Cari Blog Ini

Rabu, 16 Agustus 2017

Khilafah HTI Menentang Pancasila, Beda Jauh dengan Khilafah Versi Tuhan


Beranikah kita berfikir, bahwa jika kita menginginkan sesuatu terjadi, Tuhan pasti akan menuruti ? Kalau demikian kejadiannya, maka niscaya dunia ini akan penuh dengan hal-hal ajaib. Karena keinginan manusia tidak akan mampu menjangkau masa depan, jadi ketika dia membayangkan sesuatu, kebutuhan saat itulah yang mampu difikirkannya. Panggung sulap tidak akan semenarik seperti saat ini, karena semua orang bisa melakukannya.
Sayangnya dunia bukanlah panggung sulap, yang seketika bisa mengubah hal yang tidak mungkin menjadi sebaliknya. Hukum Tuhan bukanlah seperti sihir atau akrobat. Hukum Tuhan bersifat kekal, seperti difirmankannya dalam semua kitab suci. Jika menurut hukum, suatu benda harus mengikuti proses pembentukan, bertahap dari bentuk sederhana hingga mencapai kelengkapannya, dan bukan tiba-tiba muncul di hadapan, maka selamanya akan berlaku seperti itu.
Adapun ruang yang disediakan bagi kita untuk meminta kepada-Nya, harus memenuhi batas dan persyaratan tertentu, yang mengikuti ketetapan-Nya pula, tidak lebih dan tidak kurang. Dan meskipun karena kemurahan-Nya sekalipun, Dia senantiasa mendengar doa makhluknya, tetapi cara-Nya menerima do’a, tidak seperti orangtua kita mengabulkan permintaan anaknya.
Mari kita analogikan uraian di atas dengan kondisi masyarakat sekarang, yang katanya sarat dengan manusia berilmu. Tetapi justru karena ketinggian ilmunya, ketika pada saatnya, terkesan memaksa Tuhan menuruti kehendak hatinya. Dan atas pemahamannya yang terbatas itu, bahwa saat ini Tuhan seharusnya meluluskan kehendak mereka mendirikan Khilafah, yakni kepemimpinan islami, yang berorientasi syariah Tuhan.
Repotnya terminologi syariah versi mereka, menafikan kaidah yang selalu dibawa para utusan Tuhan di masa lalu. Jika kehendak dan permohonan mereka itu tidak membawa misi kekuasaan secara politik, sebenarnya tidaklah salah dan sah-sah saja. Sebagaimana Tuhan berfirman dalam Al Qur’an, bahwa “Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal salih untuk menjadikan mereka sebagai khalifah di muka bumi ini sebagaimana Ia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka sebagai khalifah, menyebarkan bagi mereka agama yang telah diridhainya untuk mereka secara merata dan menggantikan ketakutan mereka dengan rasa keamanan (sehingga) mereka dapat menyembah-Ku dan tidak menyekutukan-Ku. Barangsiapa ingkar setelah itu, merekalah orang-orang yang fasiq.” (Surah an-Nûr (24) : 56)
Persoalannya, dengan jaminan Tuhan di atas, tidaklah lantas berarti kita berhak untuk memintanya kapanpun kita inginkan. Karena Tuhan tentu memiliki rencana, yang tidak secara terang dikabarkan, sebagaimana wujud-Nya yang Maha ghaib, kita tidak mengetahui kapan dan siapa yang Dia kehendaki menyandang predikat utusan-Nya.
Jika ditemukan sekelompok orang menyuarakan kepada khalayak untuk menggalang pembentukan komunitas negara, atau khilafah dengan istilah apa pun, patut dipertanyakan atas nama apa mereka berani menyuarakan doktrinnya. Jika atas nama Tuhan mereka masuk ke ranah politik dengan itikad pembentukan negara, kita yakin hal itu semata-mata didorong oleh agenda kekuasaan dunia semata.
Sementara Tuhan, seperti dalam sejarah setiap para nabi dan utusan-Nya mendakwakan diri, mereka tidak pernah menyentuh wilayah kekuasaan dunia. Lihatlah riwayat para raja di masa lalu, yang selalu mengangkat bendera permusuhan dengan para nabi, bukanlah karena alasan perebutan kekuasaan, melainkan karena kekhawatiran mereka semata atas kekuatan moral dan spiritual para penghamba Tuhan itu.
Sangat jauh bedanya ketika masa para nabi dan penyeru manusia untuk kembali kepada Tuhan, dibanding kini para pengusung pendirian negara syariah, yang tidak melepaskan isu memperoleh kekuasaan politik, wajar jika pemerintah yang sah di semua negara akan bangkit menghadang gerakan serupa itu.
Khilafah yang sejati tidak mungkin merongrong kehidupan negara yang sudah berdiri tegak. Ironisnya, tidak sedikit sosok pemuka masyarakat yang terjebak dalam paradigma keliru tentang khilafah. Maka penting untuk dipahami, bahwa kedekatan hati manusia kepada Tuhannya, terlalu berharga untuk dinodai dengan ambisi kekuasaan duniawi. Dan misi khilafah yang hadir di tengah-tengah masyarakat nanti, haruslah memiliki karakteristik demikian.
Bahwa Tuhan ingin menetapkan siapa sesuai yang dikehendaki-Nya, sebagaimana sepanjang zaman yang kita ketahui, Dia hanya mengabarkan kepada orang yang spesifik. Maka satu hal lagi yang perlu menjadi pemahaman kita, cermatilah dia yang mendakwakan diri nanti sebagai pembawa misi itu.
Sungguh disesalkan, sejarah selalu berulang, tidak pernah satu kali saja, di masa seorang utusan yang benar, mengaku kepada masyarakat terdekatnya sekali pun, langsung disambut gembira. Hal yang selalu terjadi, justru penistaan demi penistaan, dan tidak jarang menjadi sasaran pembunuhan. Tetapi pembuktian bahwa dia seorang yang benar, akan tiba melalui fenomena ini, meskipun sekuat tenaga mereka mengerahkan upaya penghancuran, Tuhan selalu menyelamatkan dia yang berada atas nama-Nya.
Kesimpulan kita, jika pengakuan pendirian khilafah itu memiliki implikasi membawa misi politik kekuasaan, kita harus meyakini hal itu bukan berasal dari Tuhan, karena politik Tuhan tidak pernah menisbatkan seseorang pembela-Nya menjadi penguasa dunia. Lebih-lebih jika pengaku khalifah justru menyebarkan teror, menebar kehancuran, berlaku intoleran dan mengkampanyekan permusuhan.
Di lain pihak, jika kita bertemu dengan dia yang mendeklarasikan dirinya pengusung misi mengembalikan manusia ke hadapan Tuhan, hendaknya kita tidak secara frontal menentang, melainkan pelajari dan selidiki dengan seksama. Pertimbangan kita hanya satu hal, Tuhan jauh-jauh hari telah memberi kabar ghaib tentang kedatangan khalifah akhir zaman.
Banyak hal yang dapat dilakukan untuk menguji kebenaran dia, lebih-lebih di era teknologi serba maju. Setiap hal bisa menggunakan metode paling baik, sehingga membawa keyakinan yang tinggi untuk menetapkan sesuatu bernilai positif atau negatif.

0 komentar:

Posting Komentar