umbulan, Cikeusik, Pandeglang, Provinsi Banten pada 6 Pebruari 2011 lalu. Ribuan massa menyerang sebuah rumah milik anggota JAI. Akibat penyerangan ini, tiga orang tewas, sementara dua mobil, satu motor, dan satu rumah, hancur diamuk massa.
Di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), sudah satu dasawarsa lebih puluhan kepala keluarga anggota JAI mengungsi dan menempati tempat pengungsian di Asrama Transito tanpa kejelasan yang pasti. Hal serupa dialami kelompok Syiah di Sampang Madura pada 26 Agustus 2012 lalu. Ratusan orang menyerang rumah Ustad Tajul Muluk dan mengancam mengusir warga Syiah dari Sampang. Warga Syiah meski jumlahnya sedikit tidak rela begitu saja diusir dari kampung halamannya dan melakukan perlawanan. Akibatnya, satu orang warga Syiah tewas dengan luka sabetan dan bacokan.
Pada sekitar setelah maghrib, yaitu pukul 18.30 WIB sejumlah warga syiah dievakuasi oleh pihak kepolisian di Gedung Olahraga Sampang. Sedang ratusan warga syiah yang lain berlari bersembunyi ke hutan dan persawahan yang berada di sekitar rumah mereka. Total data warga syiah yang dievakuasi ke Gor Sampang sampai Senin (27/8) pagi adalah 51 orang laki-laki dewasa dan 56 orang perempuan dewasa (beritasatu.com).
Dari tahun ke tahun, praktek kafir mengkafirkan tidak pernah berhenti. Bahkan ekskalasinya semakin meningkat. Contohnya di DKI pada Pilgub yang baru saja lalu. Warga muslim yang mendukung Ahok dilabeli dengan tuduhan murtad, kafir dan munafik. Tuduhan yang begitu renyah dan mudah dilontarkan lantaran perbedaan pilihan politik. Agama dengan mudah dan murahnya dijadikan jualan untuk memojokkan pihak-pihak tertentu.
Inilah yang juga menjadi kekhawatiran Presiden Jokowi. Seperti dilansir dari laman tribunnews.com, "Sekarang ini saya lihat banyak sekali fenomena yang gampang mengafirkan orang," ujar Jokowi dalam acara penutupan Multaqa IV Alumni Al Azhar se-Indonesia di Gedung Islamic Center, Kota Mataram, NTB Kamis (19/10/2017).
Jokowi melihat, paham radikal itu berkembang seiring dengan berkembangnya penyebaran ajaran melalui media sosial. Salah satunya adalah melalui situs berbagi video YouTube. Sayangnya, tidak ada sebuah mekanisme untuk memfilter seluruh proses penyebaran paham radikal di media sosial tersebut. Akibatnya, konten negatif pun tetap dapat diakses oleh netizen.
"Pertanyaannya, siapa yang menyaring? Siapa yang screening bahwa yang disampaikannya itu benar dan bukan pendapat pribadi, bukan tafsir pribadi?" ujar Jokowi. Oleh sebab itu, Jokowi mengajak masyarakat untuk sama-sama memfilter konten di media sosial.
Kesimpulannya, praktek kafir mengkafirkan tidak boleh dianggap enteng. Sebab jika dibiarkan begitu saja, maka NKRI yang plural dan Bhineka Tunggal Ika akan menjadi slogan semata. Dalam prakteknya, kelompok-kelompok intoleran semakin bersimaharajela dewasa ini.
Sumber :

Selamat! Jokowi Jadi Pemimpin Terbaik Asia – Australia 2016

Saya pernah mendengar sebuah kalimat bijak “Seorang yang hebat dihormati di mana-mana kecuali di tempat asalnya sendiri”. Kayaknya kalimat tersebut berlaku untuk presiden kita, Joko Widodo. Di Indonesia, presiden yang familiar dengan sapaan Jokowi ini seperti “tidak diangap”. Sering kali di jadikan bahan olok-olokan, titik untuk dicaci maki dan rujukan untuk disalah-salahkan.
Tapi di luar negeri, orang-orang mengakui kehebatan presiden Indonesia. Apa kita sebagai rakyat Indonesia tidak malu? Bagaimana presiden yang selalu kita hina tapi sukses membuat dunia terpana. Pokoknya, Jokowi itu sesuai dengan istilah “Disenangi kawan dan disegani lawan”. Bukan seperti katak bawah tempurung. Cuma besar di tempat sendiri, saat keluar tidak dikenali oleh siapa-siapa.
Banyak sekali media luar negeri yang membahas prestasi-prestasi seorang Jokowi. Semenjak beliau masih berstatus sebagai walikota Solo lagi. Dan sekarang, Jokowi kembali membuat kita bangga dengan dinobatkan nya beliau sebagai pemimpin terbaik Asia – Australia. Wow! Amazing.
Jokowi dinobatkan sebagai pemimpin terbaik atau pemimpin yang paling unggul di antara para pemimpin Asia – Australia pada tahun 2016 berdasarkan data dari Bloomberg. Bloomberg sendiri adalah perusahaan media massa multinasional di Amerika Serikat, didirikan pada tanggal 1 Oktober 1981 oleh Michael Bloomberg dengan bantuan Thomas Secunda, Duncan MacMillan dan Charles Zegar.
Bloomberg mendata delapan pemimpin dari delapan negara yakni Xi Jinping (Presiden Tiongkok), Shinzo Abe (Perdana Menteri Jepang), Narendra Modi (Perdana Menteri India), Park Geun-Hye (Presiden Korea Selatan), Jokowi Widodo (Presiden Indonesia), Rodrigo Duterte (Presiden Filipina), Najib Tun Razak (Perdana Menteri Malaysia) dan Malcolm Tumbull (Perdana Menteri Australia).
Dari delapan pemimpin yang dinilai oleh Bloomberg, Jokowi adalah satu-satunya pemimpin yang memiliki semua indikator positif untuk tiga kategori yaitu fluktuasi kurs, pertumbuhan ekonomi dan rating penerimaan publik.
Untuk kategori fluktuasi kurs, Jokowi dinilai berhasil menaikkan kekuatan nilai tukar (2,41 persen). Untuk kategori pertumbuhan ekonomi, Jokowi dinilai berhasil menjaga pertumbuhan ekonomi tetap positif (5,02 persen dari tahun ke tahun) dan untuk kategori rating penerimaan publik, Jokowi memiliki tingkat penerimaan yang cukup tinggi (69 persen).
Mudah-mudahan prestasi ini bisa membuat orang yang selalu menghina beliau kemaren terbuka mata nya. Biar tidak terus-terusan nyinyir hanya karena dendam dan benci yang tidak berkesudahan. Sekarang bukan zaman nya untuk bernyiyir ria lagi tapi saat nya berprestasi untuk Indonesia yang lebih baik lagi.
Selamat ya, Pak Jokowi. Bapak memang pantas mendapatkan penghargaan tersebut. Kami semua bangga sama Bapak.

Selasa, 31 Oktober 2017

Generasi Muda Melawan Radikalisme dan Terorisme

Hai Sobat Indonesia
Kita udah ada di jaman yang sangat maju loh, tapi kamu nggak mau kan negara kamu ini ketinggalan dari negara lain, ataupun terpuruk. Perubahan jaman yang akan menyebabkan 2 hal, antara perubahan jaman yang lebih baik atau perubahan jaman yang lebih buruk.
Yang paling bahaya sekarang merupakan Radikalisme dan Terorisme.
Generasi muda sekarang harus di bekali sesuatu hal yang bisa menghilangkan Radikalisme maupun Terorisme yang ada di Indonesia.
Radikalisme merupakan sebuah kelompok atau gerakan politik yang kendur dengan tujuan mencapai kemerdekaan atau pembaruan electoral yang mencakup mereka yang berusaha mencapai republikanisme, penghapusan gelar, redistribusi hak milik dan kebebasan pers, dan dihubungkan dengan perkembangan liberalisme.
Yang kita ketahui politik itu merupakan tangan kanan rakyat untuk menyampaikan keluh kesah rakyat kepada pemerintah. Sedangkan bagaimana jika politik itu sendiri lemah, kendur. Padahal kita ingin mencapai kemerdekaan maupun pembaruan electoral.
Kebebasan pers ada baiknya namun di sisi lain juga ada buruknya, bagaimana jika kebebasan pers itu di di salah gunakan seseorang yang tidak bertanggung jawab.
Belum lagi sekarang banyak nya terorisme di Indonesia, banyak nya korban jiwa akibat terorisme, yang akan membunuh penerus generasi – generasi muda Indonesia.
Terorisme itu sendiri merupakan kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana, yang jelas dimaksudkan untuk: a. mengintimidasi penduduk sipil. b. memengaruhi kebijakan pemerintah. c. memengaruhi penyelenggaraan negara dengan cara penculikan atau pembunuhan
Kita sebgai generasi muda, generasi penerus bangsa, hendaknya kita mengatsi Radikalisme dan Terorisme
Ini ada beberapa tips buat kamu yang tidak ingin menjadi radikalisme dan terorisme di Indonesia itu berkembang. Antara lain :
  1. Perkuat Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945 di dalam diri kamu
  2. Mencintai negeri kita, berkorban untuk negeri kita sebagai pelajar yang baik
  3. Belajar dengan tekun
  4. Bila ada upacara di sekolahmu ikutilah dengan baik
  5. Bila ada acara Bela Negara ikutilah, di situ kamu akan tahu perjuangan yang tidak mudah
  6. taati lah peraturan yang ada  di Indonesia ini.
  7. belajarlah tentang Indonesia, tentang sejarah maupun yang lainnya.

Radikalisme Ancaman Nyata Pemuda Tanah Air

Terorisme - Radikalisme
Aksi terorisme belakangan bukan saja terjadi di Timur Tengah, tapi kini merambah ke Tanah Air. Para teroris umumnya pernah belajar di Timur Tengah.
Dari peristiwa demi peristiwa terorisme juga dapat terlihat, para pelaku umumnya masih berusia muda atau bahkan kalangan remaja. Mulai dari bom Bali, bom Thamrin, bom Kampung Melayu, hingga bom Panci Bandung.

Karena itu, radikalisme kini menjadi ancaman nyata bagi generasi muda di Tanah Air. Pemerintah dan pihak-pihak terkait, kini lebih gencar mencegah radikalisme atau deradikalisasi, khususnya di kalangan remaja.
Direktur Wahid Institute Yenny Wahid mengatakan, usia muda termasuk masa rentan menjadi intoleran dan radikal. Karena mereka masuk dalam fase mencari jati diri atau identitas. Apalagi, generasi ini melihat adanya ketidakadilan di sekitar mereka.
"Akibatnya, mereka dengan mudah menerima gagasan-gagasan dan pemikiran radikal yang mereka peroleh dengan mudah, melalui tulisan di dunia maya maupun lisan yang disampaikan pemuka agama," ujar Yenny dalam diskusi bertema Radikalisme di Timur Tengah dan Pengaruhnya di Indonesia, yang diselenggarakan Forum Bela Negara Alumni UI (BARA UI), di Jakarta Selatan, Sabtu 22 Juli 2017.
Selain itu, lanjut dia, ada pemahaman tentang jihad yang keliru. Orang yang punya konsep pemahaman Islam yang literalis seperti mencuri potong tangan, berzinah dirajam dalam konteks modern seperti saat ini lebih mudah teradikalisasi.
"Kalau jihad mesti perang bukan menahan nafsu atau melawan diri sendiri, itu lebih mudah teradikalisasi. Itu faktor-faktor yang berperan," tegas putri Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ini.
Yenny mengatakan, Pancasila menjadi jawaban untuk mencegah radikalisasi menyusup ke generasi muda. Tidak hanya sila Ketuhanan Yang Maha Esa, jika sila ke-2 dan ke-5 diamalkan dan diwujudkan, ide mengenai negara khilafah atau ide-ide radikal lainnya tidak akan diterima masyarakat Indonesia.
"Ketika masih ada korupsi yang dilakukan pejabat-pejabat negara, ketika masyarakat miskin masih banyak, ini mudah sekali jadi ladang subur persemaian gagasan-gagasan radikalisme," tegas Yenny.
Dia beralasan, ada orang-orang yang mengatakan bahwa solusi dari ini semua adalah khilafah. Menurut Yenny, itu terlalu gampang, tapi tak bisa dibantah bahwa ada sebagian masyarakat yang tertarik dengan gagasan sederhana seperti itu, meski belum bisa dibuktikan efektifitasnya.
"Bukan cuma sila Ketuhanan yang Maha Esa. Sekarang kalau bicara Pancasila seolah-olah hanya Ketuhanan yang Maha Esa, tapi yang paling penting justru sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia," pungkas Yenny.
Perempuan bernama lengkap Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid itu mengatakan, agama dan nasionalisme adalah bagian dari sikap masyarakat sebagai umat beragama. Karena itu jangan dibenturkan antara keduanya.
"Jadi jangan cuma bicara sila Ketuhanan Yang Maha Esa, dan coba membenturkan antara agama dengan nasionalisme. Karena agama dan nasionalisme adalah bagian dari sikap kita sebagai umat beragama," Yenny menandaskan.
Pada kesempatan sama, Kepala Badan Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Suhardi Alius mengatakan, kelompok radikalis punya banyak taktik untuk mendoktrin kaum remaja dan masyarakat. Di sinilah pentingnya meredam radikalisme bagi mereka yang sudah menyadari kekeliruannya.
"Kemarin ada deklarasi Cinta Tanah Air dan sebagainya. Mereka berbalik, kurang lebih ada 37 mantan napi teroris yang sudah berbalik, dan sekarang mendirikan yayasan Lingkar Perdamaian. Ini termasuk contoh, menjadi embrio untuk menyebarkan paham-paham yang baik," kata dia.
Sementara data BNPT menyebutkan, pelaku teroris terbesar berpendidikan SMU yakni 63,3 persen, kemudian disusul perguruan tinggi 16,4 persen, SMP 10,9 persen, tidak lulus perguruan tinggi 5,5 persen, dan SD 3,6 persen.
Kemudian berdasarkan umur, pelaku teroris terbanyak usia 21-30 tahun yakni 47,3 persen, disusul usia 31-40 tahun 29,1 persen. Sedangkan, usia di atas 40 tahun dan di bawah 21 tahun masing-masing 11,8 persen.
Konflik di Timur Tengah
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) F Iriani Sophiaan mengatakan, keberlangsungan suatu negara dan bangsa sangat ditentukan oleh tekad persatuan dan kesatuan, serta sinergi yang positif di antara berbagai komponen bangsa untuk menjaganya.
Menurut dosen yang menjadi ketua BARA UI ini, pro dan kontra di antara pilar kebangsaan adalah hal biasa, yang harus dihargai sebagai dinamika yang melekat, dan merupakan keniscayaan yang tak mungkin dinegasikan.
"Kondisi pro kontra seharusnya menjadi penguat dan terus bergerak dalam mencapai kesejahteraan dan kemakmuran. Bukan sebaliknya untuk menghancurkan," kata Iriani, yang juga moderator diskusi publik ini.
Terkait perbedaan ini, Iriani menambahkan, Indonesia beruntung memiliki prasyarat yang terbingkai menjadi satu, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sementara, Dosen di King Fahd University Saudi Arabia Sumanto Al Qurtuby mengatakan, konflik Timur Tengah tidak terkait dengan Sunni dan Syiah, tapi karena lebih pada perebutan kekuasaan atau politik.
"Misal di Qatar di sana baik-baik saja. Di Bahrain juga," ujar Qurtubi dalam diskusi yang digelar Bara UI itu.
Karena itu, Qurtuby mengimbau masyarakat Indonesia agar tidak memaknai konflik Timur Tengah sebagai konflik agama.
"Indonesia jangan terpengaruh ke sana. Itu semata-mata karena politik," ucap dia.
Pria yang juga mengajar di Nasional University Singapura itu menyebutkan, di Timur Tengah kelompok Sunni dan Syiah hanya merupakan faksi.
Kedua kelompok ini, kata Qurtuby, tidak saling memerangi seperti yang selama ini dipersepsikan orang Indonesia. Yang ada, kata dia, keduanya berperang melawan kelompok radikal.

Radikalisme, Ekstirimisme dan Terorisme

Radikalisme, Ekstirimisme dan Terorisme
Radikalisme, Ekstirimisme dan Terorisme merupakan suatu kesatuan substansi yang menurut masyarakat luas berhubungan satu dengan yang lainnya. Bahkan ada beberapa kelompok social yang menunjukan bahwa tiga istilah ini merupakan hal yang bersifat negative dan layak untuk dihindari. Jika dilihat dari sisi definisi, ketiga terma ini sangatlah berbeda. Menurut kamus Oxford Living Dictionaries,
Radikalisme merupaan bentuk kepercayaan atau aksi dari sekelompok individu yang menyuarakan reformasi social atau politik kepada masyarakat; Ekstrimisme merupakan kepercayaan terhadap pandangan-pandangan/interpretasi ekstrem dari ajaran politik atau agama (fanatisme); sedangkan terorisme merupakan aksi indimidasi dan kekerasan secara illegal, terutama terhadap masyarakat sipil, dalam rangka memenuhi tujuan-tujuan politis.
ISIS (Islamic State of Iraq and Syria/Islamic State of Iraq and Levant/Daesh) merupakan salah satu kelompok teroris yang merumuskan ketiga terma tersebut dalam suatu organisasi yang mereka yakini sebagai pemahaman yang benar dalam pandangan ilmu agama Islam yang mereka telah salah menginterpretasikannya (menerjemahkan manuskrip Al-Qur’an dan Hadist secara Zahir dan tidak menggunakan metode Qiyas). Hasilnya adalah pandangan Jihad yang salah diartikan oleh kelompok ini. Sebelumnya, Al-Qaeda juga menyimpang dalam mengartikan dan memahami ideology Islam dan memproklamirkan diri sebagai Islam fundamentalis yaitu penganut ajaran Islam hingga ke akar. Hal ini kemudian dibesar-besarkan oleh beberapa media dan menimbulkan manufakturasi pikiran (manufacturing consent) mengenai grup terorisme yang condong kepada Islam konservatif dan memojokan pemeluk agama Islam padahal ada beberapa kelompok terorisme yang tidak membawa nama-nama agama dalam aski terorisme mereka.
Dari hasil diskusi yang dilakukan oleh Indonesia Berbicara, kami dapat menyimpulkan beberapa pertanyaan yang timbul dari tema ini:
  1. Jikalau aksi terorisme bisa berangkat dari latar belakang mana pun, maka apakah akar dan penyebab dari aksi terorisme itu sendiri?
Terorisme tidak selalu berakar dari radikalisme atau ekstrimisme. Tetapi ekstrimisme bisa menjadi awal motivasi untuk melakukan terorisme yang kemudian menstimulasi perilaku radikal terhadap suatu paham yang diyakini bisa mengubah suatu sistem yang selama ini dianggap telah gagal atau hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem tersebut. Namun, karena sila pertama dari Pancasila berhubungan dengan agama dan nilai-nilai beragama telah menjadi darah daging dalam berkehidupan berbangsa di negeri ini, ada beberapa orang atau organisasi yang akhirnya menggunakan terma agama untuk mensukseskan aksi terorisme yang dilatar belakangi oleh stigma ekstrimisme terhadap suatu ajaran tertentu.
Dengan kata lain, ketiga terma tersebut bersifat anti perbedaan yang sangat bertentangan dengan nilai utama keberagaman di Indonesia, yaitu berbeda-beda tetapi tetap satu. Agar bisa melaksanakan terorisme, beberapa kelompok radikal di gunakan dan diberikan pengertian atau edukasi yang salah terhadap sistem (pemerintahan) yang telah ada dan juga diberikan pemahaman yang salah terhadap agama yang dianutnya (karena agama memiliki pengaruh yang besar di Indonesia).
Tidak hanya itu, ketidaksiapan masyarakat Indonesia dalam globalisasi membuat masyarakat Indonesia tidak dapat menyaring setiap informasi yang diterima dan jika dikaitkan dengan rendahnya keinginan masyarakat Indonesia untuk membaca membuat Indonesia langsung menelan mentah-mentah setiap informasi yang belum tentu benar dalam hal isi informasi serta sumber informasi tersebut.
Kesenjangan social dan ekonomi juga bisa memicu adanya aksi-aksi terror di Indonesia dan bisa membuat aksi-aksi terorisme menjadi lebih kompleks dan menjadi bagian dari kehidupan berbangsa. Dari kesenjangan social ekonomi tersebut munculah rasa heroistik untuk menyelamatkan orang-orang yang dianggap senasib dengan orang tersebut. Dari latar belakang tersebut, orang-orang yang dituju kemudian diradikalisasi dengan penanaman doktrin-doktrin dasar dari sebuah pemahaman atau ideology. Kemudian pemikiran yang sudah dibangun dikorelasikan dengan pemikiran kelompok yang menyebabkan kebencian atau proses ekstrimisasi. Setelah itu muncullah rasa heroic yang akhirnya menimbulkan pergerakan aksi yang tidak sesuai dengan standar norma atau aksi terorisme.

  1. Bagaimanakah solusi dari permasalahan tersebut?
Solusi secara umum
Pendidikan moral yang tidak hanya menjadi tanggung jawab sekolah dan pemerintah, tetapi juga menjadi tanggung jawab dari orang tua yang menjadi actor pendidikan terdekat dari seorang anak. Disini juga dapat terlihat bahwa pendidikan agama yang benar akan membuat pemahaman moral lebih ditekankan sehingga tidak membawa kepada aksi terorisme. Tidak hanya itu, memposisikan atau meperlakukan seseorang atau kelompok secara sama di mata hukum tanpa membeda-bedakan kepentingan juga dapat mencegah terjadinya terorisme yang didalangi oleh ekstrimisme dan radikalisme.
Solusi untuk Kondisi di Indonesia
Komunikasi yang intensif kepada setiap lapisan dan golongan masyarakat dapat mengurangi keinginan untuk melakukan kegiatan yang bersifat terror. Komunikasi ini sebaiknya dijalankan terlebih dahulu oleh pemerintah melalui pembuatan kurikulum dasar tentang multikulturalisme yang seharusnya diterapkan sejak dini. Dari komunikasi yang dijalankan, dapat diketahui nilai-nilai yang diyakini dan ciri-ciri dari setiap kelompok yang ada di Indonesia, kemudian dari situ pemerintah bisa menitikberatkan pada saling menghormati terhadap nilai-nilai dari setiap kelompok dan tidak membenci kelompok yang berbeda dengan nilai atau prinsip yang kita yakini. Sehingga tidak ada lagi gap atau pemisah antar kelompok karena setiap kelompok adalah sama dimata hukum.