Cari Blog Ini

Minggu, 09 Juli 2017

Cara Unik Dedi Mulyadi Mengikis Radikalisme dan Intoleransi

Problem besar bangsa ini sekarang bukan hanya tentang korupsi dan teman-temannya. Bukan hanya kemiskinan dan kesenjangan ekonomi. Tetapi juga radikalisme dan intoleransi. Sehingga untuk mengatasi semua itu, yang harus gencar dilakukan bukan saja upaya pemberantasan korupsi, peningkatan kesejateraan, keadilan dan kemandirian ekonomi, tetapi juga upaya serius dan berkelanjutan untuk menangkal dan mengikis radikalisme dan intoleransi yang dalam satu dekadean tumbuh dan berkembang cukup mengkhawatirkan di negeri ini.
Akibat dari radikalisme itu, kita saksikan, terjadi banyak tindakan teror yang berulang-ulang. Dan tidak kalah mengkhawatirkan, aksi dan tindakan teror ini bukan lagi bersifat lokal, tetapi terlihat sebagiannya berkoneksi secara global. Tindakan teror tidak lagi sekadar manifestasi di tingkat lokal-nasional, tetapi juga terkait dengan isu-isu global.
Secara institusional kita sudah memiliki lembaga resmi BNPT, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Namun tentu saja ini sangat belum cukup. Upaya untuk menangani dan menangkal bahaya terorisme adalah kewajiban semua stakeholder bangsa ini. Bukan hanya pemerintahan saja, tetapi juga dalam konteks masyarakat sipil. Tidak hanya melalui pendekatan politis dan penegakan hukum, tetapi juga harus melalui pendekatan budaya dan pendidikan.
Hal yang terakhir inilah yang sekarang sedang digalakkan dan diperjuangkan oleh Bupati Purwakarta Istimewa, Dedi Mulyadi. Sebenarnya Purwakarta adalah sebuah DT II yang terkecil di Jawa Barat. Populasinya paling kecil, APBD-nya paling kecil. Ia baru kalah kecil dari Pangandaran setelah ia memisahkan diri dari kabupaten Ciamis. Akan tetapi, sekalipun Purwakarta saat ini merupakan Daerah Tingkat II terkecil setelah Pangandaran yang baru memisahkan diri, namun gebrakan, terobosan dan inovasinya di berbagai sektor sudah menjadi perbincangan nasional. Media massa terutama online kini bahkan banyak yang mempublikasikannya. Boleh dikatakan, sekarang ini selalu ada berita dari Purwakarta, dari Dedi Mulyadi. Dan ia menjadi salah satu inspirasi kepemimpinam ideal di negeri kita saat ini. Corak, gaya, inovasi dan narasi besarnya turut mengilhami masyarakat, bahkan sejumlah kepala daerah lain.
Secara garis besar, publik sekarang sudah mafhum bahwa Dedi sedang mengusung narasi besar kebudayaan sebagai strategi membangun daeragnya, khususnya daerah Purwakarta yang ia pimpin. Narasi ini pula yang ia terus tawarkan kepada masyarakat umum secara luas. Baik untuk peningkatan kualitas kesejahteraan ekonomis, kemandirian politis, strategi penegakan hukum, menjaga dan memanfaatkan sumberdaya alam, maupun strategi peningkatan sumberdaya manusia. Termasuk dalam hal pencegahan dan pengikisan bahaya radikalisme dan intoleransi di daerahnya.
Beberapa waktu yang lalu Ki Sunda Dedi Mulyadi melakukan sejumlah gebrakan dan kebijakan. Misalnya, anak-anak sekolah di Purwakarta diajarkan dan dididik bagaimana hidup dalam toleransi yang riil. Anak-anak berbeda agama melakukan makan bersama, di setiap sekolah disediakan tempat ibadah untuk semua agama (di mana siswanya ada perbedaan agama). Selanjutnya Ki Sunda ini juga merangkul mantan napi terorisme yang sudah bertaubat dan “terbimbing” olehnya untuk turut mengikis radikalisme di Purwakarta. Kang Dedi juga mendirikan sekolah untuk mengatasi radikalisme dan intoleransi.
Yang terbaru, upayanya untuk hal ini adalah ia menyelenggarakan Musabaqah Tilawah Kitab Kuning di Purwakarta, pada hari Minggu kemarin, 16 April. Acara lomba memahami Kitab Kuning yang bekerjasama dengan Kordinasi Nasional Garda Bangsa ini, bukan sebuah acara sembarangan tanpa konsep dan visi. Ini bukan acara gagah-gagahan, apalagi untuk mencari muka di mata publik. Dia mengadakan acara ini salah satunya adalah untuk mengikis radikalisme dan intoleransi di daerahnya.
Acara lomba di Purwakarta ini memang yang pertama kali diadakan di Indonesia, yang diadakan oleh sebuah pemerintahan. Tetapi visi besarnya tentu diharapkan bisa menginspirasi berbagai upaya untuk menangkal radikalisme secara nasional. Pemda lain bisa saja mengikutinya suatu saat dengan penyempurnaan. Bahkan pemprov hingga pemerintahan pusat melalui kementerian agama.
Yang perlu dipahami adalah apa keterkaitan antara Kitab Kuning dengan pencegahan radikalisme dan intoleransi. Nah ini yang perlu publik ketahui.
Seperti kita pahami dan yakini, bahwa keadilan itu dimulai dari pikiran. Begitu pula radikalisme dan intoleransi, dimulai dari pikiran pelakunya. Tindakan dan aksi teror takkan terjadi dari orang-orang yang pikirannya toleran dan rahmatan lil alamin. Sehingga, untuk memberantas radikalisme itu bukan saja secara fisik berupa penegakan hukum. Tetapi yang lebih penting, bahkan sangat penting, adalah memperbaiki pikiran orang-orang agar berpikir benar, dan terjauhkan dari cara berpikir intoleran dan teror.
Nah, untuk hal itu, berarti yang harus dibangun adalah pikirannya, mind setnya, pemahamannya. Dan tentang pemahaman keagamaan umat Islam, para ulama dahulu sudah banyak menulis dan membahas ilmu dan pemahaman keagamaan dalam berbagai kitab yang sangat kaya raya. Dalam kitab-kitab itu para ulama banyak mengulas dan mendaras Kitab Suci Al-Quran dengan sangat luas, dan juga beragam. Karena luas dan beragamnya, maka antara para ulama bisa terjadi perbedaan pendapat dalam memahami ayat-ayat Kitab Suci. Dan luar biasanya, mereka saling menghargai, tidak saling menjegal. Nah, perbedaan pendapat mereka itu terekam dalam kitab-kitab mereka, yang dalam tradisi Nusantara disebut dengan Kitab Kuning.
Sayangnya, keragaman pendapat para ulama terdahulu tentang Islam dan Al-Quran tidak diketahui oleh masyarakat awam. Publik kebanyakan hanya cenderung mengetahui Islam secara homogen dan seragam. Parahnya, keseragaman itu disampaikan oleh kalangan yang sama-sama “awam” yang berbungkus atribut keustadzan atau sejenisnya. Lebih parah lagi, mereka mengajarkan sikap merasa diri paling benar dan lalu mengkafirkan orang lain yang berbeda pendapat.
Dari sinilah awal munculnya intoleransi yang membahayakan harmoni sosial keagamaan itu. Intoleransi dimulai dari keawaman dalam memahami teks-teks agung Kitab Suci. Malangnya lagi, kondisi ini terjadi sudah cukup lama, dan masih berlangsung.
Mungkin ada yang menanggapi secara nyinyir kegiatan Musabaqah Tilawah Kitab Kuning yang Kang Dedi lakukan. Mereka bisa mempertanyakan mengapa Kang Dedi tidak mengadakan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ). Mengapa kitab kuning, bukan Al-Quran? Nah ini dia. Ini ciri khas kenyinyiran sebuah kaum yang merasa diri paling Islami dan berpegang pada Al-Quran.
Perlu diketahui, kegiatan semacam MTQ itu sudah umum dan biasa. Sebelum ada acara MTQ tingkat nasional, setiap kabupaten mengirimkan kafilah peserta untuk mengikuti Seleksi MTQ terlebih dahulu, tidak terkecuali Purwakarta. Bagi kabupaten yang lolos, mereka bisa mengikuti lomba di jenjang berikutnya.
Jadi, lomba Al-Quran sudah begitu adanya. Dan follow up dari itu adalah lomba yang lebih spesifik lagi. Yakni lomba tilawah kitab kuning, karena dalam kitab kuning itulah terdapat banyak tafsir tentang Al-Quran. Al-Quran adalah kitab suci yang memahami dan menafsirkannya dibutuhkan banyak disiplin ilmu dan ilmu bantu. Terjemah saja sangat tidak cukup. Melainkan harus dipahami dengan sejumlah ilmu lain, yang tersebar dalam banyak kitab kuning, salah satunya membahas kajian tafsir Al-Quran.
Jika seseorang berhenti hanya pada terjemahan Al-Quran, maka ia bisa mendapatkan salah paham dan kesimpulan. Seperti hal yang berkaitan dengan polemik al-Maidah 51 saat ini, itu karena sebagian kaum memahaminya hanya lewat terjemahan, di mana kata awliya hanya dipahami sebagai “pemimpin” menurut versi penerjemah. Padahal dalam kajian tafsir, kata dalam al-Maidah 51 itu ada asbabun nuzulnya, ada konteksnya. Seperti menurut Kyai Ahmad Ishomudin, dari sekitar 30 an buku tafsir yang beliau baca, makna awliya dalam al-Maidah 51 itu bukan tentang pemimpin, melainkan tentang teman setia atau sekutu dalam perang.
Karena sebagian kaum hanya membaca dan memahami kata itu dari terjemahan, maka muncullah kontroversi menegangkan hingga saat ini. Apalagi dimotivasi oleh dorongan-dorongan politis. Termasuk Zakir Naik, ketika berkomentar tentang ayat ini saat kunjungannya ke sini, juga nampak bahwa dia mengandalkan terjemahan atau makna homogen kata awliya tanpa pendekatan asbabun nuzul.
Jadi, kesimpulannya, untuk memahami Al-Quran dan Islam itu tidak cukup hanya melalui terjemahannya. Melainkan sangat perlu mempelajari banyak buku dan ilmu lain mengenainya, yang terdapat dalam banyak Kitab Kuning. Di sinilah relevansinya mengapa Kang Dedi melombakan bacaan kitab kuning di Purwakarta. Dan perlu diingat, lomba ini diadakan salah satunya setelah sebelumnya Kang Dedi mengharuskan sekolah-sekolah di daerahnya untuk membaca Kitab Kuning, bagi siswa-siswa Muslim. Sedangkan bagi siswa non Muslim Kang Dedi mengharuskan mereka mempelajari Kitab Suci masing-masing di sekolah.
Lomba Kitab Kuning bukanlah sebuah akhir. Ini adalah motivasi agar masyarakat Muslim mulai membaca dan mengkaji kitab kuning yang beragam. Pertama, agar mengetahui apa maksud dari Al-Quran dan Islam. Kedua, agar memahami keragaman pemahaman para ulama zaman dahulu, di mana mereka sendiri saling menghargai. Tujuan berikutnya adalah agar benih-benih radikalisme dan intoleransi itu terkikis, sehingga pikiran masyarakat menjadi terbuka, lapang, saling menghargai dan toleran.
Inilah manifestasi dari cara dan pendekatan budaya untuk menanggulangi bahaya radikalisme dan intoleransi di negeri ini. Yang digagas oleh Dedi Mulyadi, Ki Sunda dari Purwakarta.
Selamat dan sukses, bagi semuanya. Juga bagi empat orang peserta dan satu orang juri yang mendapatkan hadiah Umrah dari ajang lomba ini.
Sampurasun…

0 komentar:

Posting Komentar