Cari Blog Ini

Jumat, 14 Juli 2017

Adanya Perppu No 2/2017, Apakah Oknum Ormas Tetap Bisa Melakukan Sweeping?



Sweeping, kalau dilakukan di rumah pakai sapu sih hasilnya rumah jadi bersih tapi kalau pakai pentungan? beda lagi ceritanya. Aksi razia kerap dilakukan oleh oknum organisasi kemasyarakatan tertentu dan tidak sedikit yang merasa terganggu akibat hal tersebut. Namun bagaimana dengan adanya Perppu tentang ormas? Apakah oknum ormas tetap bisa melakukan sweeping?
Aksi razia yang dilakukan oleh para oknum ormas tersebut menimbulkan tandatanya ditengah-tengah masyarakat. Apa memang aksi seperti itu dibolehkan? Apa ormas bisa melakukan tugas dan fungsi seperti aparat keamanan?
Nah pada pasal 60 Peraturan Pemerintah Penggantu Undang-undang atau Perppu Nomor 2 tahun 2017, ormas yang melakukan aksi sweeping atau razia tersebut dapat dikenakan pelanggaran tingkat sedang. Sesuai aturan, sanksi pidana dapat dikenakan pada ormas yang melakukan sweeping.
Seperti yang diungkapkan oleh Direktur Jendral Politik dan Pemerintah Umum Kemendagri yang dikutip dari cnnindonesia.com
“Ormas dilarang melakukan kegiatan yang telah dilakukan aparat keamanan dan menjadi tugas pokok aparat keamanan. Termasuk sweeping itu kan tugas aparat keamanan. Berarti kalau mereka melakukan sudah melanggar UU ini,” kata Direktur Jenderal Politik dan Pemerintah Umum Kemendagri Soedarmo kepada wartawan di Jakarta, Jumat (14/7).
Sweeping atau razia selama ini memang sebenarnya tugas pokok aparat keamanan. Namun ada oknum ormas yang kerap merasa memiliki wewenang untuk melakukan sweeping. Hal ini menyebabkan keresahan di masyarakat dan ini telah terjadi cukup lama. Pemerintah pun tidak bisa menindak karena aturannya tidak ada, namun didiamkan pun tentu tidak baik karena berkaitan dengan wibawa pemerintah, aparat dan ketertiban umum.
Adanya Perppu ini menunjukkan bahwa Perppu memperjelas undang-undang mengenai ormas sebelumnya. Dimana pada undang-undang sebelumnya ada hal-hal yang belum tercantum. Entah disengaja atau oknum ormas tersebut yang mencari celah.
Hebatnya sanksi tersebut berlaku menyeluruh tidak parsial, artinya jika aksi razia dilakukan oleh ormas di daerah maka sanksi juga diberikan kepada pengurus tingkat nasional. Sehingga ormas pusat akan harus bertanggungjawab dan memantau kegiatan ormas di daerah-daerah.
Meski demikian pemberian sanksi pidana tidak bisa dilakukan seenaknya. Sanksi tersebut baru bisa diterapkan jika ormas yang pernah melakukan aksi razia, kembali mengalangi perbuatannya. Artinya udah diperingati tapi masih keras kepala, ya disikat aja kalau begitu.
Tapi meski demikian pemerintah harus tetap memberikan peringatan tertulis dan penghentian kegiatan terlebih dulu sebelum menjatuhkan sanksi pidana. Sesuai dengan apa yang tercantum dalam Perppu Ormas.
“Jadi bukan langsung kita pidanakan juga. Mekanisme itu tetap berlaku,” ujar Soedarmo.
Nah jadi jelas, pernyataan-pernyataan bahwa Perppu tersebut seperti orba, diktator, dan sejenisnya hanyalah untuk memancing isu saja. Karena jelas pemerintah pun tidak bisa seenaknya begitu saja menjatuhkan sanki pidana, namun tetap ada mekanismenya.
Menurut Soedarmo saat ini ada 7.089 organisasi masyarakat yang terdaftar di Kemendagri.
Jika dibandingkan dengan Undang-undang 17/2013 tentang ormas, sebenarnya Perppu nomor 2 tahun 2017 menyederhanakan mekanisme pemberian sanksi saja. Juga mempertegas apa yang dilarang dilakukan oleh ormas-ormas. Tanpa mengebiri kebebasan untuk berkumpul dan berserikat.
Saya rasa ini wajar saja, kumpul-kumpul boleh, tapi kalau kumpul-kumpul terus anarkis dan malah merusak, ya gak boleh. Apalagi beramai-ramai melakukan intimidasi, memang itu geng motor apa ormas? Ya tetap saja ada aturannya meski negara menjamin kebebasan berkumpul dan berpendapat.
Untuk itu maka pemberian sanksi harus lebih disederhanakan seperti pada pasal 61 Perppu Ormas. Dalam aturan tersebut, pemerintah mengurangi jumlah sanksi administratif yang bisa dikenakan pada Ormas pelanggar ketentuan dari empat menjadi tiga butir.
Pada pasal 61 UU 17/2013 disebutkan sanksi administratif dapat diberikan pada Ormas pelanggar ketentuan dengan jenis peringatan tertulis, penghentian bantuan dan/atau hibah, penghentian sementara kegiatan, dan/atau pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.
Sementara pada Perppu Ormas hanya ada sanksi administratif dalam tiga jenis, yaitu peringatan tertulis, penghentian kegiatan, dan/atau pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.
Seharusnya sejak dulu aturan-aturan ini dibuat sehingga tidak keburu ada oknum-oknum ormas yang bertindak bukan pada kapasitasnya. Entah siapa yang membuat undang-undang sebelumnya hingga terasa sulit untuk menindak oknum ormas yang mengganggu ketertiban bahkan ormas yang anti Pancasila.
Padahal menurut saya, jika negara ini berlandaskan Pancasila sudah tentu yang pertama kali dipikirkan saat membuat undang-undang ormas adalah ormas harus berazaskan Pancasila dan tidak boleh menentang Pancasila. Rasanya urutan berpikir yang logis adalah seperti demikian.
Jadi jika Perppu ini tidak mengalami kendala di DPR, kita bisa berharap kedepan tidak ada lagi oknum ormas yang melakukan aksi diluar kapasitasnya sebagai ormas.
Begitulah kelelawar
sumber
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170712153007-12-227382/perppu-ormas-pangkas-mekanisme-pemberian-sanksi/
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170714180501-12-228002/ormas-pelaku-sweeping-kini-terancam-sanksi-pidana/?utm_source=twitter&utm_campaign=cmssocmed&utm_medium=oa

0 komentar:

Posting Komentar