Cari Blog Ini

Selasa, 18 Juli 2017

Memblokir Telegram, Menutup Pintu Radikalisme



Ini bukan soal aku pro atau kontra Jokowi. Aku setuju 100% dengan adanya Perppu Ormas dan blokir Telegram. Intinya aku mendukung pemerintah memberantas paham wedus radikalisme. Pemberantasan Ormas aliran kaku intoleran anti Pancasila dan bikin kacau negara, harus didukung. Mendukung radikalisme itu ndeso pol!
(Tulisan iki gawe wong sing durung ngerti, sing wis ngerti menengo yo)
Sempat ada kesalahpahaman di kalangan awam soal pemblokiran yang dilakukan pemerintah. Whoiii, yang diblokir pemerintah itu aplikasi Telegram. Bukan telegram dalam arti yang sesungguhnya seperti telegraf, telepon, televisi, teletubbies, teletong, telek, dan embuh wis, akeh.
Kalau telegram dilarang, itu jelas mengebiri kebebasan berbagi informasi. Iku koyok wong sing oleh mangan tapi gak oleh ngising. Utowo oleh ngising tapi gak oleh nguyuh. Tapi, zaman sekarang ada nggak orang yang masih menggunakan telegram untuk berkirim informasi? Wis gak usum.
Jadi ingat omongan Simbah. Jangan melarang orang membawa pisau, hanya karena pisau bisa dipakai untuk membunuh. Karena sesungguhnya pisau diciptakan tidak untuk membunuh manusia. Jadi, jangan salahkan pisaunya, salahkan manusianya.
Juga cerita Abu Nawas yang ditangkap, diadili dan dimasukan penjara hanya karena membawa pisau kemana-mana, karena ditakutkan bisa membunuh orang. Sebelum dipenjara Abu Nawas minta pak Hakim juga dipenjara. Kok bisa begitu? Karena pak Hakim membawa kemaluan kemana-mana, ditakutkan bisa memperkosa wanita. (O__O)
Dalam kasus pemblokiran aplikasi Telegram ini, tidak bisa disamakan dengan kisah Abu Nawas. Konteks dan substansinya lain. Di sini yang dilarang bukan pisaunya, tapi jenis pisaunya. Jadi bukan kebebasan berbagi informasi yang dilarang tapi jenis kebebasan berbagi informasinya, karena berpotensi membahayakan keselamatan rakyat dan negara.
Apalagi yang diblokir ternyata yang versi web saja. Jadi masih bisa diakses lewat hengpon.
Tujuan pemerintah memblokir aplikasi Telegram itu mulia (ayee), untuk menyelamatkan rakyatnya dari ideologi radikalisme, teroris. Para teroris ini menggunakan aplikasi Telegram untuk keperluan propaganda dan provokasi. Karena aplikasi ini lebih aman, enkripsi dengan keamanan canggih, sehingga kerahasiaan percakapan terjamin dan tidak memberikan informasi nomer telepon pengguna.
Jadi menurutku langkah pemerintah sudah sip. Keselamatan rakyat di atas segalanya. Dalam hidup ada skala prioritas, keselamatan lebih penting dari pada mbelani aplikasi basa basi, nggambleh, nggacor, nggedabrus ngalor ngidul yang bernama Telegram (kayaknya aplikasi yang lain juga begitu).
Apalagi aplikasi Telegram nggak populer di sini, aku ae tas eruh. Blokir-blokiren kono, masih banyak yang lain. Sebut saja Facebook, Twitter, WA, BBM, Instagram, Line, Twoo, Google Plus Plus (saingannya Pijat Plus Plus). Atau kalau mau, hidupkan lagi medsos 80’an macam Sahabat Pena, interkom, ngebrik, embuh opo maneh. Itu kalau berani mencanangkan Gerakan Kembali Ndeso.
Aku yakin 100% nggak mungkin negara ini memblokir medsos, selama UU ITE benar-benar dijalankan dengan benar. Sehingga hate speech, spamming, hoax, dan kejahatan medsos yang lain bisa diatasi. Medsos masih dibutuhkan untuk menjaga silahturahmi, dakwah, bisnis, kampanye, cari jodoh, bertukar ilmu, berbagi informasi, bertukar pengalaman, nggedabrus, pamer kesuksesan, bla bla bla .
****
Di era SBY, kumpulan wedus aliran radikalisme dibiarkan bebas berkembang biak bak mikro organisme di kepala yang penuh koreng akut. Gus Dur pernah mencanangkan pembubaran aliran kaku anti Pancasila, tapi sayang tidak pernah terwujud. Sekarang adalah saat yang tepat untuk mewujudkan itu, karena melihat gerakannya sekarang yang semakin terang-terangan.
Jadi, diberlakukannya Perppu Ormas dan blokir Telegram adalah upaya menutup pintu masuknya paham radikalisme. Lanjutkan Jok! Kamu bisa!!
Sejak kekalahan ISIS di Mosul, target basis ISIS berikutnya adalah Asia Tenggara, tepatnya di Marawi, Filipina. Di Indonesia sendiri ternyata banyak pendukung ISIS. Banyak dari mereka yang jadi jihadis ISIS di sana, siap mati sangit.
Kabar terakhir Turki telah menangkap 435 pendukung ISIS asal Indonesia. Dalam hal jumlah pejuang ISIS, Indonesia menduduki peringkat kedua setelah Rusia. Ini membuktikan Indonesia banyak penganut paham radikalisme yang perlu disepak peline.
Pokoknya apa pun yang dijadikan media perjuangan bagi kaum radikalisme harus diberantas tuntas. Entah itu berbentuk aplikasi medsos, Ormas, situs yang penuh dengan tulisan, ceramah, video propaganda radikalisme, dan banyak lagi. Pokoke gak taek-taekan, sikat habis!
Sudah, itu saja. Zuukkkk.
 
 
(C) Robbi Gandamana, 17 Juli 2017

0 komentar:

Posting Komentar