Cari Blog Ini

Selasa, 01 Agustus 2017

ISIS 'melatih generasi baru' teroris Indonesia

Warga Indonesia yang bergabung ISIS di Suriah dan kembali ke Indonesia, dikhawatirkan akan menjadi "ancaman baru"

Keberadaan kelompok militan Negara Islam atau disebut ISIS di Suriah dan Irak dapat menjadi tempat pelatihan bagi gelombang lahirnya para pelaku peledakan bom di Indonesia, kata ahli terorisme Sidney Jones.
"Kalau ada orang yang punya pengalaman di Suriah bisa kembali ke Indonesia, dia bisa jadi pemimpin dengan kredibilitas yang baru, dengan keterampilan yang lebih tinggi, dengan komitmen ideologi yang lebih mendalam," kata Sidney Jones.
Pimpinan Institute for Policy Analysis of Conflict ini juga mengatakan, warga Indonesia pendukung ISIS yang baru kembali dari Suriah "bisa betul-betul menghidupkan dan melatih sel-sel teroris yang masih ada di Indonesia dan itu bahayanya."

Berikut tanya-jawab Rebecca Henschke dengan Sidney Jones tentang dukungan warga Indonesia terhadap ISIS setelah serangkaian serangan di Paris, Prancis.

Bagaimana Anda melihat reaksi sejumlah warga Indonesia yang mendukung aksi serangan di Paris?
Sulit untuk dibilang secara pasti. Kalau kita lihat jumlah orang yang berbai’at kepada ISIS pada bulan Juli tahun lalu, setelah khilafah diumumkan, mungkin sekitar 2000 orang dan pasti lebih besar daripada itu sekarang. Tapi jelas bahwa kalau dilihat secara keseluruhan hanya segelintir orang Indonesia (yang) mendukung, sebetulnya.
Dan yang berangkat ke Suriah?
Yang berangkat ke sana (Suriah), kalau totalnya mungkin sekitar 400; tapi itu terdiri dari sekarang ini 50 orang yang sudah meninggal dan sebagian besar setelah 1 Maret tahun ini – jadi banyak yang meninggal dalam bulan-bulan terakhir ini. Terus, ada sekitar 200–250 mujahidin yang betul-betul ikut pasukan ISIS. Tapi yang menarik untuk saya, ada sekitar 130 orang yang terdiri dari perempuan dan anak di bawah umur 15 tahun karena banyak yang datang ke sana bersama keluarga.
Itu datanya dari mana, dan apakah pelacakan di Indonesia cukup bagus?
Ini semacam kombinasi dari angka resmi dan data yang kami kumpulkan sendiri. Dan kalau kita lihat biodata, dengan nama dan data lain dari orang-orang itu, hanya sekitar 150-an orang fighter yang kita sudah tahu datanya secara lengkap. Dugaannya lebih dari itu, karena pasti tidak semua sudah teridentifikasi. Yang menarik, pada awalnya sebagian besar adalah anggota dari organisasi radikal yang sudah kami tahu – organisasi yang sudah ada, seperti Darul Islam, seperti JAT (Jamaah Anshorut Tauhid), seperti organisasi macam itu. Tetapi baru-baru ini, ada orang yang juga bergabung, yang tidak pernah ikut dengan organisasi radikal, yang tertarik oleh propaganda ISIS.
Kenapa mereka tertarik? Bukankah tidak ada diskriminasi terhadap orang-orang Islam di sini, tidak ada perang di Indonesia saat ini... Kenapa mereka mau pergi ke Suriah bersama keluarga untuk berperang di situasi yang sangat tidak nyaman?
Ya, saya kira mungkin yang paling berhasil dari propaganda ISIS, ada ide bahwa ISIS adalah satu-satunya negara Islam di mana syariat Islam bisa diterapkan secara penuh dan itulah yang menarik banyak orang di Indonesia. Apalagi dengan video-video orang yang sangat senang... yang bisa hidup seperti biasa, seperti tidak ada perang sama sekali. Dan saya kira... apalagi dengan sekolah gratis, dengan rumah gratis, dan... saya kira itu bisa menjadi pull (daya tarik) yang cukup besar.

Tapi di samping itu ada juga ide bahwa menurut beberapa hadits, perang akhir zaman akan terjadi di Syam (Suriah), dan ini kesempatan untuk orang Indonesia dan sebetulnya orang di mana saja untuk ikut dalam perang yang terakhir di mana Islam akan menang. Dan itu juga bisa jadi satu faktor atau motivasi yang sangat kuat.
Indonesia juga sudah memiliki program deradikalisasi dan ada badan pemberantas terorisme (BNPT) di sini dan banyak dana mengalir ke sana, dan apakah mereka gagal untuk mengimbangi propaganda ini?
Ya sebetulnya program deradikalisasi atau kontra radikalisasi sampai saat ini tidak begitu efektif. Tapi saya kira sulit untuk cari negara manapun di dunia, di mana program deradikalisasi atau kontra-radikalisasi betul-betul efektif. Lihat saja Prancis, misalnya. Ada begitu banyak program yang dilakukan dan tetap ada orang yang mau bergabung. Dan di sini, saya kira, di Indonesia mungkin tugasnya lebih sulit lagi karena tidak ada konsensus sama sekali di antara tokoh agama dan tokoh politik tentang apa itu ekstremisme. Ada yang bilang bahwa, misalnya, Wahabi lebih bahaya daripada orang-orang yang bergabung dengan ISIS. Tanpa konsensus itu, akan mustahil mendapatkan satu program yang betul-betul efektif. Apalagi, saya kira, masih ada masalah besar dengan penjara di Indonesia karena banyak jaringan rekrutmen memang ada orangnya yang sudah ditahan di salah satu penjara di Indonesia, dan pengawasan terhadap penjara sangat lemah.
Apa yang terjadi di penjara?
Misalnya ada yang bisa berkomunikasi dengan teman-teman. Ada orang yang misalnya memegang nomor kontak orang di perbatasan Turki dan Suriah. Kalau mau nyebrang dari Turki ke Suriah harus dapat contact number itu. Dan kadang-kadang, justru napi terorisme atau temannya yang punya nomor kontak begitu.
Salah satu orang yang terkenal adalah Aman Abdurrahman, orang ideolog yang baru-baru ini menerjemahkan pernyataan ISIS bahwa mereka bertanggung jawab atas serangan di Paris. Dialah yang menerjemahkan dari Bahasa Arab ke Bahasa Indonesia. Dan dia ditahan di salah satu penjara yang super maximum security, tapi tanpa kesulitan apapun dia bisa menyebarkan propaganda itu melalui handphone.
Dan kalau mereka balik ke Indonesia, ada kekhawatiran mereka akan membuat bom seperti Bali 2002, seperti yang dilakukan alumni Afghanistan?
Ya, saya juga khawatir bahwa resiko terorisme sekarang ini lebih tinggi daripada tahun-tahun sebelumnya. Sejak tahun 2009, waktu ada pemboman hotel di Jakarta, sebetulnya tidak ada pemboman yang betul-betul berhasil dan aksi terorisme lebih bersifat tembakan yang diarahkan kepada polisi. Tapi sekarang ini, saya kira, target juga bisa berubah. Bukan bahwa target terhadap polisi atau targeting domestic akan berhenti, tapi mungkin akan ditambah lagi dengan orang asing, seperti dulu dengan Nurdin (M) Top, itu satu.
Tapi juga saya kira, kalau ada orang yang punya pengalaman di Suriah bisa kembali ke Indonesia, dia bisa jadi pemimpin dengan kredibilitas yang baru, dengan keterampilan yang lebih tinggi, dengan komitmen ideologi yang lebih mendalam, yang bisa betul-betul menghidupkan dan melatih sel-sel teroris yang masih ada di Indonesia dan itu bahayanya.

0 komentar:

Posting Komentar