Cari Blog Ini

Sabtu, 27 Mei 2017

MEMBANGUN KERUKUNAN BERAGAMA DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI

Indonesia adalah termasuk negara yang penduduknya majemuk dalam suku, adat, budaya dan agama. Kemajemukan dalam hal agama terjadi karena masuknya agama-agama besar ke Indonesia. Perkembangan agama-agama tersebut telah menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang beragama, dimana kehidupan keagamaan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. Suatu bukti dalam hal ini dapat dilihat dalam kenyataan bahwa sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari belenggu penjajah, sangat dipengaruhi antara lain oleh motivasi agama. Selain itu inspirasi dan aspirasi keagamaan tercermin dalam rumusan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Proses penyebaran dan perkembangan agama-agama di Indonesia berlangsung dalam suatu rentangan waktu yang cukup panjang sehingga terjadi pertemuan antara yang satu dengan yang lainnya.  Dalam pertemuan agama-agama tersebut timbullah potensi integrasi dan potensi kompetisi tidak sehat yang dapat mengakibatkan disintegrasi. Potensi integrasi diartikan sebagai suasana keharmonisan hubungan dalam dinamika pergaulan terutama intern umat beragama dan antar umat beragama. Potensi integrasi tersebut tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia sebagaimana tercermin dalam suasana hidup kekeluargaan, hidup bertetangga baik dan gotong royong. Hal ini dapat dilihat dari hubungan harmonis dalam kehidupan beragama seperti saling hormat menghormati, kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya, saling bersikap toleransi, sehingga dalam sejarah bangsa Indonesia tidak pernah terjadi perang antar penganut agama. Hubungan kerjasama antar pemeluk agama terlihat dalam kehidupan sehari-hari, seperti saling tolong-menolong dalam pembangunan tempat ibadah dan dalam membangun bangsa dan negara. Potensi kompetisi berarti suasana saling persaingan dalam dinamika pergaulan, baik intern umat beragama maupun antar umat beragama. Kompetisi ini dapat berjalan secara baik atau dalam suasana damai, dan dapat pula terjadi dalam berbagai bentuk pertentangan, benturan atau friksi. Dalam sejarah kehidupan keagamaan di Indonesia diakui pernah terjadi ketegangan atau friksi, namun masih dalam batas-batas kewajaran sebagai suatu dinamika dalam hubungan pergaulan atau interaksi antar umat beragama.
Salah satu penyebab terjadinya ketegangan atau konflik dalam kehidupan beragama adalah akibat politik pecah belah (devide et impera) penjajah. Dalam usaha politik tersebut pihak penjajah sering memanfaatkan perbedaan agama atau paham agama untuk menumbuhkan atau mempertajam konflik-konflik di kalangan bangsa Indonesia yang sedang berjuang menentang pemerintahan kolonial.
Suasana ketegangan dan pertentangan dalam kehidupan beragama yang akarnya telah ditanamkan oleh penjajah terbawa pula ke dalam alam kemerdekaan. Gejala-gejala terjadinya perselisihan antar umat beragama muncul ke permukaan sekitar akhir tahun 1960 an. Di antaranya adalah kasus perusakan tempat-tempat ibadah dan cara-cara penyiaran agama kepada orang yang telah memeluk suatu agama. Kompetisi tidak sehat yang berakibat disintegrasi dan perselisihan cenderung nampak berjalan terus, sekalipun benturan fisik tidak pernah terjadi.
Kata kerukunan dari kata rukun berasal dari bahasa Arab, ruknun (rukun) jamaknya akan berarti asas atau dasar, misalnya rukun Islam, asas Islam atau dasar agama Islam. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti rukun adalah sebagai berikut :
Rukun (n-nomina) : (1) sesuatu yang harus dipenuhi untuk sahnya pekerjaan, seperti : tidak sah sembahyang yang tidak cukup syarat dan rukunnya; (2) asas, berarti : dasar, sendi : semuanya terlaksana dengan baik, tidak menyimpang dari rukunnya; rukun Islam : tiang utama dalam agama Islam, rukun iman : dasar kepercayaan dalam agama Islam: Rukun (a-ajektiva) berarti (1) baik dan damai.tidak bertentangan : kita hendaknya hidup rukun dengan tetangga; (2) bersatu hati, bersepakat : penduduk kampung itu rukun sekali. Merukunkan berarti : (1) mendamaikan; (2) menjadikan bersatu hati. Kerukunan (1) perihal hidup rukun; (2) rasa rukun; kesepakatan : kerukunan hidup bersama. Kata rukun (n) berarti perkumpulan yang berdasar tolong-menolong dan persahabatan; rukun tani : perkumpulan kaum tani; rukun tetangga; perkumpulan antara orang-orang yang bertetangga; rukun warga atau rukun kampung perkumpulan antara kampong-kampung yang berdekatan (bertetangga, dalam suatu kelurahan atau desa).
Jadi Kerukunan Hidup Umat Beragama, berarti perihal hidup rukun yaitu hidup dalam suasana baik dan damai, tidak bertengkar; bersatu hati dan bersepakat antar umat yang berbeda-beda agamanya; atau antara umat dalam satu agama. Dalam terminologi yang digunakan oleh Pemerintah secara resmi, konsep kerukunan hidup beragama mencakup 3 kerukunan.yaitu : kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar umat yang berbeda-beda agama, dan kerukunan antara (pemuka) umat beragama dengan Pemerintah. Tiga kerukunan tersebut biasa disebut dengan istilah “Tri Kerukunan “.
Upaya mewujudkan kerukunan hidup beragama tidak terlepas dari faktor penghambat dan penunjang. Faktor penghambat kerukunan hidup beragama selain warisan politik penjajah juga fanatisme dangkal, sikap kurang bersahabat, cara-cara agresif dalam dakwah agama yang ditujukan kepada orang yang telah beragama, pendirian tempat ibadah tanpa mengindahkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan pengaburan nilai-nilai ajaran agama antara suatu agama dengan agama lain; juga karena munculnya berbagai sekte dan faham keagamaan kurangnya memahami ajaran agama dan peraturan Pemerintah dalam hal kehidupan beragama.
Faktor-faktor pendukung dalam upaya kerukunan hidup beragama antara lain adanya sifat bangsa Indonesia yang religius, adanya nilai-nilai luhur budaya yang telah berakar dalam masyarakat seperti gotong royong, saling hormat menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya, kerjasama di kalangan intern umat beragama, antar umat beragama dan antara umat beragama dengan Pemerintah.
Pada zaman kemerdekaan dan pembangunan sekarang ini, faktor-faktor pendukung adalah adanya konsensus-konsensus nasional yang sangat berfungsi dalam pembinaan kerukunan hidup beragama, yakni Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di bidang atau yang berkaitan dengan kerukunan hidup beragama.
Dari segi Pemerintah, upaya pembinaan kerukunan hidup beragama telah dimulai sejak tahun 1965, dengan ditetapkannya Penpres Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Pe-nyalahgunaan  atau Penodaan Agama yang kemudian dikukuhkan menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969. Pada zamam pemerintahan Orde Baru, Pemerintah senantiasa memprakarsai berbagai kegiatan guna mengatasi ketegangan dalam kehidupan beragama, agar kerukunan hidup beragama selalu dapat tercipta, demi persatuan dan kesatuan bangsa serta pembangunan. Pada tanggal 30 Nopember  1967 Pemerintah menyelenggarakan suatu Musyawarah Antar Agama di Jakarta, dengan tujuan untuk menyepakati adanya Piagam tentang penyebaran agama serta upaya untuk membentuk Badan Konsultasi Agama. Karena suasana pada waktu itu belum mendukung, maka tujuan Musyawarah ini tidak tercapai. Walaupun tidak menghasilkan sesuatu sebagaimana diharapkan, namun peristiwa itu sendiri merupakan titik awal bagi upaya peningkatan kerukunan hidup beragama yang lebih intensif. Upaya tersebut ditandai dengan munculnya usaha konsolidasi intern dari masing-masing agama yang pada akhirnya mendorong terbentuknya majelis-majelis agama.
Dalam memantapkan kerukunan hidup umat beragama perlu dilakukan suatu upaya-upaya yang mendorong terjadinya kerukunan hidup umat beragama secara mantap dalam bentuk:
1.   Memperkuat dasar-dasar kerukunan internal dan antar umat beragama, serta antar umat beragama dengan pemerintah.
2.   Membangun harmoni sosial dan persatuan nasional dalam bentuk upaya mendorong dan mengarahkan seluruh umat beragama untuk hidup rukun dalam bingkai teologi dan implementasi dalam menciptakan kebersamaan dan sikap toleransi.
3.   Menciptakan suasana kehidupan beragama yang kondusif dalam rangka memantapkan pendalaman dan penghayatan agama serta pengamalan agama yang mendukung bagi pembinaan kerukunan hidup intern dan antar umat beragama.
4.   Melakukan eksplorasi secara luas tentang pentingnya nilai-nilai kemanusiaan dari seluruh keyakinan plural umat manusia yang fungsinya dijadikan sebagai pedoman bersama dalam melaksanakan prinsip-prinsip berpolitik dan berinteraksi sosial satu sama lainnya dengan memperlihatkan adanya sikap keteladanan.

Dari sisi ini maka kita dapat mengambil hikmahnya bahwa nilai-nilai kemanusiaan itu selalu tidak formal akan mengantarkan nilai pluralitas kearah upaya selektifitas kualitas moral seseorang dalam komunitas masyarakat mulya (Makromah), yakni komunitas warganya memiliki kualitas ketaqwaan dan nilai-nilai solidaritas sosial.
 

0 komentar:

Posting Komentar