Cari Blog Ini

Minggu, 30 Juli 2017

Telak! Jokowi Buat Nalar 2 Jenderal Menjadi Lelucon, Demo 287 Gagal


Manufer dua jenderal berakhir lelucon. Pertemuan keduanya Kamis, 27 Juli 2017 saja sudah menjadi lelucon. Alasannya, dua jenderal ini sebelumnya musuh bebuyutan, namun kini saling tarik, merangkul. Isi pertemuan mereka juga lelucon karena hambar, tak sepedas nasi goreng yang mereka cicipi.
Leluconpun mengalir dari keduanya. Katanya, kedua jenderal ini telah berikrar bersama. Keduanya mau mengawal sepak-terjang Sang Presiden ‘Ndeso’ yang spektakuler. Artinya, mereka mau mengawal yang lurus agar menjadi bengkok dan yang bengkok agar menjadi jongkok. Mantap.
Perhatikan baik-baik komentar tahu-tempe mereka. Jenderal yang satu mengatakan UU Pemilu yang baru disahkan oleh DPR adalah lelucon. Parliamentary threshold 20% adalah lelucon. Nalar sang jenderal rupanya sudah turun berat. Itu efek nyapres yang gagal melulu. Ia lupa bahwa 2 kali Pilpres sebelumnya memakai parliamentary threshold 20%.
Dengan menganggap bahwa UU Pemilu yang baru disahkan adalah lelucon, berarti sang jenderal terbukti gagal paham bahwa produk UU Pemilu itu dari DPR. Bisa dibayangkan jika sosok jenderal ini menjadi Presiden. Ia cepat lupa dan menganggap semuanya lelucon. Mengerikan.
Nah itu kisah jenderal yang satu, jenderal yang gagal bermimpi. Lalu bagaimana dengan jenderal yang lainnya? Jenderal ini, sukses menjadi Presiden 2 periode alias 10 tahun. Selama 10 tahun ia sukses meninabobokan rakyat dengan aneka subsidi dan tak punya nyali mencabutnya. Lalu ia tambah ninabobo dengan lagu-lagunya yang PHP. Tetapi infrastruktur nihil, radikalisme tumbuh senyap-sunyi dan siap meletus dahsyat.
Namun  itu bukan lelucon. Leluconnya adalah ketika sang jenderal gagal membumi pasca lengser. Ia menganggap diri masih menjadi Presiden, terus menasehati Presiden ‘Ndeso’ lewat twitter. Padahal dulu ia tidak berbuat banyak. Lengser dari kursi empuk di istana memang mengharukan. Menerima keadaan pensiun dari kekuasaan adalah hal yang menyakitkan. Anak pun jadi korban ambisi, dicoba diorbitkan, namun gagal total.
Maka sang jenderal yang gagal membumi, membuat lelucon seusai bertemu dengan jenderal yang gagal bermimpi. Kekuasaan Presiden ‘Ndeso’ sudah absolut. Sudah abuse of power. Begitu komentar nyinyirnya. Dimana absolutnya? Tangkisan Sang Presiden ‘Ndeso’ telak dan menusuk jantung sang jenderal.
Di era smartphone ini, kecuali kalau masih menggunakan Nokia yang mudah disadap Australia itu, tak ada lagi kekuasaan yang absolut. Alasanannya karena ada selalu pers yang mengawal. Ada rakyat, ada DPR, ada penegak hukum yang selalu mengawasi. Jadi kalau Sang Presiden ‘Ndeso’ berkuasa absolut, itu lelucon dari sang jenderal yang gagal membumi. Itu nalar yang sudah bengkok. Itu itulah lelucon.
Lalu mengapa dua jenderal nalarnya menjadi bengkok?
Bagi sang jenderal yang gagal bermimpi, naiknya sang Presiden ‘Ndeso’ sangat menyakitkan. ‘Ndeso’ yang baru satu kali nyalon, langsung menjadi Presiden. Itu tidak mungkin, itu tidak mungkin. Oh tidak mungkin. Kata-kata itu terus mengingang-ngiang, mendengung-ndengung dan mengaum-ngaum di telinga, di mata, dan di seluruh panca indera. Lalu dunia berkunang-kunang, langit berputar-putar dan nalar menjadi bengkok. Parliamentary threshold 20% lelucon. Begitu katanya. Lelucon.
Bagi sang jenderal yang gagal membumi, ketegasan dan keberanian sang Presiden Ndeso, sangat mengusik. KMP, Petral dibubarkan dan PSSI dibekukan. Lalu kapal asing ditenggelamkan. Papua dibangun besar-besaran. Perbatasan dimegahkan, jalan tol, kereta api dan banyak lagi dibangun besar-besaran. Busyet. Baru satu tahun, si ‘Ndeso’ kalahkan gua yang sepuluh tahun berkuasa. Itu pun gua masih mangkrak di Hambalang. Ternyata nyali sang Presiden ‘Ndeso’ sungguh membelakkan mata,  ketika HTI dibubarkan.
Sang jenderal, mantan Presiden, yang gagal membumi tak tahan. Skak-skak mat Sang Presiden ‘Ndeso’ sungguh menusuk dan menyayat ulu hati. Sang Jenderal terpaksa cari kawan. Musuh bebuyutan terpaksa dirangkul. Ego dan rasa malu keduanya terkikis karena dirasuki oleh kepentingan abadi. Keduanya tak tahan terusik. Jenderal yang satu terus, terus dan terus kebelet ingin mencicipi rasa manisnya kursi Presiden. Sedangkan jenderal yang lainnya tak tahan melihat sepak terjang spektakuler sang Presiden Ndeso. Ia ingin menghentikan dan menjegalnya. Lalu keduanya berangkulan untuk memanasi demo 287, tetapi gagal.
Itu kisah kedua jenderal. Bagaimana kisah sang pelengser Gusdur, sesepuh si Amin Rais, sosok yang tak bisa menepati janji, jalan kaki dari Yogyakarta-Jakarta dan Jakarta-Yogyakarta? Katanya, sang sesepuh yang nalarnya terus turun karena digerogoti oleh rasa benci yang amat sangat,  mau memimpin demo di Istana, di MK entah di mana lagi. Namun hari ini saat demo 287, sisesepuh tak nongol. Alasan, kesehatan. Tetapi itu mungkin hanya alibi.
Ketika anggota demo tak sesuai harapan dan gagal memancing 7 jutaan massa, maka hasilnya pun gagal. Jumlah yang jauh dari 7 jutaan itu sudah terlihat saat salat di Istiglal. Akibatnya sang sesepuh pun mundur teratur dan tidak lagi mau memimpin demo di MK apalagi di istana. Wibawanya di atas mobil komando akan hambar jika anggota demo tinggal seupil. Sangat berbeda halnya jika anggota demo berjibun seperti demo 212 yang lalu. Itu alasan yang pertama. Alasan kedua, rupanya sisesepuh baru sadar jika ia tidak didukung oleh MUI dan ketakutan jika kelak ia dicap sebagai pendukung berat HTI. Atau mungkin alasan ketiga, ia sudah paham bahwa demonya tak karuan, ngawur-ngawuran, gagal alias lelucon.
Nah itu kisah sisesepuh yang gagal pimpin demo. Si sesepuh terlihat terus gagal menarik perhatian Sang Presiden ‘Ndeso’. Bahkan Si Presiden ‘Ndeso’ tak melirih sedikitpun kepada sisesepuh, mendengar ocehannya, apalagi takut. Malah si Presiden ‘Ndeso’ sekarang semakin menakutkan karena ia telah membunyikan genderang perang untuk menggebuk mereka-mereka yang menghasut, memfitnah, mengganti Pancasila dan memproklamasikan negara khilafah. Begitulah kura-kura.
Salam Seword, Asaaro Lahagu

0 komentar:

Posting Komentar