Cari Blog Ini

Selasa, 22 Agustus 2017

Waspadalah pada Ustad anti NKRI



Selain tempat belajar seluk-beluk Islam, Madrasah Diniyah adalah tempat saya mengenal doktrin Hubbul Wathan (Cinta Tanah Air) Indonesia, Pancasila, Nasionalisme, NKRI plus dengan MERAH PUTIH-nya.
Salah satu pendiri Nahdlatul Ulama KH. Abdul Wahab Hasbullah juga pernah membentuk organisasi Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada tahun 1916 – itu terjadi bahkan sebelum Indonesia ini ada. Sudah dari dulu kala kalangan Ilmuwan Islam (Kiai, Ustad dan Santri) telah berjanji setia pada Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Seiring waktu, istilah Hubbul Wathan dan Nahdlatul Wathan menemu makna baru dalam relasinya menyikapi konteks zaman: ‘NKRI harga mati’ begitulah K.H. Moeslim Rifa’i Imampuro alias Mbah Liem menyemangatibeliaulah ulama dan pendiri Pondok Pesantren Al-Muttaqien Pancasila Sakti di Klaten, Jawa Tengah.
Kiai yang merupakan guru spiritual Presiden RI ke-4 K.H. Abdurrahman Wahid itu, dalam setiap kesempatan ceramah dan pidatonya pun tak lupa mengusung tema soal kebangsaan dan kenegaraan. Kurang lebih kalimatnya begini :
“Mugo-mugo NKRI Pancasila Aman Makmur Damai Harga Mati…...”
Oleh karena itu, berkibarnya MERAH PUTIH adalah kukuhnya harga diri anak bangsa. Jika bukan para warga Indonesia sendiri, siapa lagi yang menjaga dan menghormatinya?
Belakangan ( sudah rahasia umum) ini muncul dimana sekelompok (yang mengaku) Ustad tuna sejarah. Mereka yang terang-terangan menyelipkan paham radikal dalam tiap ceramahnya. Paham radikal disisipkan dimulai dengan sikap mereka yang anti nasionalisme. Mengampanyekan kecilnya peran eksistensi MERAH PUTIH sebagai lambang persatuan bangsa, dan lain sebagainya.
MERAH PUTIH memang hanya selembar kain, tapi apa yang terbaca di balik kain ini yang penting: panji martabat, simbol persatuan, bukti pengorbanan, lambang perjuangan, dan selebihnya, MERAH PUTIH adalah identitas kolektif kita: NKRI.
Bukankah sudah seharusnya segenap anak bangsa terlebih para Ustad dan Santri sebagai pewaris ‘Hubbul Wathan minal iman’ menunjukkan sikap ‘Sami’na Wa Atho’na’ (kami mendengar dan kami taat)? Seperti halnya yang telah dicontohkan oleh K.H. Moeslim Rifa’i Imampuro alias Mbah Liem terhadap pendahulunya KH. Abdul Wahab Hasbullah?
Mereka yang selama ini menjunjung tinggi warisan para ulama salih yang memilih menjadi ‘silent majority’ tidak boleh acuh tak acuh terhadap bentuk adu-domba dari mereka yang ingin merubah Nusantara menjadi Indonestan….
Yang demikian itu, jelas NAFSU para pemimpinnyalah dasar hukumnya. Mereka tega menjadikan Quran-Hadis menjadi tumbal hasrat pribadi. Mewaspadai mereka yang sudah ‘out of control’ yang dengan enteng meng-klaim kebenaran hanya dari kata: “Mari kembali pada Islam yang murni….” yang sebenarnya cuma keluar dari mulut dan kerongkongan mereka yang tak jelas sanad keilmuannya.
Diakui atau tidak, nyata-nyata doktrin Khilafah (meski organisasinya telah dibubarkan) sudah banyak menelan banyak korban. Racun-kebencian sudah terlanjur menjalar pada sebagian kalangan pemuda Islam. Hal ini disebabkan karena kekeliruan memahami ajaran Islam yang nyata-nyata cuma ajang politik busuk pemuja ‘lahan basah’ yang selalu haus popularitas dan kekuasaan.
Lihatlah ekspresi-ekspresi (korban) mereka (anak bau kencur) di linimasa yang merasa telah memperjuangkan Islam yang mereka anggap Murni padahal yang sedang dilakukannya adalah meruntuhkan Islam itu sendiri. Dengan tetek bengek doktrin (Khilafah) ini membuat mereka merasa bebas menghina simbol-simbol negara yang dianggapnya bersistem kafir dan thoghut. Mereka meyakini bahwa nasionalisme itu tak ada dalilnya: Pokok-nya HARAM! Karena tidak berasal dari Allah SWT.
Melihat sepak terjang mereka selama ini. Tak ubahnya mereka itu seperti Ibnu Muljam. Penghafal Alquran. Seorang muslim yang saleh.  Dengan ciri-ciri seperti itu, apa yang kurang untuk menjadikannya seorang muslim panutan? Tapi sejarah mengabarkan bahwa Ibnu Muljam adalah pembunuh keji Ali bin Abu Thalib. Lagi-lagi itu disebabkan karena “kitab suci yang mereka baca hanya sampai di kerongkongan…”
Dengan modal “paham yang salah” pada hadis tentang Ashobiyah nyata-nyata telah berhasil menghasut para pemuda Islam. Penjahat negara berkedok agama tak henti-hentinya memviralkan kepentingan politik (Khilafah Nubuwwah) di ruang-ruang keagamaan maupun online. Tak pelak, tindakan penghinaan dan tidak menghormati negara serta para pejuang kemerdekaan seolah sudah menjadi agenda wajib para perongrong negara ini di setiap kesempatannya.
Padahal mereka yang menghina itu lahir, hidup, sekolah, sampai nyari makan juga di negara ini. Bahkan sudah ‘umum’ PNS/ASN yang jelas-jelas makan gaji dari negara tapi kerjaanya menjelek-jelekan pemerintah. Mulut Pancasilais tapi dalam hati-nya berhianat pada Negara juga rakyat yang sudah menggajinya. Benar-benar tak tahu diri.
Selain itu tipe-tipe Ustad penghianat itu juga sering seenaknya saja menyitir hadits hasan riwayat Abu Daud untuk mendasari argumentasinya. “Bukan termasuk golongan kami, siapa saja yang menyeru kepada ashabiyah.” (HR Abu Dawud, Hadits Hasan)
Bagi Ustad perongrong NKRI, nasionalisme sama haramnya dengan Zina dan Khamr. Kaum radikal menggunakan kaidah “al-wasilah ila al-haram haram” (segala perantaraan yang membawa pada yang haram, hukumnya haram juga) untuk menguatkan pendapatnya tersebut. Mungkin hal ini jugalah yang menjadi dasar pembakaran MERAH PUTIH di Bogor beberapa waktu lalu.
Asumsi Ustad-Ustad perongrong NKRI tentang nasionalisme tentu sangat berbeda dengan para ulama salih semisal Hadlaratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari yang pernah mengatakan:
“Agama dan Nasionalisme adalah dua kutub yang tidak berseberangan. Nasionalisme adalah bagian dari Agama, dan keduanya saling menguatkan”
Dalam berbagai kesempatan Maulana Habib Luthfi bin Yahya juga tak henti-hentinya menitipkan pesan yang sangat penting bagi penerus bangsa Indonesia perihal Pancasila, Nasionalisme, Merah-Putih, Cinta Tanah Air, dan NKRI,
“Saya salut banyak bendera Merah-Putih. Tapi nanti tolong setelah selesai, jangan pernah ditumpuk atau dilempar di tanah. Kayunya silakan ditumpuk di tanah, kalau benderanya disampirkan di bahu baru ditata yang rapi. Sikap pada bendera itu bukan mengultuskan benda, melainkan bentuk penghormatan dan sikap cinta pada tanah air. Dalam Merah-Putih meski tidak ada tulisannya, tapi ada arti jati diri bangsa, itulah kehormatan bangsa. Kalau tidak kita sekalian yang menjaga, jangan salahkan orang lain kalau ada yang menghina. Jika bukan para warga Indonesia sendiri, siapa lagi yang menjaga dan menghormatinya?”
Perubahan adalah sebuah keniscayaan. Karena itu, perdebatan terlebih tentang simbol-simbol negara dan agama harusnya berada dalam frame diskursus penyelesaian. Bukan untuk menang-menangan menggunakan logika yang kita sukai saja hanya demi merendahkan pihak yang berseteru dengan kita. Apalagi sampai merendahkan keringat, darah dan air mata para pendahulu kita demi Sang Saka MERAH PUTIH.
Sampai disini, waspadalah pada Ustad-Ustad penghianat anti NKRI. Karena terang yang mereka lakukan bukan untuk kemaslahatan umat, kebaikan rakyat, apalagi bangsa dan negara. Jelas, mereka ngomongin ayat kemana-mana, RI-1 lah tujuannya.
Di sisi lain, tidaklah semata soal karomah para Kiai, bahwa pesantren itu juga gudangnya dunia ilmu pengetahuan, bahwa zikir dan pikir telah menjadi satu tarikan nafas keseharian para Kiai, Ustad juga Santri – Karena itulah, tidak boleh ada Ustad anti NKRI berkeliaran bebas di negeri MERAH PUTIH ini.

0 komentar:

Posting Komentar