Cari Blog Ini

Rabu, 05 Juli 2017

Rakimin, Melawan Calo Terorisme



“Apa yang kau harapkan dari pekerjaanmu sekarang ini? Apakah dengan pekerjaanmu ini, kau sanggup membuat keluargamu bahagia? Apakah kamu juga bisa yakin setelah kamu mati, kamu akan mendapatkan surga?”
Kata-kata itu terngiang dengan jelas oleh Rakimin, lelaki yang pekerjaan kesehariannya sebagai tukang sol sepatu itu. Kata-kata yang diluncurkan dari seseorang yang belum lama dikenalnya, sesame orang berdarah Jawa, meski namanya sudah berubah seperti nama orang-orang gurun di Timur Tengah.
Rakimin berjumpa dengan Rudi Santoso, yang namanya berubah menjadi Ruslan Al Azhari, ketika sedang beristirahat di bawah pohon talok, di kota kabupaten di salah satu propinsi pulau Jawa. Perjumpaan yang menjadikan Rakimin dilanda kebingungan yang luar biasa. Bingung dengan nasipnya sekaligus juga bingung dengan tawaran masuk surga serta jaminan masa depan istri dan anak-anaknya.
“Nasipmu yang berat serta pahit itu terjadi karena orang-orang kafir yang melakukannya. Dan kita butuh banyak orang untuk melawan mereka. Yakinlah, surga sudah menunggumu jika kamu mau melawan mereka. Surge yang indah, yang di sana aka nada 73 bidadari yang siap melayanimu. Jangan kuatirkan istri dan anak-anakmu, kami siap menanggung mereka”, demikian Rudi Santosa alias Ruslan al Azhari itu menceramahinya.
Rakimin awalnya tidak pernah mempedulikan tawaran itu. Namun ketika semakin hari, semakin berat pekerjaan dan beban yang mesti ditanggungnya, berawal dari sekedar memikirkannya sepintas, lama-kelamaan Rakimin mulai merasa ada kebenaran dari kata-kata Sugito alias Ruslan Al Azhari itu.
Meskipun ijazahnya SMK, namun sangat sulit mendapatkan pekerjaan layak. Bekerja di pabrik namun hanya kontrak dan hitungannyapun harian. Jika sakit atau harus bermasyarakat maka tidak akan mendapatkan bayaran, malahan mendapatkan potongan. Tidak kuat dengan segala beban berat bekerja harian di pabrik, Rakimin akhirnya keluar tanpa pesangon serupiahpun.
Rakimin memilih berusaha sendiri. Dan satu-satunya bakat yang dimilikinya adalah menservis sepatu dengan cara di sol. Sedikit tabungan miliknya dibuat untuk modal berkeliling menawarkan jasa sol sepatu. Itu yang membuat Rakimin mulai memikirkan tawaran dari Ruslan Al Azhari.
“Nasipmu tidak akan berubah. Negaramu tidak mungkin menjamin nasipmu”, Kata Ruslan suatu waktu, ketika untuk kesekian kalinya menjumpai Rakimin di pinggir jalan, saat Rakimin sedang bertugas, membetulkan sepatu milik Koh Yuan, pemilik toko sebelah kantor pos.
“Lha apakah negaraku bukan negaramu mas?”, Jawab Rakimin masih nampak berani. Dan sepertinya Ruslan Al Azhari, atau Sugito itu memang sudah pandai untuk mempengaruhi setiap orang, hingga meskipun dijawab sekenanya oleh Rakimin, dia tidak marah.
Hahaha…ini memang tanah tumpah darahku. Tapi aku sudah tidak bisa mengharapkan apa-apa dari negeri ini. Semua sudah dikuasahi kafir. Agama kita akan dihancurkan, maka aku memutuskan melawan. Oleh karena itu, aku mengajakmu untuk membela agama kita”, Begitulah jawab Ruslan.
Semakin hari, Rakimin semakin dilanda galau yang semakin berat. Bingung dengan pekerjaannya yang tidak tentu menghasilkan uang, sementara dua anknya serta istrinya selalu mengharapkan uang saat dia datang ke rumah. Pekerjaannya kalah dengan mesin dan pabrik. Orang sudah jarang menservis sepatu atau sandal, mereka lebih senang membeli yang baru.
“Hidupku sangat susah, itu berarti anak dan istrimu juga susah. Jika aku memilih tawaran Ruslan Al Azhari, aku akan mendapatkan kenikmatan akherat, sementara anak dan istriku akan dijamin hidupnya”, Guman Rakimin suatu saat, manakala sedang sendirian di halaman depan rumahnya, sembari menatap langit dengan sejuta bintangnya.
Kemudian Rakimin beringsut menuju dalam rumahnya. Perlahan dia mendekati botol minuman, karena ruangan yang sangat kecil ruangan tidur dan tempat makan serta minum jadi satu. Berhati-hati agar anak-anaknya tidak terganggun kemudian terbangun. Kemudian Rakimin membuka botol minuman mineral yang sangat populer di dunia, menegaknya dengan berat. Seolah ada duri di air minum itu sehingga Rakimin merasakan berta luar biasa.
Sambil beranjak ke ruang depan, Rakimin menatap wajah polos istri an anak-anaknya. Tidak nampak derita dan duka di garis wajah mereka. Rakimin menatap mereka bergantian dan agak lama. Nampak dalam temaram lampu 5 watt, ada butiran-butiran air bening dari pelupuk matanya, mulai bergulir jatuh melintasi pipinya yang legam tersengat sinar matahari.
“Aku ingin kita semua bahagia, namun bukan berpisah dengan kalian. Ruslan bilang, bahagiaku hanya saat aku mau mengerjakan tugas dari si boss yang juga merupakan bosnya Ruslan” Batin Rakimin. Lelaki sederhana itu kemudian beringsut menuju ruang tamu untuk tidur.
Malam semakin sepi dan beranjak menuju kepastiannya. Rakimin merasakan letih dan karenanya, dia hendak segera tidur. Baru saja hendak merebahkan tubuh, tiba-tiba HPnya berbunyi, ada pesan masuk. Rakimin segera mengambil HPnya di tasnya dan kemudian membacanya. Nampak ada perubahan besar di wajah Rakimin. Sekali lagi Rakimin berusaha membaca pesan di HP itu lagi dan juga mengusap-usap matanya, namun tetap sama.
“Lusa ada tugas yang akan membawamu ke surga”, Demikian bunyi pesan di HPnya itu dan itu ternyata dari Ruslan Al Azhari.
Keringat dingin tiba-tiba mengucur deras dari tubuh Rakimin. Ditatapnya istri dan kedua anaknya. Pada satu sisi, dia tidak mau berpisah dengan mereka, namun di sisi lain, beban hidup dan derita yang dirasakan, seolah membuat Rakimin enggan melanjutkan hidupnya.
Rakimin tahu, tugas yang disampaikan Ruslan. Membawa panik dalam ransel, kemudian menuju sebuah pusat keramaian. Di sana, setelah tepat waktunya, Ruslan yang akan bertindak. Dan..saat itulah perpisahan sempurna dengan istri dan kedua anaknya.
HP Rakimin tiba-tiba berbunyi kembali dan Rakimin segera membuka serta membaca pesan itu.
“Kami akan menjemputmu 40 menit dari sekarang. Tulis surat wasiat ke anak istrimu. Segera!”
Rakimin tertegun. Tiba-tiba dia merasa terancam. Hidupnya terasa hendak dirampok oleh orang-orang pengecut yang hanya mau menjerumuskan orang lain sementara dirinya sendiri tidak mau melakukannya. Tiba-tiba tangannya mengepal, dadanya bergetar. Bibirnya menggigit bibirnya dalam kesadaran sempurna. Dipandanginya dalam temaram cahayu lampu 5 watt wajah anak-anak dan istrinya.
“Hmmm..orang lain bisa kalian tipi dengan janji surgamu, namun jangan pernah merayuku. Jika dengan melakukan itu masuk surge, mengapa kalian tidak melakukannya sendiri!? Dasar Bajingan…setan alas!!!”, Rakimin berguman lirih namun berat. Kemudian bergerak, meninggalkan ruangan tidur itu, melangkah keluar rumah sempitnya dan menutup pintu. Menuju halaman depan rumahnya sembari melepas baju bagian atasny. Dingin tengah malam tiada Rakimin hiraukan.
“Datanglah, jika mau memaksa, langkahi mayatku dahulu. Tidak akan kubiarkan siapa saja merampas aku dan keluargaku”, Desis Rakimin. Dalam penantian, Rakimin tiba-tiba teringat nasehat dua sosok sederhana yang pernah dijumpainya, Ustad dan pendeta. Dua sosok yang rukun dalam segala perbedaan yang ada. dari mereka kemudian Rakimin merasa menemukan keindahan hidup yang sejati, meski sempat hampir hancur lebur dirayu manusia-manusia berwatak serigala.
Semilir angin malam menerjang Rakimin. Sudah 35 menit dia menanti. Rakimin yakin, segera akan ada tamu. Dan dirinya sudah siap dengan semua resiko. Sudah 40 menit, namun tiada yang datang. Rakimin semakin yakin kalau semua itu gertak sambal dan tidak akan berani melakukan ancamannya. Jika berani, mengapa mesti merekrut orang, mengapa tidak dijalani sendiri?
Tiba-tiba, Rakimin melihat tiga bayangan hitam menuju tempatnya. Rakimin siap dengan segala yang akan terjadi.
Tiga bayangan itu semakin mendekat..

0 komentar:

Posting Komentar