Cari Blog Ini

Sabtu, 05 Agustus 2017

Perppu, Jokowi, dan Keutuhan NKRI


Indonesia adalah satu-satunya negara yang unik di dunia. Setidaknya, negara ini memiliki pulau terbanyak dengan jumlah 17.504 pulau dan jumlah suku 740 serta bahasa lokal 746 bahasa. Hal ini menandakan bahwa bangsa ini memiliki tingkat keragaman yang sangat luar biasa. Agama yang dianut pun beragam. Untuk hidup berdampingan dibutuhkan sebuah sistem yang bisa mengakomodir semua golongan tersebut. Maka, lahirlah Bhinneka Tunggal Ika sebagai pedoman.
Pada awalnya, sesaat setelah kemerdekaan, bangsa ini hampir saja kembali terpecah. Padahal, perjuangan melepaskan diri dari kolonialisme tidaklah mudah. Butuh tenaga luar biasa dan korban jiwa yang tidak tanggung-tanggung. Peristiwa itu dikarenakan tujuh kata yang dinilai hanya memihak agama dan golongan tertentu di negara yang multi golongan dan agama ini. Maka, di antara debat yang sengit; menyita banyak tenaga; dan waktu, muncullah K.H. Wahid Hasyim sebagai salah satu dari tim sembilan dan tokoh muda NU memberi solusi yang tepat. Beliau menawarkan menghapus tujuh kata tersebut dengan pertimbangan kebersatuan bangsa dan ketenteraman masyarakatnya akan lebih terjamin. Semuanya sepakat.
Pun pada Munas Alim Ulama di Situbondo pada tahun 1983, NU secara tegas menerima Pancasila sebagai asas tunggal organisasinya yang dinyatakan dalam sebuah piagam resmi. Hal ini dikarenakan sikap visionernya organisasi terbesar di tanah air ini dalam menyikapi keberagaman dan kebersatuan bangsa yang terdiri dari berbagai golongan, suku dan agama.
Indonesia memang unik, ia tidak bisa disamakan dengan Negara-Negara Timur tengah yang notabeni masyarakatnya pemeluk Agama Islam atau pun Eropa yang mayoritas Kristen. Di negara yang penuh dengan keberagaman ini, semuanya hidup berdampingan. Layaknya saudara, kita harus saling melengkapi kekurangan dan menolong yang lemah. Sehingga, keputusan apa pun yang bersangkat-paut dengan masyarakat tidak boleh menguntungkan pihak-pihak tertentu saja.
Bhinneka Tunggal Ika adalah falsafah dari sebuah kebersamaan yang harus dirajut. Sebagaiaman rajutan, ia tidak akan pernah terjadi jika tidak pernah ada keberagaman. Namun, mereka akan menjadi sesuatu yang unik dan tidak terbayangkan dalam pikiran siapapun setelah dirajut oleh tangan-tangan andal dan kreativitas yang tinggi. Sehingga menerima Pancasila sebagai dasar bersama dengan pedoman Bhinneka Tunggal Ika yang dihayati sepenuhnya adalah kewajiban bagi setiap warga negara jika tidak ingin rajutan yang telah terlihat begitu indah hancur berkeping dan kita pun tidak berdaya di atas kepingan-kepingan itu.
HTI dan Ancman Keutuhan Negara
Sebagai sebuah bangsa, Negara Indonesia ibarat sebuah rumah besar untuk semua golongan yang telah menghuninya. Mereka sudah hidup begitu lama dan merasa sudah tenteram di sana. Hanya saja, akhir-akhir ini, ada beberapa kelompok yang mulai mengendap-endap hendak mencuri kedamaian tersebut. Entah dengan mencuri barang berharga atau sekadar merusak benda-benda dan aturan-aturan yang telah disepakati. Mereka mulai masuk ke kantong-kantong pemerintah dan swasta.
Dalam konteks bernegara, mereka dikenal dengan ormas yang mempunyai paham garis keras atau fundamentalis. Dalam Islam sendiri juga dikenal dengan Islam Transnasional. Mereka inilah kelompok-kelompok yang mencoba merong-rong bangunan yang telah mapan dan terbukti kemanjurannya dalam melindungi penghuninya dari serangan binatang buas dan cuaca buruk dengan konsep-konsep abstrak yang tidak jelas arah tujuannya.
Maka, kehadiran mereka adalah sebuah teror yang sangat mencemaskan meski tidak terasa menghentak seperti ledakan bom di pusat perbelanjaan atau di tempat-tempat tertentu yang sering menjadi sasaran teror bom bunuh diri akhir-akhir ini. Namun, jika dibiarkan mereka akan berkembang dan tumbuh besar hingga sulit ditumbangkan. Ibarat sebuah pohon, mereka akan terus menancapkan akar tunggangnya dengan memajangkan ranting dan merimbunkan daunnya.
Salah satu contoh ormas Islam Transnasional yang sudah menyebar di berbagai kota dan daerah di Indonesia adalah HTI. Pada awalnya, hanyalah orpol yang di Indonesia berkembang dan berbadan hukum ormas. Ia masuk ke negara ini pada tahun 1980-an di Bogor. Pada akhirnya, ormas yang hanya diikuti segelntir orang ini berhasil berkembang pesat. pada tahun 2007 terbukti, mereka bisa mengumpulkan 100 ribu orang dalam konferensi internasional dengan tema “Saatnya Khilafah Memimpin Dunia.”
Kita pun terperanjat. Setengah menggeleng dan setengah tidak percaya. Bagaimana mungkin mereka bisa sepesat itu. Bahkan, mulai berani terang-terangan menentang Pancasila sebagai dasar negara dan mereka bercita-cita membentuk khilafah seperti yang pernah terjadi pada zaman sahabat dulu. Tumbuh kembangnya paham ini adalah sebuah keteledoran. Jika dibiarkan, tidak ayal negara yang telah dirintis oleh Ulama khos dan pejuang akan musnah dan pertengkaran kembali terjadi hingga tidak jelas kapan akan berakhir.
Tentu orang-orang di luar Islam tidak akan rela jika tanah airnya dipaksa mengikuti aturan agama yang tidak mereka anut, pun di internal kelompok-kelompok Islam Fundamentalis akan berdebat keras siapa yang berhak menjadi khalifah. Masih belum perdebatan di mana penempatan pusat pemerintahan yang tepat. Jika tidak ingin pohon itu tumbuh semakin subur dan mengakar tunggang yang hanya akan menyisakan kebencian dan pertengkaran yang tidak berujung, sudah saatnya pemerintah beraksi dan menyatakan sikap yang jelas dan tegas.
Lahirnya Perppu dan Proses Normalisasi
Pada akhirnya, setelah melewati fase yang sangat rumit, pada tanggal 10 Juli 2017, Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang ormas terlarang ditandatangani oleh presiden Jokowi. Hal ini merupakan salah satu langkah maju mengingat sudah cukup lama kegiatan ormas yang mengancam keutuhan NKRI ini terbiarkan karena tidak ada Undang-Undang yang cukup mewadahi pelarangannya. Setidaknya, Perppu ini akan menjadi langkah awal untuk menyeleksi dan mengukur berbagai ormas yang ada.
Bagaimana pun, Indonesia adalah rumah besar bersama yang dihuni oleh banyak golongan dan agama. Keterjaminan ketenangan dan ketenteraman mereka juga harus diutamakan. Jika ada di antara kelompok yang berbuat usil terhadap yang lain, sudah layak pemerintah sebagai orang tua yang mengawasi dan mengatur agar warga di dalam rumah dipastikan keamanannya, mencoba menerbitkan aturan baru. Bahkan, menghukum mereka yang manggkel itu adalah keniscayaan.
Jika kemudian terdengar beberapa nada-nada sumir dari segelintir orang ataupun kelompok, itu hanya percikan-percikan kecil dari sebuah kebijakan yang dijalankan. Penulis yakin, hakkul yakin, tidak ada aturan yang diterima di semua golongan dan kelompok. Namun, sejauh mana aturan itu mengakomodir mayoritas masyarkatnya, itulah yang diharapkan. Rumah besar bersama ini yang diberi nama Indonesia sudah terlalu indah untuk diubah dan diformat ulang. Ia sudah terbukti berjalan dengan baik hingga 72 tahun. Tinggal kita mengecatnya kembali dan menambal dinding yang mungkin mulai retak atau sudah bolong. Selanjutnya, selamat atas pemerintahan Jokowi yang telah melangkah lebih maju dalam menjaga keutuhan negeri tercinta ini dibanding pendahulunya. Salam.
Referensi:
  1. Bizawi, Zainul Milal. 2014. Laskar Ulama-Santri dan Resolusi Jihad Garda Depan Menegakkan Indonesia (1945-1949). Tanggerang: Pustaka Compass.
  2. http://m.kumparan.com/salmah-muslimah/sejarah-hizbut-tahrir-di-indonesia
  3. http://www.nu.or.id/post/read/64325/teks-deklarasi-hubungan-islam-pancasila-pada-munas-nu-1983
  4. Perppu no 2 tahun 2017
  5. Umam, Khairul. 2015. Bahasa Lokal dan Identitas Bangsa (tidak diterbitkan)
Sumber 

0 komentar:

Posting Komentar