Cari Blog Ini

Minggu, 09 Juli 2017

Menangkal Radikalisme dengan Mereformasi Pendidikan Agama


Pilpres 2014 telah menampilkan secara telanjang wajah radikal agama di Indonesia. Belum pernah dalam sejarah perpolitikan Indonesia terjadi perpecahan yang begitu jelas berdasarkan agama. Dalam sejarah pemilu Orde Baru, tidak pernah terjadi jurang yang begitu dalam antara PPP dengan Golkar atau PDI. Bahkan saat Mega dilengserkan dari tampuk pimpinan PDI setelah peristiwa Kudatuli terjadi fenomena Mega Bintang yang menggelembungkan suara PPP dan menggembosi suara PDI Suryadi pada Pemilu 1997.
Pilgub DKI 2017 menunjukkan secara lebih gamblang lagi garis pemisah ini. Diawali dengan pidato Ahok yang “disinyalir” melecehkan Al Qur’an, diikuti oleh aksi masa 112, 212, dan 313. Serangkaian peristiwa ini membuat kita bertanya-tanya sejauh mana paham Islam radikal berkembang di Indonesia.
Pemahaman agama secara radikal sekarang sudah ditunjukkan secara terbuka, tidak lagi sembunyi-sembunyi seperti pada zamannya NII. HTI, FPI, FUI dan organisasi sejenis secara gamblang melaksanakan aksi mereka, bukan sekadar unjuk rasa, melainkan juga sampai membubarkan ibadah agama lain. Sementara itu pemerintah tampaknya lebih berkutat melakukan deradikalisasi yang berkaitan dengan terorisme, tetapi belum berbuat banyak untuk menangani gerakan radikal di bangku sekolah maupun mimbar terbuka.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa salah satu penyebar radikalisme justru adalah guru agama di sekolah. Bukan rahasia lagi kalau banyak guru agama Islam di sekolah-sekolah negeri (bukan madrasah, loh) yang berpaham radikal. Organisasi-organisasi pelajar dan mahasiswa seperti Rohis dan KAMMI juga sering dipakai untuk menyemai paham radikal ini. Oleh karena itu reformasi pendidikan agama adalah sesuatu yang niscaya jika kita ingin membendung gerakan ini.

Saya mencoba menggali memberikan beberapa alternatif cara mereformasi pendidikan agama dalam tulisan ini.
Pertama, model yang paling radikal sekaligus paling sulit diterima oleh semua pihak, adalah menghapus pelajaran agama. Penghapusan pelajaran agama bukan berarti menghentikan kegiatan pengajaran agama di Indonesia, melainkan memisahkan pelajaran agama dari pendidikan formal. Pelajaran agama tetap dilaksanakan di masjid-masjid, gereja-gereja, dan rumah ibadah lain. Pendanaan pendidikan agama berbasis tempat ibadah ini juga bisa diambil dari APBN atau APBD.
Penghapusan pelajaran agama di sekolah berarti mengembalikan pendidikan agama kepada keluarga dan masyarakat. Pendidikan agama bukan lagi menjadi tanggung jawab pemerintah secara langsung. Solusi ini mungkin terdengar aneh bagi umat Islam. Namun bagi umat Kristen hal seperti ini telah dilakukan sejak dahulu. Pendidikan agama secara formal dalam kegiatan menggereja tidak dilakukan di sekolah, melainkan di gereja. Pendidikan agama di sekolah bagi umat Kristen hanyalah sebagai bagian dari pendidikan umum.
Model yang sama mungkin bisa diadopsi oleh umat Islam. Masjid dan mungkin madrasah harus diaktifkan sebagai tempat pembelajaran agama bagi masyarakat umum. Madrasah mungkin bisa mengadakan semacam “kelas ekstensi” bagi siswa yang bersekolah di sekolah umum untuk belajar agama Islam.
Model ini mungkin membawa konsekuensi cukup berat bagi mereka yang menyandang status guru agama. Mau dikemanakan mereka ini semua? Perubahan ini bukan hanya akan mengguncang pemahaman melainkan juga hajat hidup orang banyak. Oleh karena ini model ini kemungkinan besar tidak bisa dijalankan.
Kedua, ganti pelajaran agama dengan pelajaran perbandingan agama. Model ini  tetap sulit diterima, meskipun mungkin tidak sesulit model pertama. Selama ini yang menjadi salah satu biang kerok adalah ekskusivitas dalam pelajaran agama. Peserta didik agama Islam hanya mempelajari agama Islam tetapi tidak mengenal agama Kristen, begitu pula sebaliknya. Kita saling tidak mengenal agama lain sehingga banyak terjadi salah paham ajaran agama lain, bahkan untuk orang sekelas “doktor” seperti Zakir Naik. Kesalahpahaman ajaran agama lain mungkin bisa dikurangi dengan mempelajari juga agama lain selain agama sendiri. Hal seperti ini pernah dilakukan di pengajian Paramadina dengan mengundang pendeta untuk menjelaskan suatu doktrin Kristiani.
Bila ini terjadi tentunya pelajaran agama akan berubah secara cukup drastis. Akidah tidak akan lagi mendapatkan porsi utama digantikan dengan pengetahuan agama. Agama diajarkan sebagai sebuah ilmu bukan sebagai sebuah doktrin. Pengajaran agama sebagai doktrin dikembalikan ke rumah-rumah ibadah, bukan bangku sekolah.
Model seperti ini sebenarnya juga bukan model yang asing. Banyak sekolah teologi yang mengundang dosen Muslim untuk mengajarkan tema agama Islam, begitu pula dengan pendeta atau bhiksu yang mengajar tentang agamanya di universitas Islam. Model ini hanya perlu diperluas ke sekolah-sekolah menengah.
Ketiga, membiarkan pendidikan agama seperti sekarang, tetapi melakukan reedukasi guru-guru agama. Solusi ini mungkin lebih kecil tantangannya, tetapi bisa jadi mahasulit karena mereformasi guru agama sama sekali tidak mudah. Sudah terlalu banyak guru-guru agama yang telanjur radikal.
Meskipun terlihat cukup sulit, program ini bisa jadi mendapat banyak dukungan dari masyarakat, terutama dari silent majority. Program ini juga tidak benar-benar tanpa daya, mengingat masih banyak Universitas Islam  Negeri (UIN) dan pesantren-pesantren yang tidak mengajarkan paham radikal. Mereka inilah yang akan menjadi ujung tombak reedukasi guru-guru agama. Penantang utama ide ini pastilah hanya mereka yang menganut paham radikal itu sendiri.
Untuk menghindari konfrontasi secara frontal mungkin ada baiknya diadakan model keempat, yaitu melakukan reedukasi secara halus dan bertahap. Reformasi hanya dilakukan secara terbatas pada dosen yang mengajar calon-calon guru agama dalam Fakultas Tarbiyah atau Keguruan. Pengawasan dalam UIN mungkin lebih mudah; yang lebih sulit diawasi adalah pada fakultas-fakultas pendidikan agama di universitas swasta. Dosen-dosen yang mengajar di fakultas ini tanpa kompromi harus mendukung NKRI ber-Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Tidak ada tempat bagi dosen-dosen yang tinggal di Indonesia tetapi menggerogoti negara ini dari dalam.
Ide tentang pembangunan sebuah kampus Islam internasional untuk menyebarkan paham Islam moderat juga harus disambut. Diharapkan dosen dan lulusan perguruan tinggi ini juga bisa menjadi ujung tombak untuk menyebarkan Islam yang lebih toleran dan berkebangsaan.
Dosen-dosen ujung tombak deradikalisasi ini diharapkan juga mampu menghasilkan guru-guru agama baru yang tidak radikal, sekaligus mereformasi bibit-bibit radikal dalam calon-calon guru ini. Gelombang lulusan baru ini akan menjadi garda depan dalam menghadapi paham radikal dan memberi napas baru bagi kesejukan beragama di negara ini.
Bersamaan dengan langkah ini harus dilakukan sensor mendalam buku-buku pelajaran agama yang beredar. Sudah terlalu lama para penggiat radikalisme menggunakan buku-buku ajar untuk menyebarkan paham radikal. Sudah saatnya Kementrian Agama mengambil langkah tegas. Langkah ini juga tidak terlalu sulit, asal ada niat, mengingat hanya melibatkan teks, bukan manajemen manusia.
Saya tentu saja tidak mengklaim bahwa model-model yang saya ajukan di atas adalah model terbaik. Saya hanya sekadar mengajukan pemikiran ini sebagai sebuah diskusi, mengingat darurat radikalisme di Indonesia, khususnya dalam pendidikan agama.

0 komentar:

Posting Komentar