Cari Blog Ini

Minggu, 23 Juli 2017

HTI pun Butuh Pertolongan


Motivasi penulis menyajikan opini ini adalah mendulang diskusi terhadap nurani terdalam kita sebagai manusia. Jika kita percaya Tuhan hidup dalam sanubari, maka kita pasti mengerti bahwa manusia adalah ciptaanNya yang amat Ia kasihi. Manusia di sini termasuk manusia anggota HTI yang secara kelembagaan sudah tidak diakui di Indonesia dan anggota-anggotanya sedang bingung mau kemana, dengan siapa dan tak tahu berbuat apa.
Penulis menyadari bahwa di dunia ini, satu hal yang amat dibutuhkan oleh manusia adalah pertolongan. Anda, saya si minoritas yang bukan muslim, anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), anggota FPI, Fadli Zon, Fahri Hamzah, Prabowo, semua manusia tanpa kecuali membutuhkan pertolongan. Tingkat keberhasilan atau kegagalan relasi manusia dengan penolong-penolongnya lah yang kemudian membentuk pribadi manusia menjadi beriman atau tidak beriman, orang kaya atau miskin, orang yang semakin kuat atau orang yang semakin lemah, orang sehat atau orang sakit, orang untung atau orang malang.
Dibanding dengan makhluk lain, sejak dilahirkan, semua manusia termasuk para anggota HTI, adalah makhluk yang sangat tergantung dengan makhluk-makhluk lainnya dan sulit untuk mandiri. Manusia membutuhkan rata-rata satu tahun untuk mampu berjalan, 5 tahun untuk mulai mengaktifkan syaraf motoriknya yang kompleks, 17 tahun untuk dewasa, seumur hidup untuk mencari identitas diri. Bandingkan dengan anak ayam yang membutuhkan 2 minggu untuk mulai mencari makan sendiri, anak kambing yang membutuhkan 3 hari untuk berdiri, anak kuda yang membutuhkan 1 jam untuk berdiri setelah dilahirkan. Secara kodrati, manusia adalah makhluk yang sangat membutuhkan pertolongan.
Meski di lain pihak, seperti halnya makhluk predator lainnya, manusia mempunyai kemampuan untuk mengkhianati atau bahkan membunuh penolongnya. Manusia-manusia anggota HTI jelas membutuhkan bangsa Indonesia sebagai inang untuk berkembang dan mengasah hidup beriman mereka. Apabila ternyata memang mereka berencana “menikam” kemerdekaan bangsa Indonesia dengan paham “khilafah” yang belum jelas strukturnya, maka ya… begitulah predator adanya. Tidak usah heran.
Pertolongan kepada manusia bisa didapatkan dari pihak lain. Dalam praktek hidupnya manusia mengalami bahwa ada peristiwa alamiah yang tidak mampu diatasi sendiri. Maka pertanyaan dasariah manusia adalah, siapakah “Sang Penolong” yang mampu menolong manusia secara tak terbatas?
Beberapa manusia secara spontan dan intuitif meletakkan jawabannya tersebut pada “sang harta yang maha kuasa” yang sebanyak-banyaknya. Maka tidak heran beberapa pribadi menjadi pelacur demi harta, menjadi budak demi materi, menjadi setan di DPR demi uang, menjadi pengkhianat agama demi fulus. Bagi mereka, uang adalah penolong yang sebenarnya. Mungkin, mereka tidak mempunyai pilihan lain karena terlilit hutang atau trauma terhadap kemiskinan akut atau memang kecanduan duit.
Beberapa manusia yang lain percaya bahwa pertolongan sejati itu berasal dari seorang kawan. Pertolongan hanya bisa didapat dari lingkungan persahabatan. Istilah “kawan sejati” menjadi populer secara ilmiah setelah pada tahun 1839 Auguste Comte membahas tentang sosiologi dalam bukunya, “A Course of Positive Philosophy”. Comte menyatakan bahwa solusi dari krisis kemanusiaan adalah socius yang berarti kawan. Dilatarbelakangi krisis sosial Revolusi Prancis pada zaman itu, Comte menyatakan bahwa manusia lebih membutuhkan kawan daripada lawan untuk berkembang.
Beberapa manusia lain percaya, bahwa pertolongan yang terbaik hanya datang dari diri sendiri yang menguat. Oleh karena itu, penolong terbaik datang dari “lawan”. Manusia sesungguhnya tidak bisa mengandalkan pertolongan dari pihak lain, karena bisa saja pihak lain yang mau menolong adalah “penikam dari belakang” atau serigala-serigala berwajah tulus. Teori Descartes rupanya memandang “lawan”, apapun bentuknya, sebagai sesuatu yang diperlukan bagi manusia untuk berinteraksi dengan dunianya. Manusia harus menaklukkan kesulitan-kesulitan hidupnya melalui proses berpikir (cogito ergo sum). Dalam proses pemikiran untuk menemukan solusi, lawan diperlukan sebagai suatu kondisi yang membuat manusia serius menyingkirkan penghalang demi hidup yang lebih baik.
Beberapa manusia lain akan sepakat bahwa pertolongan sejati datang dari “Tuhan”. Jauh di lubuk hatinya manusia mempunyai hasrat “religiusitas”. Religiusitas sendiri berasal dari bahasa Latin “religare” yang artinya mengikat. Konteks religare dalam arti rohani berarti manusia merindukan ikatan terhadap Tuhan.
Ikatan manusia dengan Tuhan ini biasanya didapat melalui agama-agama. Masing-masing agama meminta penganutnya untuk mempertanggungjawabkan cara hidup mereka dan aturan “ikatan dengan Tuhan”. Pada umumnya ada tiga hal yang diukur. Tiga hal itu adalah: cara masing-masing penganut berelasi dengan Tuhan, berelasi dengan sesama manusia, dan berelasi dengan lingkungan semesta.
Semakin erat relasi mereka, agama akan menilai mereka sebagai kaum beriman, semakin renggang relasi mereka, agama akan menilai mereka semakin kurang beriman. Itu adalah grand theory religiusitas dalam agama-agama yang percaya bahwa pertolongan sejati datang dari Tuhan.
Penulis sendiri belum memahami para manusia anggota HTI mau hidup bagaimana setelah organisasi mereka dibubarkan. Apakah mereka mencari pertolongan dengan menganggap Pancasila sebagai “kawan” atau malah menganggap Pancasila sebagai “lawan”. Apakah para manusia anggota HTI mencari “Tuhan” dengan cara menjalin persahabatan terhadap NU misalnya, atau malah menjalin pertemanan dengan “sang uang mahakuasa” yang berasal dari partai “bumi datar” dengan semua ambisi duniawinya?
Penulis hanya mengingatkan bahwa Tuhan penyayang umatnya. HTI perlu dibubarkan secara legal, tetapi janganlah anggota-anggotanya disiksa dengan keji. Mereka toh tidak lebih dari pribadi-pribadi yang belajar dewasa. Jangan kita samakan Hizbut Tahrir yang baru berdiri tahun 1953 di jazirah Arab itu dengan Islam Nusantara seperti NU yang berdiri tahun 1926 dengan banyak penganut di pesantren-pesantren akar rumput maupun Muhammadiyah (minus Amien Rais) yang berdiri tahun 1912 dengan banyak sekolah serta rumah sakit yang mereka dirikan. Perbandingan Islam garis keras dengan Islam nusantara jelas “jauh panggang dari api”.
Sebagai penutup, penulis kembali mengingatkan agar para anggota “bumi bulat” bersikap adil terhadap semua kaum. Janganlah kebencian menutup rasa keadilan. Sudah cukup berbagai perang saudara di Indonesia mulai peristiwa tuding-tudingan PKI (1965; 1,5 juta jiwa terbunuh), Aceh pra DOM (1976-1989; ribuan terbunuh), Papua (1966-2007; TNI vs OPM dengan ribuan orang terbunuh), tragedi Trisakti, Mei 98 serta Semanggi (1998, 1700 orang terbunuh), perang Sampit, perang Poso dan berbagai perang saudara lainnya.
Demi Tuhan yang hidup dalam hati kita masing-masing, jangan hanya karena Islam garis keras yang masih belajar kehidupan, kita terprovokasi kebencian. Salam persaudaraan. Salam seword.

0 komentar:

Posting Komentar