Beberapa tahun ini, aksi terorisme semakin marak terjadi di negara kita, baik di kota besar maupun di kota kecil sekalipun. Terakhir, aksi terorisme terjadi di Terminal Kampung Melayu. Menurut berbagai sumber, teroris bermotif bom bunuh diri itu menyerang massa dan petugas keamanan. Akibatnya, 5 orang tewas dan 10 lainnya luka-luka.
Padahal, terorisme dalam perspektif agama apapun tidak bisa dibenarkan. Karena hakikat agama pada dasarnya adalah mengajarkan kebaikan dan membimbing menuju kedamaian. Oleh karena itu, terorisme adalah musuh agama yang harus diperangi. Terorisme adalah manifestasi dari penistaan ajaran agama. Meskipun mereka beraksi dengan memakai aksesoris suatu agama serta atas nama agama. Mereka tidak lain adalah orang-orang yang hanya akan membawa kehancuran bagi agamanya dan umat manusia.
Jika dicermati, saat ini tidak ada lini yang benar-benar steril dari sasaran ajaran terorisme. Begitu juga dengan kampus, mahasiswa dengan karakteristik semangat yang tinggi dan memasuki masa pencarian jati diri acap kali terjerumus pada paham radikal yang akhirnya menyeret ke jurang terorisme. Beberapa kasus membuktikan para pelaku terorisme berstatus sebagai mahasiswa, misalnya pelaku berinisial KF yang merupakan jaringan kelompok Bekasi merupakan mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Solo, Jawa Tengah.
Kampus dinilai sebagai tempat paling mudah dimasukan gerakan radikal. Bahkan ditengarai ada beberapa kampus di Indonesia yang sudah disusupi kelompok tersebut dan menularkan ajarannya. Atas dasar itu mahasiswa dan generasi muda Indonesia wajib memiliki pertahanan diri dalam menghadapi serangan paham radikal terorisme.
Banyak hal yang bisa menjadi penyebab mahasiswa terjerumus, salah satunya karena minimnya pendidikan terkait bahaya radikalisme dan terorisme. Oleh karena itu, pihak kampus harus melakukan antisipasi dengan cara membekali mahasiswanya dengan pendidikan anti radikalisme dan anti terorisme.
Dalam banyak kasus, pegiat paham radikal membidik mahasiswa yang polos dan tidak memiliki latar belakang keagamaan kuat. Kepolosan mahasiswa ini dimanfaatkan oleh pengusung paham radikal dengan memberikan doktrinasi keagamaan yang monolitik, kaku, dan jauh dari kontekstualisasi. Pada proses inilah paham radikal dan paham teroris ditanamkan dan disebarluaskan melalui sistem kaderisasi yang ketat dan cenderung tertutup.
Dari gambaran proses kaderisasi yang dilakukan oleh kelompok radikal tersebut, bisa diambil kesimpulan. Pertama, mahasiswa yang tidak memiliki latar belakang keagamaan yang kuat justru memiliki semangat belajar keagamaan yang cukup tinggi. Ironisnya, semangat tersebut justru diendus oleh kelompok radikal, sehingga mahasiswa mudah terdoktrinasi dan terjebak dalam ajaran radikal. Kedua, pola tertutup dalam kaderisasi paham radikal menjadi titik penting proses doktrinasi paham radikal itu sendiri, di mana semakin eksklusif suatu perkaderan maka semakin tidak terbendung.
Oleh karena itu, upaya efektif untuk mencegah kampus dari radikalisasi adalah dengan melakukan strategi yang berlawan dari dua kesimpulan di atas. Pertama, kampus harus memberikan fasilitas belajar keagamaan yang proporsional kepada mahasiswa, terutama untuk menampung mereka yang memiliki semangat belajar agama cukup tinggi, sekalipun tidak memiliki latar belakang keagamaan yang kuat. Sehingga mereka tidak belajar agama kepada kelompok radikal dan eksklusif yang berbahaya.
Kedua, kampus secara berkala harus mengupayakan penyebaran ajaran keagamaan dengan suasana terbuka dan menekankan moderatisme. Selain mampu membendung radikalisasi dan mencegah bibit teroris, kedua upaya itu bisa menjadi strategi jitu untuk membangun moralitas mahasiswa yang seimbang dengan keunggulannya secara akademik.
Selain hal di atas, Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Prof Dr KH Mustofa Ya’kub sebagaimana dilansir uinsby.ac.id, mengungkapkan ada dua cara yang dapat dilakukan dalam upaya mencegah terorisme di kampus. Pertama, kontra radikalisasi, yakni melakukan internalisasi nilai-nilai ke-Indonesiaan dan nilai non kekerasan. Langkah ini dapat dilakukan melalui pendidikan formal dan informal. Kontra radikalisasi diarahkan pada pendukung, simpatisan dan masyarakat umum melalui kerjasama dengan tokoh agama, tokoh adat, tokoh pemuda dan pihak lain. Di kampus, kontra radikalisasi bisa dilakukan dengan menyelenggarakan seminar dan diskusi publik dengan tema anti radikalisme dan anti terorisme.
Kedua, yaitu deradikalisasi yang ditujukan pada kelompok inti dan militan baik yang telah terjaring petugas maupun yang masih berkeliaran. Tujuannya agar kelompok ini meninggalkan metode-metode kekerasan dan kembali pada semangat agama moderat. Bagi mahasiswa, Ia mengimbau dalam memahami agama tidak diperkenankan belajar secara parsial namun harus menyeluruh.
Sudah saatnya kampus menjadi garda terdepan membendung dan melawan terorisme yang sudah menjadi musuh nyata bagi negara kita. Yang lebih penting, terorisme tidak cukup dicegah dan dilawan hanya dengan acara seminar dan unjuk rasa saja, namun perlu dilakukan upaya integrasi dan internalisasi yang sistematis dan terstruktur dalam kurikulum dan mata kuliah di perguruan tinggi.
#lawan terorisme
#kami tidak takut