Cari Blog Ini

Selasa, 22 Agustus 2017

FPI Ber-paradigma Baru Menjaga NKRI, “Bendera RI Terbalik, Kok Diam?”



Faktor sengaja atau tidak sengaja terbaliknya bendera Republik Indonesia (RI) saat Sea Games Malaysia bnerlangsung tentu saja menimbulkan tanda tanya besar bercampur geram dari sebagian besar rakyat Indonesia
Terbaliknya bendera Negara Indonesia ini tentu saja tidak masuk nalar logika, andai pun Malaysia berkilah tidak tahu warna bendera RI, “Kalau itu jawaban pihak kenegaraan Malaysia, ya tinggal klik geogle saja warna bendera Indonesia pasti telah terdaftar”.
Saat sebagian besar warga Negara RI tidak terima akan hal ini, namun salah satu Ormas mengaku memiliki pengikut 7 juta anggota yang sangat cinta akan persatuan dan kesatuan dan merawat ke-bhineka-an negara ini tidak keluarkan sepatah kata pun terkait peristiwa itu.
Padahal di peristiwa yang berdekatan dengan terbaliknya bendera NKRI itu, bertepatan ormas FPI juga merayakan Milad ke-19 yang diperkirakan hadir ribuan orang bertajuk “Merawat Kebhinekaan dalam Bingkai NKRI Bersyariah” itu, Imam Besar FPI Muhammad Rizieq Hussein Shihab turut menyampaikan pidato dari Tanah Suci Makkah.
Menurut Habib Rizieq, milad ke-19 FPI yang bertepatan dengan peringatan 72 tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia memiliki dua makna penting, yakni kemerdekaan dan keberkahan. Kemerdekaan berarti Indonesia harus bisa melepaskan diri dari perbudakan, penindasan, tekanan, kebohongan, beban utang, kemiskinan dan pengangguran. Sedangkan keberkahan hanya dapat tercapai jika penduduknya beriman dan bertakwa.
“Namun untuk mencapai tujuan itu diperlukan kerjasama. Untuk menuju Indonesia berkah, kita tidak bisa bekerja sendiri,” kata Habib Rizieq.
Tommy Suharto yang juga turut hadri dalam perayaan itu berharap perayaan milad ke-19 FPI ini bisa menjadi modal utama untuk merapatkan barisan semua elemen masyarakat di negeri ini demi menjalin persatuan dan kesatuan.
“Semoga semangat kebersamaan yang ditunjukkan pada Milad ke-19 FPI ini menjadi modal untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik, lebih berdaulat, lebih bermartabat dan lebih sejahtera untuk rakyatnya,” katanya.http://www.galamedianews.com/nasional/158257/tommy-suharto-fpi-itu-modal-bagi-indonesia-yang-lebih-berdaulat.html
Jadi apakah makna persatuan dan kesatuan dan merawat kebhinekaan menurut ormas ini?. ntahlah mari sama-sama bingung.
Apakah Berubahnya Paradigma FPI Agar Tidak Terbentur Perpu Ormas
Tema yang diusung FPI pada milad ke-19 memang berbau nasionalis dan jiwa kebanggsaan, apakah perubahan paradigm yang dilakukan FPI ini untuk hindari benturan dengan Perpu Ormas yang dikeluarkan pemerintah?.
Selain perubahan paradigma yang dilakukan FPI, perlawana demi perlawanan menolak diterbitkannya perpu Ormas ini juga terus dilakukan para petinggi dan kuasa hukum ormas FPI hingga uji materil ke Mahkamah Konstitusi.
Seperti Ketua Advokasi Hukum FPI Zainal Abidin Petir mengatakan perlu ada tolok ukur jelas soal kegentingan yang memaksa Presiden Joko Widodo meneken peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu)
“Jangan ada kesan bahwa Presiden mengeluarkan perpu karena tidak puas dengan sanksi dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas),” kata Petir dalam wawancara dengan Antara di Semarang, Minggu, 16 Juli 2017.
Petir menanggapi Perpu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Ormas. Dalam perpu itu, disebutkan bahwa Undang-Undang Ormas mendesak untuk segera dilakukan perubahan karena belum mengatur secara komprehensif mengenai keormasan yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga terjadi kekosongan hukum dalam hal penerapan sanksi yang efektif.
Petir menuturkan Presiden memang berhak menetapkan perpu sebagaimana ketentuan dalam konstitusi, Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945. Namun, ada syaratnya, yakni dalam kondisi kegentingan yang memaksa (vide Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan).
Namun, dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82 Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, pasal itu dinilai cukup jelas atau tidak ada definisi “kegentingan yang memaksa” sehingga perlu ada batasan yang jelas agar tidak mengedepankan subyektivitas.
“Nah, apakah kondisi sekarang sudah sangat genting? Padahal keberadaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 sudah cukup untuk menjatuhkan sanksi kepada ormas yang dianggap bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945,” ucapnya.
Petir menyatakan, “Sangat bahaya kalau dalam pembuatan undang-undang kepentingan pribadi atau golongan masuk karena undang-undang itu untuk mengatur rakyat supaya tertib dan ada kepastian hukum. Semua harus merasa terlindungi, itu asas pembuatan peraturan-peraturan perundang-undangan.”
Setidaknya, menurut Petir, parameter kegentingan adalah adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat. Berikutnya, undang-undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau undang-undang sudah ada, tapi tidak memadai.
Kekosongan hukum, kata dia, tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa (jalur legislatif) karena akan memakan waktu yang relatif sangat lama, sementara keadaan sangat mendesak untuk segera diselesaikan.
Lagi pula, UUD 1945 Pasal 28 E ayat (3) memberikan jaminan kepada setiap orang berhak berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Begitu pula, dia melanjutkan, dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, setiap orang berhak berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai.
“Ini era demokrasi. Jangan sampai pemerintah justru membungkam ide dan kreativitas rakyat dalam melakukan pengawasan dan kritik membangun,” ujar Ketua Advokasi Hukum FPI ini.https://nasional.tempo.co/read/news/2017/07/17/078891899/bagian-hukum-fpi-tanggapi-perpu-ormas-yang-diteken-jokowi

0 komentar:

Posting Komentar