Cari Blog Ini

Senin, 14 Agustus 2017

(Lagi) Menyoal Mereka yang Anti terhadap Perppu Anti Terorisme


Ratusan Peserta Aksi 287 melakukan konvoi menuju Patung Kuda Monas. Mereka menuntut Perppu Ormas segera dicabut. (CNN Indonesia/Tiara Sutari)

Seharusnya, tak perlu ada perdebatan panjang apalagi mengadu ke Mahkamah Agung  soal terbitnya Perppu Nomor 2 Tahun 2017. Apa yang dilakukan pemerintah sudah sangat tepat, bahkan jika masih disoal, hanya soal waktu yang agak terlambat, mengingat gerakan radikalis sudah mulai merasuk ke ranah publik secara meluas, sistematis dan massif.
Kenyataannya, Perppu anti teror itu pun dipersoalkan, bahkan dituduh sebagai praktek inkonstitusional. Entah logika apa yang digunakan, kala menilai tindakan negara yang mengeluarkan kebijakan menjaga amanah konsitusional, justru disebut sebagai pelanggaran hukum.
Di atas segalanya, kita tentu masih sepakat bahwa negara berdiri di atas kedaulatan rakyat. Rakyatlah yang berkuasa penuh atas negara, yang mengamanahkan pengelolaannya kepada seperangkat struktur pemerintahan. Perangkat pemerintaan itu masing-masing bekerja sesuai tugas dan fungsinya; MPR-DPR (legislatif), Lembaga Peradilan (Yudikatif) dan Presiden serta segenap jajarannya hingga ke tingkat RT-RW (Eksekutif).

HTI Sejak Lahir Sudah Mengingkari Indonesia
Tak perlu berpolemik, sejak masuk ke Indonesia, Hizbut Tahrir sudah mengingkari Indonesia kok. Menambahkan identitas Indonesia menjadi HTI hanyalah kedok biar bisa meraih simpatik.
Padahal, mereka yang menyokong HTI tak mungkin mengabaikan sejarah dan kenyataan bahwa Indonesia terdiri dari multi-etnis, bahwa di Indonesia dikenal dan diakui keberadaan agama yang bukan hanya Islam.
Memang, selama ini Jawa menjadi sentrum pembangunan, yang akhirnya memunculkan disparitas yang tajam antar pulau dan regional. Tapi bukan berarti negara ini harus dibelah dan dipecah sesuai jumlah suku yang ada.
Memang, kenyataan dan sejarah pun menuliskan bahwa kiprah dan komposisi Islam di negara ini adalah dominan, karena pemeluknya memang mayoritas. Akan tetapi, bukan berarti sebuah kemutlakan negara Islam harus didirikan. Jika sistem kekhalifahan dipaksakan, maka dengan sendirinya Indonesia harus bubar terlebih dahulu.
Karena, tidak mungkin negara ini diiris untuk membentuk pemerintahan berdasarkan tuntutan agama tertentu, sementara sekelompok yang lain pun punya pemahaman dan harapan terhadap agama yang dianutnya.
Nah, jika Hizbut Tahrir Indonesia masih berusaha membela diri sebagai kelompok yang terzolimi dan menganggap telah diperlakukan tidak adil oleh negara, justru yang terjadi adalah, keutuhan Indonesia-lah yang saat ini sedang digerogoti. Jika tetap memandang pemerintahan yang sah dan segala perangkat hukumnya sebagai produk thogut yang tak layak diikuti, semestinya HTI memeriksa kembali tanah pijakan tempat mereka berdiri, ini bumi Ibu Pertiwi bung, tanah warisan leluhur.
Perppu untuk Menangkal sekaligus Menekuk
Sejumlah tudingan pun diarahkan ke pemerintah sebagai pihak yang memanfaatkan terbitnya Perppu pemberantasan gerakan radikalisme demi momentum politik. Tudingan itu jelas tendensius, sebab bahkan di sekolah, sejumlah murid mendapatkan perlakukan bullying hanya karena mereka beragama berbeda. Belum lagi, jika kita menghitung daftar percobaan serangan bom yang datang dari sel-sel tak terduga. Apalagi, ratusan nyawa telah terenggut akibat aksi teror bom, menunjukkan situasi bernegara ini tidak dalam keadaan baik-baik saja.
Jika penerbitan Perppu ini pun dinilai sarat nuansa politik, sesungguhnya tudingan itu lebih tepat jika dialamatkan ke lembaga DPR. Mereka telah diamanahkan untuk menuntaskan pembahasan RUU (Rancangan Undang-undang) Terorisme, namun lebih setahun berlalu, RUU itu tak juga berubah status, masih dalam bentuk draft, dan tak mungkin dijadikan acuan untuk memberantas gerakan terorisme.
Jadi, jika masih ada pihak yang tak menerima dan merasa terganggu dengan dikeluarkannya Perppu Anti Radikalisme itu, boleh jadi mereka adalah kelompok yang memang selama ini bergerak dalam lingkaran teroris.
Sebab, jika kelompok yang ada, didirikan tidak untuk mendirikan negara baru, tidak pula memaksakan sebuah ajaran dan pemahaman kepada pihak lain, dan tidak juga terafiliasi dengan lembaga terorisme, untuk apa kebakaran jenggot?
Seharusnya, Indonesia sudah cukup menjadi naungan bersama, yang di dalamnya hidup berdampingan ragam suku, berbagai macam warna kulit, dan penganut jenis kepercayaan yang berbeda dapat berdiri sejajar saling menghormati.
Seharusnya, Indonesia sudah cukup menjadi kelompok besar yang mengatur hajat hidup warganya. Dan tentu saja, menjadi sebuah tugas mulia, jika perangkat negara berusaha mempertahankan keutuhan negara ini.
Seharusnya, mereka yang anti terhadap Perppu Anti Terorisme, mulai memikirkan hal-hal produktif, atau hal-hal sederhana, misalnya: istri di rumah sedang masak apa; amankah anak-anak dari pengaruh narkoba?

0 komentar:

Posting Komentar