Cari Blog Ini

Minggu, 06 Agustus 2017

Nasionalisme, Joko Widodo dan Aktualisasi Pancasila


Agama memegang peranan yang vital dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Sila pertama: Ketuhanan yang Maha Esa menjiwai empat sila setelahnya. Salah satu contoh konkret betapa dahsyatnya efek agama diyakini oleh Presiden Pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno. Beliau menyadari bahwa kekuatan agama sungguh nyata dalam kehidupan rakyat Indonesia. Untuk mencegah kembalinya pasukan Belanda, Bung Karno memohon fatwa hukum untuk mempertahankan kemerdekaan bagi umat Islam.
Pada 17 September 1945 Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan sebuah Fatwa Jihad yang berisikan ijtihad bahwa perjuangan membela tanah air sebagai suatu jihad fisabilillah. Fatwa ini merupakan bentuk penjelasan atas pertanyaan Presiden Soekarno yang memohon fatwa hukum mempertahankan kemerdekaan bagi umat Islam.
Berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh NU (Nadhlatul Ulama) tersebut, maka rakyat mudah dimobilisasi untuk mempertahankan kemerdekaan RI. Fatwa tersebut makin memberanikan tekad rakyat untuk siap mempertaruhkan nyawa untuk mempertahankan kemerdekaan.
Setelah keluarnya Fatwa NU itu, pada 19 September 1945 terjadi insiden tembak menembak di Hotel Oranje antara pasukan Belanda dan para pejuang Hizbullah Surabaya. Seorang kader Pemuda Ansor, Cak Asy’ari dengan gagah berani menaiki tiang bendera dan merobek warna biru, sehingga hanya tertinggal bendera Merah Putih.
Religi dan Nasionalisme
Dari paparan contoh sebelumnya menunjukkan betapa pentingnya faktor agama sebagai salah satu daya penggerak. Fatwa (19 September 1945) dan Resolusi Jihad (22 Oktober 1945) dari NU mampu menjadi pembakar semangat rakyat untuk rela berjuang. Mereka bahkan siap mati membela tanah air dan mengusir penjajah yang hendak kembali lagi. Agama dalam kehidupan rakyat Indonesia sungguh menjadi pegangan.
Tepat sekali Sila Pertama dalam Pancasila, Ketuhanan yang Maha Esa menjadi dasar bernegara dan berbangsa. Dari semua hal yang dibutuhkan dalam hidup. Landasan keimanan atau keberagamaan menempati posisi pertama dari semua hal penting dalam konteks kehidupan rakyat Indonesia. Melalui contoh Fatwa dan Resolusi Jihad NU mengambarkan bahwa agama tidak bertentangan dengan nasionalisme. Agama bahkan dapat menjadi perekat bangsa. Selain itu, agama dapat menciptakan solidaritas yang kuat antar warga dalam memperjuangkan agenda bangsa atau agenda yang memaslahatkan umat.
Dalam konteks keindonesiaan, agama masih dipandang sebagai basis kehidupan masyarakat. Mengingat peran penting agama dalam konteks keindonesiaan, maka perlu dipikirkan salah satu bab dalam pelajaran agama yang mengaitkan dengan nasionalisme. Sebagian besar pembelajar mungkin sudah cukup banyak yang mengetahui bahwa konsep nasionalisme identik dengan perlawanan terhadap kolonialisme.
Pekikan Jihad yang berawal dari Fatwa dan Revolusi Jihad NU yang menggerakkan warga Surabaya serta gema takbir (Allahu Akbar) Bung Tomo yang mengerakkan rakyat merupakan bentuk konkret aplikasi umat beragama dalam menjunjung nasionalisme. Setelah lenyapnya kolonialisme, lalu apakah nasionalisme pupus?
Berbeda-beda Agama, Satu Indonesia
Sejak kelahiran bangsa, masa perjuangan, dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, tergambar jelas jasa beragam kalangan bagi Republik Indonesia. Perwakilan dari kalangan Katolik, keberanian Yos Sudarso memutuskan KRI Macan Tutul untuk menjadi martir dibombardir kapal-kapal perusak Belanda berhasil menyelamatkan 2 KRI lain (KRI Harimau dan KRI Macan Kumbang). Keberanian Yos mampu menyelamatkan banyak prajurit. Tenggelamnya KRI Macan Tutul semakin membulatkan tekad Indonesia untuk merebut Irian Barat.
100% Katolik, 100% Indonesia adalah slogan nasionalisme dari Uskup Pribumi Pertama Indonesia, Mgr. Soegijopranata, SJ. Berkat kegigihan diplomasinya, Negara Vatikan menjadi negara pertama yang mengakui kedaulatan RI seusai proklamasi kemerdekaan, 17 Agustus 1945. Hingga kini slogan tersebut tetap relevan dan masih senantiasa diingat pemeluk agama Katolik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Yos Sudarso ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1973, sedangkan, Mgr. Soegijopranata, SJ ditetapkan sebagai Pahlawan Pembela Kemerdekaan pada 26 Juli 1963 (Komandoko,2008).
Contoh perwakilan dari kalangan Hindu, seruan untuk Puputan (perang habis-habisan) di Margarana dari Lektol I Gusti Ngurah Rai berhasil memberikan perlawanan luar biasa kepada Belanda. Puputan Margarana merupakan peristiwa heroik dari pimpinan pasukan Ciung Wanara, Ngurah Rai yang mampu membuat kocar-kacir Belanda. Kalah jumlah dari pasukan Belanda, mereka gugur sebagai kusuma bangsa.
Patih Agung I Gusti Ketut Jelantik salah satu contoh lagi dari kalangan Hindu yang gugur untuk mengusir pasukan Belanda yang hendak menguasai Buleleng. Ngurah Rai dan Ketut Jelantik tidak gentar mempertaruhkan nyawa demi mengusir pasukan Belanda, meskipun secara jumlah dan kemampuan persenjataan pasukan Belanda di atas jauh dari jumlah pasukan mereka. Pada tahun 1975 dan 1993 pemerintah RI menetapkan Ngurah Rai dan Ketut Jelantik sebagai Pahlawan Nasional (Komandoko,2008).
Dari kalangan Kristen, Frans Kaisepo yang belum lama ini diabadikan dalam uang kertas RI pecahan 10.000 merupakan Pahlawan Nasional. Sebelum itu, namanya sudah diabadikan sebagai nama bandara di Biak, Papua dan diabadikan sebagai nama kapal perang Indonesia, KRI Frans Kaisepo. Ia ditetapkan melalui SK Presiden RI No. 077/TK/Tahun 1993. Nama IRIAN merupakan ide ciptaan dirinya yang berarti Ikut Republik Indonesia Anti Netherlands. Berkat bantuannya TNI dapat mendarat di Irian Barat untuk melakukan operasi militer Trikora (Tri Komando Rakyat). Trikora dilaksanakan untuk membebaskan Irian Barat (Komandoko,2008).
Dari kalangan Peranakan Tionghoa diwakili oleh John Lie. Lalu, ia berganti nama menjadi Jahja Daniel Dharma (Santosa,2012). Keahliannya dalam menerobos blokade Angkatan Laut Kerajaan Belanda hingga ia mendapat “Hantu Selat Malaka”. Laksamana Muda merupakan pangkat tertinggi yang pernah diraih pejuang peranakan Tionghoa di RI. Berkat jasa dan sumbangsihnya untuk RI pada 9 November 2009, John Lie dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Selain itu, namanya juga diabadikan sebagai nama kapal perang, KRI John Lie.
Republik Indonesia sudah fitrahnya berdiri di atas keberagamaan. Kaum muda perlu semakin dini diperkenalkan dengan jasa-jasa para pahlawan yang terdiri dari beragam latar belakang (suku, agama). Kemajemukan sudah jadi bagian tidak terpisahkan dari Indonesia. Salah satu kekayaan bangsa Indonesia yang memersatukan adalah Pancasila. Alm. Gus Dur pernah mengungkapkan, “Tanpa Pancasila, negara akan bubar. Pancasila adalah seperangkat asas dan ia akan ada selamanya. Ia adalah tentang negara yang harus kita miliki dan kita perjuangkan.”
Kebesaran hati para pendiri bangsa sudah teruji kala mereka rela dan ikhlas untuk menghilangkan 7 kata dalam Piagam Jakarta. Dalam sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 17 Agustus 1945 petang, beberapa perwakilan Indonesia Timur menyampaikan keberatan terhadap 7 kata tersebut.
Esoknya, Moh. Hatta, K.H. Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusuma, Kasman Singodimejo, dan Teuku M. Hasan membahas hal tersebut dan bersepakat mengubah sila pertama menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”. Spiritnya satu: merangkul seluruh elemen bangsa dalam NKRI (Iyubenu,2015).
Penyadaran terhadap karunia keberagaman (suku, agama) di bumi Indonesia merupakan proses yang perlu terus digaungkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Khususnya, internalisasi terhadap nilai keberagaman perlu digiatkan penyebarannya dalam institusi-institusi pendidikan. Generasi muda perlu disadarkan bahwa terdapat perbedaan antara pluralisme dengan kebenaran agama. Menurut Guru Besar Filsafat dari STF Driyarkara, Jakarta, Prof. Franz Magnis Suseno menyatakan, “Menerima secara positif dan hormat kepada agama lain bukan berarti harus mengatakan semua agama sama. Sikap pluralitas adalah mampu hidup berdampingan dengan menerima umat beragama yang berbeda.”
Pancasila dan Presiden Joko Widodo
Salah satu pembeda Bangsa Indonesia adalah Pancasila. Dalam pidato 1 Juni 1945, Ir. Soekarno menawarkan konsepsi yang dikenal sebagai Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara Indonesia merdeka. Dalam pidato tersebut beliau mengungkapkan bahwa sila-sila itu adalah kearifan masyarakat Nusantara yang telah dihidupi selama ratusan bahkan ribuan tahun. Dengan jelas dan rendah hati beliau menegaskan bahwa dirinya bukan menemukan hal baru tetapi sekedar menggali dari khasanah budaya Nusantara (Tobing,2012).
Pemilihan dasar negara Pancasila sungguh karunia yang disadari sedari awal oleh para pendiri bangsa. Mereka memahami bahwa NKRI dapat terus melaju dan hidup jika ada ideologi pemersatu. Ideologi yang dapat merangkul segenap warga bangsa dengan keanekaragamannya. Ideologi yang menegaskan, meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya Bangsa Indonesia merupakan satu kesatuan.
Kekhasan dasar negara Pancasila yang mampu merangkul segenap warga bangsa, beragam kekayaan adat, suku dan agama adalah Nasionalisme Indonesia. Ciri dari Pancasila adalah nasionalisme religius, yakni nasionalisme yang tetap menjadikan agama sebagai dasar, namun agama yang dimaksud di sini bukanlah satu agama tertentu, melainkan seluruh agama yang diakui oleh negara (Nasih,2012).
Presiden RI ke-7, Ir. Joko Widodo mencatat sejarah dengan menetapkan tanggal 1 Juni sebagai hari libur nasional. Hari libur nasional tersebut untuk memperingati kelahiran Pancasila. Penetapan itu dibuat melalui Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila. Penetapan 1 Juni sebagai hari libur nasional merupakan salah satu upaya Joko Widodo untuk menghidupkan kembali Pancasila sebagai roh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (Swandaru,2017).
Gebrakan pemerintahan Jokowi untuk menggenjot pembangunan infrastruktur dan memeratakan pembangunan dari daerah pinggiran adalah merupakan perwujudan Sila Kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Paling kekinian adalah Jokowi membentuk UKP PIP (Unit Kerja Presiden Pemantapan Ideologi Pancasila).
Pembentukan UKP PIP merupakan pondasi baru dalam menerapkan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui unit kerja tersebut juga akan menggodok kurikulum yang akan kembali memasukkan Pancasila sebagai mata pelajaran dan mata kuliah wajib di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Jokowi menyadari bahwa melalui pendidikan merupakan cara terefektif untuk internalisasi ideologi Pancasila.
http://basabasi.co/7-kata-yang-dihapuskan-sejarah-piagam-jakarta/, diakses 20 Januari 2017.
Komandoko, Gamal. 2008. 125 Pahlawan dan Pejuang Nusantara. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Nasih. Mohammad. Pancasila dan Nasionalisme Religius. Seputar Indonesia. 31 Mei 2012.
Santosa, Iwan. 2012. Peranakan Tionghoa di Nusantara: Catatan Perjalanan dari
Barat ke Timur. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Swandaru, Diasma Sandi dalam Abi Sarwanto.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170601171306-20-218749/menghidupkan-pancasila-di-era-jokowi/. Diakses 3 Juli 2017.
Tobing, Jakob. http://www.leimena.org/id/page/v/646/pancasila-rumah-kita. Diakses April 2017.

0 komentar:

Posting Komentar