Cari Blog Ini

Rabu, 26 Juli 2017

Ternyata Begini Cerita Percakapan Teroris di Telegram


Pemerintah saat ini menutup aplikasi Telegram meski baru sebatas yang di web saja. Namun banyak orang yang ramai membicarakannya padahal menurut data pengguna Telegram di Indonesia masih sedikit. Lalu bagaimana cerita mengenai percakapan di grup teroris pada aplikasi Telegram?
berdasarkan peneliti Nava Nuraniyah dari Institute for the Policy Analysis of Conflict (IPAC)—organisasi yang intens meneliti ekstremisme dan terorisme, sebelumnya para teroris menggunakan WhatsApp untuk berkomunikasi. Namun karena WhatsApp bisa disadap oleh Polisi maka mereka pindah menggunakan aplikasi Telegram yang lebih aman.
Menurut Nava ia pernah mencoba menyusup ke dalam grup teroris di Telegram. Karena Telegram bisa menampung 10 ribu anggota maka percakapan menjadi ramai. Ada grup besar dan grup kecil. Grup-grup besar biasanya digunakan untuk propaganda. (nasional.tempo.co)
Di grup Telegram, kata Nava, Bachrun Naim, dedengkot teroris jaringan ISIS, biasanya mempublikasikan tanya-jawab hasil konsultasi orang-orang dengannya yang memakai jalur pribadi. “Misalnya, ada yang gagal membuat bom, lalu berdiskusi dengan Bachrun, percakapan itu ia teruskan ke grup,” ujarnya.
Grup yang diikuti Nava Nuraniyah dua kali dibekukan Telegram. Namun, ketika satu grup dibekukan, para teroris itu membuat grup lain. Mereka pun meneruskan percakapan di sana. Menurut Nava, kemudahan membentuk grup di Telegram membuat pembekuan tak menghentikan percakapan para teroris, seperti pembekuan situs-situs radikal.
Kementerian Komunikasi pernah memblokir 22 situs yang dianggap menyebarkan paham radikal yang berbahaya, salah satunya Arrahmah.com. Namun saat ini situs itu ternyata beroperasi lagi. Bahkan, di versi telepon selulernya, ada banner yang mengajak bergabung dengan channel aplikasi Telegram mereka. Ketika diklik, kita akan langsung tergabung di saluran itu. “Kami akan cek lagi,” kata Semuel.
Ternyata penggunaan Telegram oleh ISIS sudah ramai dikabarkan oleh media-media asing.
Teroris ISIS menggunakan kanal-kanal pada aplikasi Telegram untuk memperlihatkan pembantaian yang mereka lakukan dan untuk memberik instruksi pada pengikutnya bagaimana cara menyerang Amerika dengan senjata kimia. (washingtontimes.com)
Pengikut ISIS yang melakukan serang di Paris tahun 2015 menggunakan Telegram untuk menyebarkan propagandanya. ISIS juga menggunakan aplikasi tersebut utnuk merekrut pelaku penyerangan sebuah pasar saat Natal di Berlin tahun lalu dan juga mengklaim pembantaian tersebut. Akhir-akhir ini aparat di Turki menemukan bahwa pelaku penembakan saat tahun baru di Reina sebuah klub malam di Istanbul, menggunakan Telegram untuk menerima arahan dari pemimpin ISIS di Raqqa. (vox.com)

ISIS-associated channels on Telegram. Screenshot / Courtesy of Ahmet S. Yayla
Pengguna di Telegram dapat berkomunikasi dalam kanal, grup, pesan pribadi, atau obrolan rahasia. Sementara kanal terbuka bagi siapa saja untuk bergabung (dan karenanya digunakan oleh kelompok teroris untuk menyebarkan propaganda), Terdapat juga chat rahasia yang hampir tidak mungkin dipecahkan karena dilindungi oleh bentuk enkripsi yang canggih.
Kombinasi dari fungsi yang berbeda dalam satu platform yang membuat kelompok seperti ISIS menggunakan Telegram sebagai “pusat komando dan kontrol,” kata Parker seorang peneliti senior di TAPSTRI, kelompok peneliti teroris. “Mereka berkumpul di Telegram, lalu mereka kirim ke berbagai platform. Informasi dimulai di Telegram, lalu menyebar ke Twitter, Facebook. ”
Telegram mengintegrasikan beberapa fungsi penting ke dalam satu platform yang menarik bagi kelompok seperti ISIS, ujar Parker. Tapi bukan fungsi tersebut yang diperhatikan oleh pemerintah. Pemerintah cenderung lebih memperhatikan satu fungsi Telegram yaitu fungsi chat rahasianya.
Chat rahasia dilindungi oleh enkripsi end-to-end. Cara kerjanya adalah setiap pengguna diberi kunci digital yang unik saat mereka mengirim pesan. Untuk mengakses pesan itu, penerima harus memiliki kunci yang sesuai dengan pengirimnya secara tepat, sehingga pesan dari salah satu pengguna hanya dapat dibaca oleh penerima yang dimaksud. Hal ini membuat hampir tidak mungkin bagi perantara seperti polisi atau badan intelijen untuk mengakses arus informasi antara pengirim dan penerima.
Bahkan jika polisi dapat mengidentifikasi siapa yang berbicara kepada siapa, dan dari mana, mereka tidak memiliki cara untuk mengetahui apa yang mereka katakan satu sama lain. Sebenarnya, karena enkripsi terjadi secara langsung di antara kedua pengguna, bahkan Telegram sendiri tidak memiliki cara untuk mengetahui apa yang ada dalam pesan ini.
Telegram bukan satu-satunya aplikasi perpesanan yang menggunakan enkripsi end-to-end (yang lain termasuk WhatsApp dan Viber), namun aplikasi Telegram sangat berkomitmen untuk melindungi privasi sehingga ia selangkah lebih maju dengan fungsi yang canggih seperti penghitung waktu penghancur diri. Sebelum pengguna mengirim pesan ke chat rahasia, mereka dapat memilih untuk mengatur penghitung waktu sendiri di dalamnya, yang berarti bahwa beberapa saat setelah pesan telah dibaca, secara otomatis dan permanen menghilang dari kedua perangkat.
Jadi memang sudah cukup lama Telegram ini diketahui digunakan oleh teroris untuk berkomunikasi karena memiliki berbagai kelebihan. Terutama fungsi chat rahasia-nya yang bisa diatur untuk hilang dari perangkat penerima dan pengirim, semacam self destruct timer. Ini tentu menyulitkan pihak pasukan anti teror untuk melakukan antisipasi serangan teroris.
Santai saja, masih banyak aplikasi chat lainnya.
Begitulah kelelawar.

0 komentar:

Posting Komentar