Cari Blog Ini

Info-bendera-putih

Info-bendera-putih

Info-bendera-putih

Info-bendera-putih

Info-bendera-putih

Selasa, 31 Oktober 2017

Generasi Muda Melawan Radikalisme dan Terorisme

Hai Sobat Indonesia
Kita udah ada di jaman yang sangat maju loh, tapi kamu nggak mau kan negara kamu ini ketinggalan dari negara lain, ataupun terpuruk. Perubahan jaman yang akan menyebabkan 2 hal, antara perubahan jaman yang lebih baik atau perubahan jaman yang lebih buruk.
Yang paling bahaya sekarang merupakan Radikalisme dan Terorisme.
Generasi muda sekarang harus di bekali sesuatu hal yang bisa menghilangkan Radikalisme maupun Terorisme yang ada di Indonesia.
Radikalisme merupakan sebuah kelompok atau gerakan politik yang kendur dengan tujuan mencapai kemerdekaan atau pembaruan electoral yang mencakup mereka yang berusaha mencapai republikanisme, penghapusan gelar, redistribusi hak milik dan kebebasan pers, dan dihubungkan dengan perkembangan liberalisme.
Yang kita ketahui politik itu merupakan tangan kanan rakyat untuk menyampaikan keluh kesah rakyat kepada pemerintah. Sedangkan bagaimana jika politik itu sendiri lemah, kendur. Padahal kita ingin mencapai kemerdekaan maupun pembaruan electoral.
Kebebasan pers ada baiknya namun di sisi lain juga ada buruknya, bagaimana jika kebebasan pers itu di di salah gunakan seseorang yang tidak bertanggung jawab.
Belum lagi sekarang banyak nya terorisme di Indonesia, banyak nya korban jiwa akibat terorisme, yang akan membunuh penerus generasi – generasi muda Indonesia.
Terorisme itu sendiri merupakan kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana, yang jelas dimaksudkan untuk: a. mengintimidasi penduduk sipil. b. memengaruhi kebijakan pemerintah. c. memengaruhi penyelenggaraan negara dengan cara penculikan atau pembunuhan
Kita sebgai generasi muda, generasi penerus bangsa, hendaknya kita mengatsi Radikalisme dan Terorisme
Ini ada beberapa tips buat kamu yang tidak ingin menjadi radikalisme dan terorisme di Indonesia itu berkembang. Antara lain :
  1. Perkuat Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945 di dalam diri kamu
  2. Mencintai negeri kita, berkorban untuk negeri kita sebagai pelajar yang baik
  3. Belajar dengan tekun
  4. Bila ada upacara di sekolahmu ikutilah dengan baik
  5. Bila ada acara Bela Negara ikutilah, di situ kamu akan tahu perjuangan yang tidak mudah
  6. taati lah peraturan yang ada  di Indonesia ini.
  7. belajarlah tentang Indonesia, tentang sejarah maupun yang lainnya.

Radikalisme Ancaman Nyata Pemuda Tanah Air

Terorisme - Radikalisme
Aksi terorisme belakangan bukan saja terjadi di Timur Tengah, tapi kini merambah ke Tanah Air. Para teroris umumnya pernah belajar di Timur Tengah.
Dari peristiwa demi peristiwa terorisme juga dapat terlihat, para pelaku umumnya masih berusia muda atau bahkan kalangan remaja. Mulai dari bom Bali, bom Thamrin, bom Kampung Melayu, hingga bom Panci Bandung.

Karena itu, radikalisme kini menjadi ancaman nyata bagi generasi muda di Tanah Air. Pemerintah dan pihak-pihak terkait, kini lebih gencar mencegah radikalisme atau deradikalisasi, khususnya di kalangan remaja.
Direktur Wahid Institute Yenny Wahid mengatakan, usia muda termasuk masa rentan menjadi intoleran dan radikal. Karena mereka masuk dalam fase mencari jati diri atau identitas. Apalagi, generasi ini melihat adanya ketidakadilan di sekitar mereka.
"Akibatnya, mereka dengan mudah menerima gagasan-gagasan dan pemikiran radikal yang mereka peroleh dengan mudah, melalui tulisan di dunia maya maupun lisan yang disampaikan pemuka agama," ujar Yenny dalam diskusi bertema Radikalisme di Timur Tengah dan Pengaruhnya di Indonesia, yang diselenggarakan Forum Bela Negara Alumni UI (BARA UI), di Jakarta Selatan, Sabtu 22 Juli 2017.
Selain itu, lanjut dia, ada pemahaman tentang jihad yang keliru. Orang yang punya konsep pemahaman Islam yang literalis seperti mencuri potong tangan, berzinah dirajam dalam konteks modern seperti saat ini lebih mudah teradikalisasi.
"Kalau jihad mesti perang bukan menahan nafsu atau melawan diri sendiri, itu lebih mudah teradikalisasi. Itu faktor-faktor yang berperan," tegas putri Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ini.
Yenny mengatakan, Pancasila menjadi jawaban untuk mencegah radikalisasi menyusup ke generasi muda. Tidak hanya sila Ketuhanan Yang Maha Esa, jika sila ke-2 dan ke-5 diamalkan dan diwujudkan, ide mengenai negara khilafah atau ide-ide radikal lainnya tidak akan diterima masyarakat Indonesia.
"Ketika masih ada korupsi yang dilakukan pejabat-pejabat negara, ketika masyarakat miskin masih banyak, ini mudah sekali jadi ladang subur persemaian gagasan-gagasan radikalisme," tegas Yenny.
Dia beralasan, ada orang-orang yang mengatakan bahwa solusi dari ini semua adalah khilafah. Menurut Yenny, itu terlalu gampang, tapi tak bisa dibantah bahwa ada sebagian masyarakat yang tertarik dengan gagasan sederhana seperti itu, meski belum bisa dibuktikan efektifitasnya.
"Bukan cuma sila Ketuhanan yang Maha Esa. Sekarang kalau bicara Pancasila seolah-olah hanya Ketuhanan yang Maha Esa, tapi yang paling penting justru sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia," pungkas Yenny.
Perempuan bernama lengkap Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid itu mengatakan, agama dan nasionalisme adalah bagian dari sikap masyarakat sebagai umat beragama. Karena itu jangan dibenturkan antara keduanya.
"Jadi jangan cuma bicara sila Ketuhanan Yang Maha Esa, dan coba membenturkan antara agama dengan nasionalisme. Karena agama dan nasionalisme adalah bagian dari sikap kita sebagai umat beragama," Yenny menandaskan.
Pada kesempatan sama, Kepala Badan Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Suhardi Alius mengatakan, kelompok radikalis punya banyak taktik untuk mendoktrin kaum remaja dan masyarakat. Di sinilah pentingnya meredam radikalisme bagi mereka yang sudah menyadari kekeliruannya.
"Kemarin ada deklarasi Cinta Tanah Air dan sebagainya. Mereka berbalik, kurang lebih ada 37 mantan napi teroris yang sudah berbalik, dan sekarang mendirikan yayasan Lingkar Perdamaian. Ini termasuk contoh, menjadi embrio untuk menyebarkan paham-paham yang baik," kata dia.
Sementara data BNPT menyebutkan, pelaku teroris terbesar berpendidikan SMU yakni 63,3 persen, kemudian disusul perguruan tinggi 16,4 persen, SMP 10,9 persen, tidak lulus perguruan tinggi 5,5 persen, dan SD 3,6 persen.
Kemudian berdasarkan umur, pelaku teroris terbanyak usia 21-30 tahun yakni 47,3 persen, disusul usia 31-40 tahun 29,1 persen. Sedangkan, usia di atas 40 tahun dan di bawah 21 tahun masing-masing 11,8 persen.
Konflik di Timur Tengah
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) F Iriani Sophiaan mengatakan, keberlangsungan suatu negara dan bangsa sangat ditentukan oleh tekad persatuan dan kesatuan, serta sinergi yang positif di antara berbagai komponen bangsa untuk menjaganya.
Menurut dosen yang menjadi ketua BARA UI ini, pro dan kontra di antara pilar kebangsaan adalah hal biasa, yang harus dihargai sebagai dinamika yang melekat, dan merupakan keniscayaan yang tak mungkin dinegasikan.
"Kondisi pro kontra seharusnya menjadi penguat dan terus bergerak dalam mencapai kesejahteraan dan kemakmuran. Bukan sebaliknya untuk menghancurkan," kata Iriani, yang juga moderator diskusi publik ini.
Terkait perbedaan ini, Iriani menambahkan, Indonesia beruntung memiliki prasyarat yang terbingkai menjadi satu, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sementara, Dosen di King Fahd University Saudi Arabia Sumanto Al Qurtuby mengatakan, konflik Timur Tengah tidak terkait dengan Sunni dan Syiah, tapi karena lebih pada perebutan kekuasaan atau politik.
"Misal di Qatar di sana baik-baik saja. Di Bahrain juga," ujar Qurtubi dalam diskusi yang digelar Bara UI itu.
Karena itu, Qurtuby mengimbau masyarakat Indonesia agar tidak memaknai konflik Timur Tengah sebagai konflik agama.
"Indonesia jangan terpengaruh ke sana. Itu semata-mata karena politik," ucap dia.
Pria yang juga mengajar di Nasional University Singapura itu menyebutkan, di Timur Tengah kelompok Sunni dan Syiah hanya merupakan faksi.
Kedua kelompok ini, kata Qurtuby, tidak saling memerangi seperti yang selama ini dipersepsikan orang Indonesia. Yang ada, kata dia, keduanya berperang melawan kelompok radikal.

Radikalisme, Ekstirimisme dan Terorisme

Radikalisme, Ekstirimisme dan Terorisme
Radikalisme, Ekstirimisme dan Terorisme merupakan suatu kesatuan substansi yang menurut masyarakat luas berhubungan satu dengan yang lainnya. Bahkan ada beberapa kelompok social yang menunjukan bahwa tiga istilah ini merupakan hal yang bersifat negative dan layak untuk dihindari. Jika dilihat dari sisi definisi, ketiga terma ini sangatlah berbeda. Menurut kamus Oxford Living Dictionaries,
Radikalisme merupaan bentuk kepercayaan atau aksi dari sekelompok individu yang menyuarakan reformasi social atau politik kepada masyarakat; Ekstrimisme merupakan kepercayaan terhadap pandangan-pandangan/interpretasi ekstrem dari ajaran politik atau agama (fanatisme); sedangkan terorisme merupakan aksi indimidasi dan kekerasan secara illegal, terutama terhadap masyarakat sipil, dalam rangka memenuhi tujuan-tujuan politis.
ISIS (Islamic State of Iraq and Syria/Islamic State of Iraq and Levant/Daesh) merupakan salah satu kelompok teroris yang merumuskan ketiga terma tersebut dalam suatu organisasi yang mereka yakini sebagai pemahaman yang benar dalam pandangan ilmu agama Islam yang mereka telah salah menginterpretasikannya (menerjemahkan manuskrip Al-Qur’an dan Hadist secara Zahir dan tidak menggunakan metode Qiyas). Hasilnya adalah pandangan Jihad yang salah diartikan oleh kelompok ini. Sebelumnya, Al-Qaeda juga menyimpang dalam mengartikan dan memahami ideology Islam dan memproklamirkan diri sebagai Islam fundamentalis yaitu penganut ajaran Islam hingga ke akar. Hal ini kemudian dibesar-besarkan oleh beberapa media dan menimbulkan manufakturasi pikiran (manufacturing consent) mengenai grup terorisme yang condong kepada Islam konservatif dan memojokan pemeluk agama Islam padahal ada beberapa kelompok terorisme yang tidak membawa nama-nama agama dalam aski terorisme mereka.
Dari hasil diskusi yang dilakukan oleh Indonesia Berbicara, kami dapat menyimpulkan beberapa pertanyaan yang timbul dari tema ini:
  1. Jikalau aksi terorisme bisa berangkat dari latar belakang mana pun, maka apakah akar dan penyebab dari aksi terorisme itu sendiri?
Terorisme tidak selalu berakar dari radikalisme atau ekstrimisme. Tetapi ekstrimisme bisa menjadi awal motivasi untuk melakukan terorisme yang kemudian menstimulasi perilaku radikal terhadap suatu paham yang diyakini bisa mengubah suatu sistem yang selama ini dianggap telah gagal atau hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem tersebut. Namun, karena sila pertama dari Pancasila berhubungan dengan agama dan nilai-nilai beragama telah menjadi darah daging dalam berkehidupan berbangsa di negeri ini, ada beberapa orang atau organisasi yang akhirnya menggunakan terma agama untuk mensukseskan aksi terorisme yang dilatar belakangi oleh stigma ekstrimisme terhadap suatu ajaran tertentu.
Dengan kata lain, ketiga terma tersebut bersifat anti perbedaan yang sangat bertentangan dengan nilai utama keberagaman di Indonesia, yaitu berbeda-beda tetapi tetap satu. Agar bisa melaksanakan terorisme, beberapa kelompok radikal di gunakan dan diberikan pengertian atau edukasi yang salah terhadap sistem (pemerintahan) yang telah ada dan juga diberikan pemahaman yang salah terhadap agama yang dianutnya (karena agama memiliki pengaruh yang besar di Indonesia).
Tidak hanya itu, ketidaksiapan masyarakat Indonesia dalam globalisasi membuat masyarakat Indonesia tidak dapat menyaring setiap informasi yang diterima dan jika dikaitkan dengan rendahnya keinginan masyarakat Indonesia untuk membaca membuat Indonesia langsung menelan mentah-mentah setiap informasi yang belum tentu benar dalam hal isi informasi serta sumber informasi tersebut.
Kesenjangan social dan ekonomi juga bisa memicu adanya aksi-aksi terror di Indonesia dan bisa membuat aksi-aksi terorisme menjadi lebih kompleks dan menjadi bagian dari kehidupan berbangsa. Dari kesenjangan social ekonomi tersebut munculah rasa heroistik untuk menyelamatkan orang-orang yang dianggap senasib dengan orang tersebut. Dari latar belakang tersebut, orang-orang yang dituju kemudian diradikalisasi dengan penanaman doktrin-doktrin dasar dari sebuah pemahaman atau ideology. Kemudian pemikiran yang sudah dibangun dikorelasikan dengan pemikiran kelompok yang menyebabkan kebencian atau proses ekstrimisasi. Setelah itu muncullah rasa heroic yang akhirnya menimbulkan pergerakan aksi yang tidak sesuai dengan standar norma atau aksi terorisme.

  1. Bagaimanakah solusi dari permasalahan tersebut?
Solusi secara umum
Pendidikan moral yang tidak hanya menjadi tanggung jawab sekolah dan pemerintah, tetapi juga menjadi tanggung jawab dari orang tua yang menjadi actor pendidikan terdekat dari seorang anak. Disini juga dapat terlihat bahwa pendidikan agama yang benar akan membuat pemahaman moral lebih ditekankan sehingga tidak membawa kepada aksi terorisme. Tidak hanya itu, memposisikan atau meperlakukan seseorang atau kelompok secara sama di mata hukum tanpa membeda-bedakan kepentingan juga dapat mencegah terjadinya terorisme yang didalangi oleh ekstrimisme dan radikalisme.
Solusi untuk Kondisi di Indonesia
Komunikasi yang intensif kepada setiap lapisan dan golongan masyarakat dapat mengurangi keinginan untuk melakukan kegiatan yang bersifat terror. Komunikasi ini sebaiknya dijalankan terlebih dahulu oleh pemerintah melalui pembuatan kurikulum dasar tentang multikulturalisme yang seharusnya diterapkan sejak dini. Dari komunikasi yang dijalankan, dapat diketahui nilai-nilai yang diyakini dan ciri-ciri dari setiap kelompok yang ada di Indonesia, kemudian dari situ pemerintah bisa menitikberatkan pada saling menghormati terhadap nilai-nilai dari setiap kelompok dan tidak membenci kelompok yang berbeda dengan nilai atau prinsip yang kita yakini. Sehingga tidak ada lagi gap atau pemisah antar kelompok karena setiap kelompok adalah sama dimata hukum.

Senin, 30 Oktober 2017

DPR setujui Perppu Ormas menjadi undang-undang

Sejumlah anggota DPR berdiskusi ketika skors Rapat Paripurna ke-9 di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (24/10).
Rapat paripurna DPR mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Masyarakat menjadi undang-undang, Selasa (24/10/2017).
Perppu tersebut disahkan menjadi undang-undang melalui mekanisme voting sebab seluruh fraksi pada Rapat Paripurna gagal mencapai musyawarah mufakat meskipun telah dilakukan forum lobi selama dua jam.
Dari total 445 anggota DPR yang hadir, 314 orang menyatakan setuju, 131 anggota tidak setuju . "Maka rapat paripurna menyetujui Perppu nomor 2/2017 tentang ormas menjadi UU," kata Wakil Ketua DPR, Fadli Zon yang memimpin sidang Paripurna.
Pengambilan keputusan pengesahan Perppu Ormas menjadi undang-undang berjalan alot dan dihujani interupsi. Tujuh fraksi yang menerima, yakni PDI-P, Golkar, PKB, PPP, Nasdem, Hanura dan Demokrat.
PKB, PPP dan Partai Demokrat dapat menyetujui Perppu Ormas menjadi undang-undang dengan catatan langsung dilakukan revisi pada beberapa hal.
Adapun tiga fraksi, yakni PKS, Gerindra dan PAN tegas menolak Perppu Ormas untuk disahkan sebagai undang-undang.
Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra Sodik Mujahid menyatakan Perppu itu kurang sejalan dengan demokrasi yang ditegakkan di Indonesia.

"Dalam Perppu Ormas memangkas proses demokrasi, yakni meniadakan proses demokrasi di pengadilan dalam menentukan sebuah ormas melanggar atau tidak," kata Sodik.

Keberatan serupa disampaikan anggota Fraksi PKS Sutriyono. Pasal-pasal dalam Perppu Ormas, kata Sutriyono, rawan disalahtafsirkan karena ada beberapa pasal karet yang multitafsir.

Pasal karet tersebut, kata dia, rawan dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok tertentu. "Karena itu, Fraksi PKS menyampaikan sikapnya menolak Perppu Ormas, karena menilai tidak sejalan dengan konstitusi dan UU terkait," kata Sutriyono.

Adapun anggota DPR dari Fraksi PKB Abdul Malik Haramain mengatakan UU Ormas dibuat untuk mengelola kebebasan warga negara sesuai dengan iklim demokrasi. 
Dalam iklim demokrasi, kata dia, kebebasan adalah bertanggung jawab dan saling menghargai, bukannya malah merugikan kebebasan orang lain.

"Dalam UU Ormas, kebebasan dikelola untuk menjaga Pancasila dan UUD 1945 pada iklim demokrasi. Karena itu, secara tegas Fraksi PKB menyatakan mendukung Perppu Ormas untuk disetujui menjadi undang-undang," katanya.

Fraksi PKB menyampaikan catatan, agar dalam undang-undang mengatur secara tegas bahwa Ormas mencantumkan asas Pancasila. PKB pun menyetujui Perppu menjadi undang-undang namun perlu revisi tentang pasal yang mengatur pembubaran ormas dan pasal yang mengatur penistaan agama.

Perppu dalam sorotan

DPR akhirnya menyetujui Perppu menjadi undang-undang meski di tengah pro dan kontra. Ketika paripurna berlangsung, ribuan orang melakukan unjuk rasa menolak pengesahan Perppu menjadi undang-undang. Peserta unjuk rasa mayoritas dari organisasi berbasis keagamaan seperti Alumni 212, massa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan lain-lain.
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) merupakan organisasi yang dibubarkan dengan menggunakan dasar Perppu Ormas karena dianggap radikal atau bertentangan dengan ideologi Pancasila. Lewat Perppu itu, HTI dububarkan tanpa melalui mekanisme pengadilan.
HTI melakukan gugatan atas pencabutan status badan hukumnya ke Pengadilan Tata Usaha Negara. HTI juga mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
Dengan disahkannya Perppu menjadi undang-undang, langkah hukum di MK pun terhenti. Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra menyatakan gugatan uji materi terhadap Perppu Ormas berhenti secara otomatis ketika DPR mengesahkannya menjadi undang-undang.
Pembubaran tanpa melalui mekanisme pengadilan menjadi sorotan publik karena dianggap bisa menimpa organisasi lain. Koalisi Masyarakat Sipil yang diwakili oleh YLBHIPerludemWALHIImparsialELSAMKontraSKPAHRWG, dan KPBI menyatakan upaya negara untuk menindak ormas yang menganut paham radikalisme dan bersikap intoleran merupakan keharusan.
Koalisi menyatakan mendukung sepenuhnya upaya negara menindak kelompok intoleran, sepanjang dalam koridor negara demokrasi dan hukum. Namun, Koalisi menilai pembentukan Perppu justru dapat membahayakan kehidupan negara demokrasi dan negara hukum itu sendiri.
"Perppu tidak hanya dapat menyasar kepada kelompok yang intoleran tetapi juga dapat menyasar kepada kelompok-kelompok organisasi masyarakat lainnya karena pemerintah dapat sepihak membubarkannya dengan berbagai alasan," demikian keterangan tertulis Koalisi.
Koalisi memandang pemerintah tidak perlu membentuk Perppu Ormas karena pengaturan tentang Ormas sudah diatur dalam UU Ormas No. 17/20013.
Di dalam undang-undang tersebut pemerintah dapat membubarkan ormas melalui mekanisme peradilan jika dianggap melanggar UU Ormas. Jadi, tidak ada kekosongan hukum bagi pemerintah jika ingin membubarkan Ormas yang melanggar undang-undang.
Koalisi menilai Perppu Ormas bukanlah Perppu yang khusus mengatur tentang radikalisme dan ekstremisme. Perppu Ormas mengatur seluruh organisasi kemasyarakatan, berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum.
"Penerbitan Perppu Ormas No. 2 tahun 2017 yang menghapuskan mekanisme peradilan dalam pembubaran ormas tentu menjadi masalah yang serius," tulis Koalisi. Berdasarkan Perppu itu, pembubaran ormas dilakukan oleh pemerintah melalui menteri hukum dan HAM.
Koalisi juga menyoroti alasan pembubaran ormas. Pemerintah dapat membubarkan ormas yang dianggap bertentangan dengan Pancasila. Pembubaran pun dapat terjadi dengan alasan penodaan agama, melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial, tidak melaksanakan kewajibannya untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan NKRI, dan alasan-alasan lainnya.
Dengan alasan luas dan multitafsir, Koalisi menilai seluruh organisasi masyarakat dapat dibubarkan sepihak oleh pemerintah jika dianggap melanggar ketentuan Perppu. Pembubaran dapat menimpa organisasi masyarakat seperti organisasi jurnalis, buruh, petani, asosiasi profesi, organisasi filantropi, dan organisasi masyarakat lainnya.
Selain itu, Perppu Ormas No. 2/2017 mencantumkan sanksi pidana yang ancaman hukumannya pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama dua puluh tahun (Pasal 82A ayat (2) Perppu Ormas).
Padahal, di dalam UU Ormas No. 17/2013 tidak ada aturan sanksi pidana, yang ada hanya sanksi administratif.
Koalisi memandang bahwa pembubaran ormas oleh pemerintah memberangus kebebasan berserikat dan berkumpul sehingga menjadi ancaman serius bagi kehidupan demokrasi dan negara hukum.
"Penolakan terhadap Perppu Ormas bukanlah untuk membela kepentingan golongan dan kelompok tertentu, tetapi semata-mata karena untuk kepentingan menyelamatkan negara demokrasi dan negara hukum."

ICMI Sarankan Perppu Ormas Disempurnakan Lebih Baik Lagi Jadi UU


Ketua Umum ICMI Prof DR Jimly Asshiddiqie menyarankan PKB sebagai partai politik (parpol) yang tergabung dalam koalisi pemerintahan saat ini agar menjadi inisiator di DPR untuk mengajukan RUU Ormas yang baru.

Diketahui, Pemerintah Indonesia belum lama ini telah menerbitkan Perppu Nomor 2/2017 tentang Ormas sebagai pengganti UU Nomor 17/2013. Menurut Jimly, ada aspek yang dapat disempurnakan nantinya dalam pengajuan RUU Ormas yang baru.

“Menjamin kebebasan berserikat dengan pengaturan lebih baik mengenai prosedur pembubaran ormas yang pertama, bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, kedua bertujuan dan aktif terlibat dalam kegiatan penyebaran kebencian dan permusuhan, ketiga sebagai organisasi melakukan pelanggaran UU yang berlaku," kata Jimly saat berdiskusi dengan fungsionaris PKB, di Jakarta, Selasa (26/9), melalui keterangan resmi tertulis yang diterima ICMI Media.

Jimly menjelaskan, diterimanya Perppu Ormas menjadi UU oleh Parlemen, maka pada sidang bersamaan harus diputuskan usulan draf RUU inisiatif DPR yang dibahas bersama pemerintah. Dengan demikian, ucap Jimly, aspirasi masyarakat yang menolak Perppu dapat diakomodir secara baik.   
                  
“Bagaimanapun harus diakui bahwa Perppu Ormas banyak mengandung kelemahan yang membahayakan karena itu harus segera diperbaiki. Sebaliknya, kalau ditolak oleh DPR, RUU perbaikan terhadap UU No.17/2013 juga harus dilakukan segera sehingga dapat memenuhi kebutuhan dalam melakukan pembinaan terhadap ormas yang melanggar tiga hal di atas," ujar Jimly.

Kendati begitu, Jimly menuturkan, bila Perppu Ormas nantinya dibatalkan oleh putusan MK, maka tetap diperlukan upaya perbaikan. Jimly menyampaikan, keputusan MK dan DPR mengenai Perppu Ormas harus dapat diterima tetap sah sebelum dinyatakan tidak berlaku lagi, termasuk segala ketetapannya seperti membubarkan HTI.

Namun, Jimly mengingatkan, penerapannya harus adil dan tidak memberi kesan seolah hanya diarahkan kepada ormas Islam. Perppu, ungkap Jimly, juga bisa digunakan untuk menyasar informasi dugaan ormas beraliran Komunis.

"Harus dicari bukti yang kuat jika memang ada ormas beraliran komunis. Yang katanya ada AD/ART telah disahkan tahun 2015, maka sebaiknya segera dibubarkan juga dengan menggunakan Perpu Ormas," kata Jimly. (SYH/CR)

Ini Tiga Pertimbangan Pemerintah Menerbitkan Perppu Ormas

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto membantah bahwa pemerintah ingin bertindak sewenang-wenang dalam menertibkan organisasi kemasyarakatan, sehingga menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
Menurut Wiranto, pemerintah memiliki dasar yang kuat untuk menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2017, yaitu aturan undang-undang yang tidak lagi memadai.
Wiranto pun menjelaskan tiga pertimbangan pemerintah dalam penerbitan perppu.
Pertama, tindakan pemerintah sudah sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009.
"Presiden bisa mengeluarkan perppu atas dasar adanya keadaan yang membutuhkan atau keadaan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang," ujar Wiranto, dalam konferensi pers di kantor Kemenko Polhukam, Rabu (12/7/2017).
Menteri Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam), Wiranto saat konferensi pers mengenai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (perppu) tentang Ormas di Gedung Kementerian Polhukam, Jakarta, Rabu (12/7/2017). Wiranto memberikan penjelasan mengenai penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017, sebagai perubahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Powered by rightcoupon
Menteri Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam), Wiranto saat konferensi pers mengenai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (perppu) tentang Ormas di Gedung Kementerian Polhukam, Jakarta, Rabu (12/7/2017). Wiranto memberikan penjelasan mengenai penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017, sebagai perubahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.(KOMPAS.com/ANDREAS LUKAS ALTOBELI)
Kedua, terkait aturan hukum yang belum memadai. Menurut Wiranto, perppu bisa diterbitkan untuk memberikan solusi agar tidak terjadi kekosongan hukum.
"Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum. Atau ada undang-undang tetapi tidak memadai untuk menyelesaikan masalah hukum," ujar dia.
Ketiga, perppu bisa diterbitkan jika kekosongan hukum tersebut tidak bisa diatasi dengan cara membuat undang-undang baru.
Menteri Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam), Wiranto saat konferensi pers mengenai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (perppu) tentang Ormas di Gedung Kementerian Polhukam, Jakarta, Rabu (12/7/2017). Wiranto memberikan penjelasan mengenai penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017, sebagai perubahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Powered by rightcoupon
Menteri Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam), Wiranto saat konferensi pers mengenai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (perppu) tentang Ormas di Gedung Kementerian Polhukam, Jakarta, Rabu (12/7/2017). Wiranto memberikan penjelasan mengenai penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017, sebagai perubahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.(KOMPAS.com/ANDREAS LUKAS ALTOBELI)
Mekanisme dan prosedur untuk membuat undang-undang baru memang membutuhkan jangka waktu yang panjang, dan itu jadi kendala.
"Sementara kondisinya harus segera diselesaikan. Kalau menunggu undang-undang yang baru tidak bisa, harus segera diselesaikan," kata Wiranto.
Tiga pertimbangan itulah yang menjadi pijakan pemerintah untuk menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 10 Juli 2017.
"Perppu ini memang sudah dikeluarkan dua hari yang lalu," kata Wiranto.

Minggu, 29 Oktober 2017

Menutup Radikalisme dan Terorisme di Indonesia

Radikalisme dan terorisme kini menjadi musuh “baru” umat manusia. Banyak radikalisme menyebar ke kalangan masyarakat. Kasus terorisme di Indonesia oleh penganut teologi radikal tidak berbanding lurus dengan intoleransi dan kekerasan. Karena fenomena terorisme tentu tidak cukup dengan penjelasan dari dimensi agama, terutama radikalisasi dan fundamentalisme agama semata.
Pemerintah dan DPR haruslah merevisi Undang-Undang Terorisme agar dapat menjerat orang-orang yang menyebarkan kebencian dan permusuhan. Jeratan hukum terhadap kelompok penyebar kebencian ini merupakan cara ampuh untuk mencegah tindakan terorisme. Saat ini marak ceramah, tulisan atau pernyataan orang-orang yang isinya mengganggap pihaknya paling benar dan menganggap kelompok lain termasuk negara atau pemerintah sebagai kafir.
Intinya pemerintah mengusulkan agar kegiatan penyebaran kebencian harus masuk dalam kategori tindakan kriminal. Produk Undang-Undang tersebut lebih bersifat reaktif atau hanya diberlakukan setelah kejadian teror, padahal propaganda mendukung kelompok teroris seperti Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) banyak dijumpai di media sosial, tetapi sulit dibendung. Belajar dari negara lain, untuk mengalahkan terorisme diperlukan tindakan proaktif.
Sebagai sebuah bangsa yang multikultur, Indonesia patut mewaspadai aksi-aksi radikalisme agama dengan mengupayakan berbagai bentuk penanggulangan, seperti deradikalisasi dan kontra-propaganda, Deradikalisasi adalah bentuk upaya pemberantasan terorisme yang ditujukan kepada orang-orang yang telah terpengaruh paham radikal. Upaya ini dilakukan dengan cara memberikan pembinaan dan bimbingan secara kontinyu untuk menghadirkan pemahaman agama dan kehidupan yang damai.
Sedangakan kontra-propaganda ditujukan kepada masyarakat luas, di mana cenderung bersifat pencegahan yang dapat berbentuk seperti sosialisasi mengenai kehidupan damai, tafsir agama yang benar, dan tentu saja bahaya ancaman terorisme bagi kehidupan manusia.
Selain itu, faktor yang bisa menimbulkan radikalisme yaitu emosi keagamaan atau solidaritas keagamaan yang sempit , sehingga berbahaya bila melekat pada orang yang pengetahuan agamanya minim. Radikalisme bisa melibatkan semua agama, Waspadai setiap ada ajaran dan ajakan yang mencurigakan seperti berjihad dengan janji-janjin yang tidak rasional, janji-janji kehidupaan yang lebih baik dengan menghalalkan segala cara.
Cara merekrut anggota mendekati kelompok atau organisasi yang se-aliran dengan latar belakang ekonomi pas-pasan, mencari orang dikampung yang militan dan mengisahkan perjuangan serta mengiming imingi surga dengan cara jihad yang menimbulkan korban dari orang lain bahkan saudara seiman sendiri..
Menurut Anggota Komisi III DPR RI, Jazuli Juwaini dalam portal jpnn.com.1/4/2015. Menyebutkan bahwa kalangan miskin merasa terasing dari lingkungan sekitar. Mereka merasa minder dan seolah tak memiliki harapan. Selain masalah ekonomi itu, juga ditambah pemicu dari sisi ketidakadilan dan masalah sosial. Alhasil, pemicunya memang kompleks. Situasi inilah yang membuat radikalisme dan terorisme tumbuh subur di masyarakat.
Sementara menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD mengatakan bahwa terorisme yang mengatasnamakan agama ini berpangkal dari kemiskinan, ketidakadilan, dan korupsi. Keadilan yang sudah sulit ditemui, korupsi yang merajalela, serta kemiskinan yang ditambah jurang pemisah antara si kaya dan miskin yang begitu lebar, membuat beberapa individu membentuk komunitas yang cenderung radikal atau ikut bergabung dengan terorisme.
Untuk melawan Radikalisme dan Terorisme ini berarti kita juga perlu menciptakan pendidikan yang kritis dan mencerahkan. Pendidikan yang mengajarkan realitas-realitas yang tengah berlangsung, sehingga kalangan muda pun menjadi peka akan isu-isu yang berkembang di sekitarnya, melibatkan semua elemen masyarakat, baik itu tokoh agama, ulama, mahasiswa, dan sebagainya.

Kemudian pendekatan agama yang dilakukan juga harus ditingkatkan kualitas moderatnya, sehingga mampu meminimalisir kemungkinan bibit radikalisme berkembang lebih jauh. Untuk itu, diperlukan kerja sama dan dukungan yang sinergis dari pemerintah dan lembaga-lembaga agama untuk memasyaratkan pesan perdamaian ke seluruh umat dan seluruh masyarakat Indonesia. Serta pemerintah harus segera mengeluarkan Perppu supaya ada payung hukum bagi aparat untuk menindak pelaku teror serta menghentikan penyebaran paham kebencian termasuk menggunakan media sosial.

Radikalisme dan Terorisme; Virus yang Menghantui Media

Populasi pengguna internet di dunia terus saja meningkat setiap tahunnya. Kini, jumlahnya sudah menyentuh angka yang sangat besar. Dalam ajang D11 Conference yang diadakan oleh situs AllThingsD, Mary Meeker yang berasal dari firma Kleiner Perkins Caufield & Byers Meeker, mengungkapkan bahwa pengguna internet di seluruh dunia telah menyentuh angka 2,4 miliar orang.
Pengguna internet di Indonesia dari tahun ke tahun jumlahnya juga terus mengalami kenaikan. Berdasarkan hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pengguna internet di Indonesia pada tahun 2009 mencapai 30 juta, tahun 2010 sebanyak 42 juta, tahun 2011 sebanyak 55 juta, tahun 2012 mencapai 63 juta orang, dan tahun 2013 mencapai 71,19 juta, hal yang sama juga pada tahun 2014 dan 2015 terus mencapai peningkatannya dengan angka yang cukup tinggi.
Internet sebagai konsekuensi dari perkembangan teknologi informasi memiliki dua sisi yang bertolak belakang, misalnya, internet merupakan media yang efektif untuk menyampaikan pesan pada publik. Namun sarana ini justeru kerap dimanfaatkan oleh kelompok radikal untuk mengampanyekan ideologi nya.
Sebuah lembaga yang bergerak di bidang riset dan kajian masalah-masalah terorisme, The Terrorism Research Center pernah mengumumkan hasil penelitiannya mengenai tren terorisme global. Dalam laporan itu diungkapkan, selama kurun waktu 1993-1998 jumlah aksi-aksi terorisme di seluruh dunia memperlihatkan penurunan. Namun, di Asia tercatat justru terjadi peningkatan, misalnya pada tahun 1996 di Asia terjadi 11 aksi terorisme, 21 aksi terorisme pada 1997, dan sebanyak 48 aksi terjadi pada 1998, pasca 1998 hingga 2003 diprediksi telah terjadi sebanyak 100 lebih aksi kekerasan maupun terorisme yang berskala besar di kawasan Asia. Dan diantaranya juga di kawasan Asia Pasifik. Indonesia sendiri, saat ini dikenal sebagai ladang subur persemaian aksi radikalisme dan terorisme.
Radikalisme dan Terorisme
Istilah teror dan terorisme sesungguhnya mulai populer pada abad ke 18, namun fenomena yang ditujukannya bukanlah baru, sebab terorisme telah lama di kenal sejarah. Terorisme telah lahir sejak ribuan tahun silam dan telah menjadi legenda dunia. Taktik terorisme mulai di kenal sejak awal abad ke 48 Masehi, ketika sebuah sekte Yahudi bernama Zealots berkampanye melalui aksi terorisme untuk memaksa pemberontakan terhadap bangsa Romawi di Judea. Kampanye yang dilakukan termasuk asasinasi (pembunuhan) oleh Sicarii (sebuah aksi ekstrem Yahudi). Maraknya aksi teror yang terjadi dengan jatuhnya banyak korban telah mengidentifikasi bahwa terorisme adalah kejahatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Pengertian tindak pidana terorisme sendiri di Indonesia termuat dalam pasal 6 dan Perpu No 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003.
Saat ini bisa dikatakan kerentanan terhadap radikalisme berbasis sosial keagamaan telah menjadi humus yang baik bagi tumbuh subur dan berkembangnya terorisme. Menurut Sholahuddin Wahid mengkafirkan orang lain saja sudah meresahkan, mengganggu kerukunan dan harmoni sosial, apalagi menghalalkan darah, demikian bisa memicu tindakan yang lebih kriminal. 
Menurut laporan tahunan The Wahid Institute tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan, di tahun 2010 kasus intoleransi sebanyak 184 kasus. Tahun berikutnya 267 kasus dan di tahun 2012 jumlahnya mencapai 274 kasus. Hasil pantauan tahunan Setara Institute pun menunjukkan tren peningkatan kasus intoleransi. Di tahun 2011, kasus intoleransi tercatat 244 kasus. Sedangkan di tahun 2012 jumlahnya 264 kasus. Berdasarkan data lembaga-lembaga tersebut, kekerasan berlatar agama dan intoleransi beragama dipicu karena adanya perbedaan aliran/paham keagamaan.
Sebenarnya aksi terorisme di Indonesia tidak hanya terjadi di era reformasi sekarang ini, melainkan sudah terjadi sejak puluhan tahun silam. Jika ditelusuri dari jejak sejarahnya. Perang melawan terorisme yang dilakukan aparat kepolisian pun telah berhasil menangkap ratusan pelaku terorisme, termasuk gembong teroris di Indonesia yakni Dr. Azhari dan Noordin M Top. 
Berdasarkan catatan Detasemen Khusus anti teror (Densus 88), sejak tahun 2000 hingga April 2013, sudah 845 pelaku teroris yang ditangkap di seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut, tersangka yang meninggal dunia di TKP 83 orang, tewas bom bunuh diri 11 orang, divonis mati 6 orang, dan divonis seumur hidup 5 orang. Di antara mereka juga yang dikembalikan ke keluarga sebanyak 65 orang, 10 orang proses penyidikan, 47 tahap persidangan, dan 618 orang divonis dengan berbagai jenis hukuman.
Serangan terorisme di Indonesia terus mengalami elevasi, mulai dari jaringan, target serangan, dan pelaku. Sejak tahun 2000 hingga 2010, orang-orang barat, nonmuslim dan simbol-simbol asing, khususnya Amerika dan sekutu nya dijadikan sebagai target serangan. Namun, sejak 2011 hingga sekarang simbol-simbol negara seperti aparat keamanan bahkan sampai kepada rumah ibadah sudah menjadi target serangan teror. Dua kali aksi bom bunuh diri meledak di dalam komplek kepolisian, yakni di Masjid Adzikra Mapolresta Cirebon, Jawa Barat dan Mapolres Poso, Sulawesi Tengah.
Internet dan Pesan-pesan Radikalisme
Munculnya website yang kerap menebar hate speech adalah fakta konkret bahwa internet menjadi lahan empuk bagi kelompok radikal dalam melakukan propagandanya. Dari kampanye-kampanye kebencian inilah kemudian sebahagian pihak khususnya generasi muda yang cenderung eksklusif merasa seolah mendapat pembenaran untuk melancarkan aksi dan mengamalkan ideologinya untuk memusuhi Amerika, non Muslim bahkan untuk meruntuhkan negara demi untuk khilafah impiannya. 
Pada 2011, Kementerian Komunikasi dan Informatika menerima pengaduan sebanyak 900 yang terkait dengan situs–situs radikal. Dari jumlah itu sebanyak 300 situs yang dianggap radikal telah diblokir (BBC Indonesia, 28 September 2011). Penutupan situs radikal merujuk pada UU No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Berikut ciri-ciri kelompok/media radikal dalam mengekspos isu-isu tertentu dan perbandingannya dengan kelompok/media moderat, yaitu seperti dalam tabel di bawah Ini :
tabel-ok-58ca2916f296737d3b9945df.jpg
tabel-ok-58ca2916f296737d3b9945df.jpg
Masih adanya aksi teror dan tertangkapnya anggota jaringan teroris di sejumlah daerah mengindikasikan bahwa terorisme masih menjadi ancaman nyata dan serius bagi bangsa Indonesia. Hal itu juga menandakan kelompok teroris berhasil menyebarkan propaganda mereka. Kelompok teroris telah melakukan pelbagai aksi mulai dari peledakan bom di tempat keramaian, peledakan tempat-tempat ibadah, pengeboman kantor kedutaan atau representasi perusahaan asing, hingga penembakan dan pengeboman aparat kepolisian. Dampak yang diakibatkan dari aksi terorisme di antaranya merenggut nyawa, mencederai orang lain dari cedera ringan hingga cedera permanen, kerugian materi dan kerusakan fasilitas umum.
Permasalahan radikalisme keagamaan memang harus menjadi perhatian serius bagi bangsa ini. Sebab benih-benih radikalisme keagamaan kini telah tumbuh subur di kalangan generasi muda. Bahkan, radikalisme disinyalir telah masuk ke dalam lembaga pendidikan formal. Hal ini dibuktikan oleh hasil penelitian Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) yang menunjukkan, hampir 50 persen pelajar di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) setuju dengan aksi radikal demi agama.
Menyadari internet ikut andil dalam menyebarkan radikalisasi keagamaan, maka deradikalisasi terorisme di dunia maya pun harus dilakukan. Indonesia harus mampu melawan isu dari kelompok radikal yang suka menebar kebencian dan anti terhadap kebangsaan. Hemat penulis,  bila tidak segera ditangani radikalisme melalui media Ini, maka akan terus seperti hantu yang bergentayangan untuk tetap menebar teror. 

Terorisme dan Radikalisme: Remahaman Membawa Bencana

Terorisme, ketika kita mendengar kata terorisme, pasti muncul dibenak kita mengenai aksi kekerasan, bom, organisasi radikal, dan yang tidak lepas dari islam. Ini merupakan pemikiran orang-orang awam yang tidak tahhu apa yang dimaksud sebenarnya dengan aksi teroris tersebut. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian teroris ialah rasa takut yang ditimbulkan oleh orang atau sekelompok orang.
[1] Terorisme berarti suatu kegiatan yang menimbulkan tekanan dan ketakutan. Secara etimologi terorisme berarti menakut-nakuti (to terrify).Kata ini berasal dari bahasa latin terrere, “menimbulkan rasa gemetar dan cemas”.Kata ini secara umum digunakan dalam pengertianpolitik, sebagai suatu serangan terhadap tatanan sipil, semasapemerintahan teror revolusi Perancis akhir abad ke-18[2]. Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme mendefinisikan terorisme sebagai segala aksi yang sesuai dengan tindak kriminal yang tertera dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2002 mengenai Aksi Terorisme Kriminal. Terorisme adalah perbuatan melawan hukum secara sistematis dengan maksud untuk menghancurkan kedaulatan bangsa dan negara, dengan membahayakan bagi badan, nyawa, moral, harta benda dan kemerdekaan orang atau menimbulkan kerusakan umum atau suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, sehingga terjadi kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, kebutuhan pokok rakyat, lingkungan hidup, moral, peradaban, rahasia negara, kebudayaan, pendidikan, perekonomian, teknologi, perindustrian, fasilitas umum atau fasilitas internasional (UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Bab I, pasal 1).
Dalam sejarahnya, terorisme telah muncul sejak berabad-abad yang lalu,yaitu diperkirakan sejak abad ke-19, hal ini menurut Grant Wardlaw dalam buku Political Terrorism (1982). Sejarah mencatat, pada tahun 1890-an aksi terorisme Armenia melakukan perlawanan terhadap pemerintah Turki, yang berakhir dengan bencana pembunuhan masal terhadap warga Armenia pada Perang Dunia I. Pada dekade tersebut, aksi terorisme diidentikkan sebagai bagian dari gerakan sayap kiri yang berbasiskan ideologi. Bentuk pertama terorisme, terjadi sebelum Perang Dunia II. Yaitu dilakukan dengan cara pembunuhan politik terhadap pejabat pemerintah. Bentuk kedua terorisme dimulai di Aljazair pada tahun 50-an, dilakukan oleh FLN yang mempopulerkan “serangan yang bersifat acak” terhadap masyarakat sipil yang tidak berdosa. Tindakan itu dilakukan untuk melawan terorisme negara oleh Algerian Nationalist. Pembunuhan dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan keadilan.
Sementara di Indonesia, aksi terorisme sudah mulai muncul sejak tahun 1981 yang berawal dari aksi pembajakan pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan 206 dengan tujuan kota medan. Aksi pembajakan tersebut dilakukan oleh orang teroris yang menyamar sebagai penumpang. Mereka bersenjata senapan mesin dan granat, dan mengaku sebagai anggota Komando Jihad. Dalam aksi tersebut satu kru pesawat tewas 1 tentara komando tewas dan tiga orang dari anggota teroris tersebut tewas. Pengamat teroris Al-chaidar mengatakan bahwa “awal munculnya terorisme di Indonesia bermula dari didirikannya organisasi Komando Jihad. Yaitu di wilayah Jawa Timur dan di Medan pada tahun 1976. Pimpinan Komando Jihad Jawa Timur Ismail Pranoto lantas merekrut Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir”.[3] JI (Jamaah Islamiyah) di tuding merupakan sumber dari segala aksi terror yang ada di Indonesia, karena salah satu anggota dari JI yakni Noerdin M Top merupakan dalang dari segala aksi terror yang terjadi di indonesia sejak tahun 2000.[4] Dan hampir setiap tahunnya aksi terorisme selalu terjadi di Indonesia.
Semua aksi terror di Indonessia cenderung berkaitan dengan adanya DI (darul islam) yang dipimpin oleh Kartosuriwiyo. Kesamaan ideologis diyakini menjadi akar dari dari para pelaku terror tersebut. Meski secara organisatoris, DI telah ditumpas namun pemahaman dibwah DI masih dianut oleh sebagian besar pengikutya dan diajarkan secara turun temurun.
[5] Semua aksi ini disebabkan oleh paham radikalisme dimana radikalisme ini merupakan embrio dari lahirnya terorisme. Radikalisme merupakan suatu sikap yang mendambakan perubahan secara total dan bersifat revolusioner dengan menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis lewat kekeraan (violence) dan aksi-aksi yang ekstrem. Ada beberapa ciri yang bisa dikenali dari sikap dan paham radikal. 1) intoleran (tidak mau menghargai pendapat &keyakinan orang lain), 2) fanatik (selalu merasa benar sendiri; menganggap orang lain salah), 3) eksklusif (membedakan diri dari umat Islam umumnya) dan 4) revolusioner (cenderung menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan).
Kemudian menjadi pernyataan selanjutnya adalah apa sikap Indonesia terhadap aksi radikalisme dan terorisme yang  terjadi ? NKRI dengan pancasila sebagai ideology negara adalahn wujud dari idealism dalam menyetukan negara Indonesia yang beragam terdiri atas berbagai macam suku, ras dan budaya. Dalam kebijakan nasional BNPT merupakan leading sector yang berwenang untuk menyusun dan membuat kebijakan dan strategi serta menjadi coordinator dalam bidang penanggulangan terorisme. BNPT aktif menetralisir ideologi dan pemikiran radikal agar menjadi moderat. Bukan hal mudah mengubah mindset mereka. Disamping itu, juga pendekatan lainnya seperti kontra ideologi, kontra radikalisasi dan kontra narasi, hingga tindakan keras untuk penindakan.
Pendekatan kontra ideologi dan kontra radikalisasi ditujukan kepada masyarakat agar tidak terpengaruh kepada kelompok-kelompok radikal yang cenderung berkembang dan merongrong negara. Langkah ini bertujuan meningkatkan daya tangkal dan kewaspadaan masyarakat terhadap terorisme. Hal ini dilakukan untuk menangkal berbagai macam propaganda yang dapat tersiar dimasyarakat, mulai dari media cetak, online hingga jaringan social. Indonesia juga sudah mengambil sikap dengan bekerjasama dengan PBB dalam menangani terorisme dan Indonesia juga telah menggarisbawahi tentang pentngnya hukum internasional dalam penanggulangan terorisme internasional dalam hal ini Indonesia telah meratifikasi delapan konvensi internasional terkait penaggulangan terorisme yang memperkuat kerangka hukum nasional.[6]
Keterkaitan antara paham radikal dan terorisme memang tidak dapat terpisahkan, paham radikial telah memanifiestasikan pemikiran seseorang untuk bertindak menyimpang dalam menjalankan suatu hal yang mengatasnamakan agama. Terorisme merupakan sebuah fenomena yang tidak dapat ditanggulangi hanya dengan sebuah kebijakan, namun harus ada juga dukungan dari masyrakat untuk dapat lebih memahami menganai paham-paham yang dibawa oleh suatu komunitas. Terutama pada kalangan mahasiswa, karena pada kalangan ini pemahaman yang bersifat radikal sangat mudah untuk disebar luaskan, maka dari itu pemerintah juga harus melakukan peninjauan terhadap kurikulum dan penggunaan ruang pendidikan yang ada.