Cari Blog Ini

Selasa, 15 Agustus 2017

NKRI Harga Mati, HTI Produk Asing, Khilafah Negara Impian Idiot

Pada hakikatnya NKRI adalah negara kebangsaan modern, yang didirikan berdasarkan semangat kebangsaan, yaitu sebuah semangat masyarakat membangun masa depan bersama dalam satu negara, yang walaupun berbeda-beda agama, ras, etnis dan golongan, tetapi tetap bersatu dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
NKRI adalah negara berdaulat, yang diciptakan oleh Tuhan, dan milik Tuhan, bukan milik HTI. Kalau di negara asalnya, HTI tak berkembang, mestinya HTI sadar, berarti HTI tak dikehendaki oleh Tuhan berada di planet bumi ini. Solusinya, HTI harus cari planet lain.
Planet Mars sepertinya sangat cocok bagi HTI mengembangkan konsep khilafah. Di Mars wilayahnya masih luas dan belum ada manusia yang menempatinya. HTI bisa sebebas-bebasnya menjadikan Alien sebagai anggota. Merupakan lompatan luar biasa jika HTI menjadi perintis pertama menempati planet Mars, atau bisa ke Asgardia yang merupakan negara luar angkara.
Khilafah, yang dalam arti modernnya adalah negara Islam, adalah negara impian para idiot, yang hanya menjanjikan sorga di telinga tapi menciptakan neraka di hati. Konsep khilafah tidak realistis, anti demokrasi, anti keberagaman dan penuh ilusi kesempurnaan. HTI tidak menyadari bahwa namanya masih manusia yang menempati dunia tidak akan luput dari kesalahan dan kehilafan.
Tak ada yang bisa menjamin pemimpin khalifah tidak akan korupsi. Tak ada yang bisa menjamin orang HTI tidak akan menjadi diktator. Tak ada yang bisa menjamin pemimpinnya akan adil bagi semua orang. Kemungkinan yang bakal terjadi adalah perebutan kekuasaan seperti yang terjadi di Timur Tengah, yang sampai saat ini tak kunjung selesai dan negara mereka hancur lebur.
Arab Saudi yang notabenenya merupakan negara asal agama Islam tidak menggunakan sistem khilafah, tapi yang mengherankan  HTI tetap ngotot menjadikan Indonesia sebagai khilafah.

Konsep khilafah yang memaksakan sistem salah satu agama sebagai hukum negara, yang getol (diligent) diperjuangkan HTI merupakan bentuk pemberontakan terhadap Negara Kesepakatan Rakyat Indonesia. Disebut pemberontakan karena Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terdiri atas beragam agama, ras, suku dan budaya yang berbeda, yang tersebar di seluruh wilayah nusantara dan telah disepakati dan diakui oleh para pendiri bangsa sebagai negara yang Bhinneka Tunggal Ika.
Keinginan keras HTI memaksakan sistem salah satu agama sebagai hukum positif negara sama saja dengan menghidupkan kembali ide-ide sesat DI/TII. Bayang-bayang ide anti demokrasi tersebut tampak jelas dalam HTI. Pemerintah dan rakyat sudah 30 tahun lebih terlalu toleran terhadap HTI yang menganut paham radikal tersebut. Langkah pemerintah yang telah membubarkannya patut kita dukung dan apresiasi.
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) bukan kelompok dakwah, tapi gerakan politik yang mengemas dirinya dengan agama. Menurut Saiful Mujani Research Consulting (SMRC), warga yang tahu tentang keberadaan HTI hanya 28,2 persen. Sisanya sebanyak 71,8 persen tidak tahu tentang keberadaannya.
Hasil survey SMRC juga menunjukkan bahwa warga yang tahu cita-cita HTI mendirikan negara Islam (khilafah) hanya  56,7 persen, sedangkan yang tidak tahun 43,4 persen.Warga yang tidak setuju dengan perjuangan HTI sebanyak 68,8 persen, sedangkan yang setuju hanya 11,2 persen, sisanya 20 persen tidak menjawab.
Dari survey SMRC terlihat bahwa masyarakat yang setuju dengan HTI hanya 11,2 persen; sedangkan yang setuju HTI dibubarkan oleh pemerintah sebanyak 78,4 persen. Ini artinya HTI adalah organisasi berbahaya bagi keutuhan NKRI, mungkin lebih berbahaya dari PKI dan organisasi radikal lainnya.
Berikut ini adalah sejumlah konsep HTI yang membahayakan keutuhan NKRI. Pertama, HTI menilai NKRI sebagai konsep kufur (atheis) atau kafir (infidel). Karena itu, HTI tidak percaya bahwa Indonesia bisa berdiri independen sebagai sebuah bangsa. HTI menghendaki pemimpin pemerintan Indonesia harus tunduk pada pemimpin yang disebut khalifah. Khalifah yang dimaksud  boleh berada di negara lain, seperti Arab Saudi, Irak atau di Iran.
Kedua, HTI telah kehabisan banyak energi sia-sia berjuang untuk menjadikan Indonesia sebagai bagian dari khilafah. Menurut HTI, pemimpin Indonesia yang menolak keputusan khilafah bisa diganti; lebih berbahaya adalah jika tetap menolak, Indonesia bisa diberi sanksi oleh khalifah bahkan bisa diperangi.
Ketiga, HTI tidak percaya empat pilar bangsa (Pancasila, UUD 45, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika) dan semua rujukan konstitusi negara. Juga tidak percaya pada pemilu dan demokrasi. Selama ini mereka terlihat percaya, itu hanya kamuflase, karena HTI begitu yakin bahwa suatu saat Indonesia bisa diubah menjadi bagian dari khilafah Islam.
Keempat, HTI mengistimewakan warga Muslim, bersikap diskriminatif terhadap warga non-Muslim. Dalam hal pemilihan pemimpin, warga non-Muslim tidak diberi hak politik yang sama. Partai politik hanya dibolehkan untuk parpol Islam. Jika ada pemilu hanya boleh diikuti oleh umat Islam. Pemilu bagi HTI hanya merupakan pilihan terakhir. Bagi HTI yang ideal dalam memilih pemimpin adalah melalui keputusan organisasi, yaitu  semacam majelis alim-ulama yang mempersatukan para ulama dan cerdik pandai.
Kelima, HTI anti keberagaman hukum. Tidak percaya parlemen untuk mengendalikan khalifah dan pemerintah. HTI menganggap tidak perlu Undang-Undang yang dibuat oleh wakil rakyat di parlemen. Bagi HTI, Syariah (hukum Islam) sudah cukup.Tapi jika diperlukan atau ada kebutuhan untuk mengeluarkan aturan, khalifah dan pembantu-pembantunya dapat membuat peraturan yang mengikat seluruh warga.
Keenam, model kepemimpinan HTI bukan demokrasi, tapi berbentuk diktaktor. Pemimpin yang terpilih diteguhkan dengan cara dibaiat (disumpah). Rakyat harus tunduk dan percaya padanya. Seorang khalifah harus merujuk pada Syariah (hukum Islam). Kepemimpinannya tidak memiliki batas waktu. Ia baru diganti jika wafat, atau kepemimpinannya tidak didasarkan pada Syariah, atau memimpin dengan cara yang lalim atau zalim (tyrannical), dan jika melanggar Syariah bisa dtiumbangkan dengan kekerasan.
Bagi sebagian umat Islam, retorika Hizbut Tahrir mengembalikan kejayaan Islam menarik, tapi jika dipelajari ternyata sistem pemerinthan yang ditawarkan HTI bertentangan dengan konsep NKRI dan membahayakan keutuhan bangsa.
HTI merupakan manifestasi baru dari DI/TII, yang membuai masyarakat dengan jargon-jargon agamis, tetapi sebenarnya wujud nyata HTI adalah serigala berbulu domba dan iblis yang memakai parfum.
Iblis yang memakai parfum memiliki cara kerja yang halus. Berbeda dengan iblis di desa yang memakai jahe sebagai alat bantu untuk komat-kamit, cara kerjanya kasar dan mudah diketahui dari bau jahe yang menyengat. Sementara iblis yang memakai parfum membuat sebagian orang mudah terjebak oleh bau parfum yang mewangi semerbak.
Kalau Felix Siauw mengatakan bahwa HTI tidak melanggar Pancasila, itu adalah pembohongan kepada publik, karena konsep khilafah yang diusung HTI jelas-jelas tidak hanya bertentangan dangan Pancasila, tetapi juga bertentangan dengan NKRI, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika.
Bau harum parfum agamis Felix Siauw Cs ternyata sangat beracun dan berbahaya, karena melunturkan rasa nasionalisme, anti Pancasila, anti NKRI,  anti UUD 1945, anti kebhinekaan, dan anti Negara Kesepakatan Rakyat Indonesia.
Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas yang dikeluarkan oleh pemerintah bukan kemunduran bagi demokrasi, tetapi menyelamatkan demokrasi dari usaha HTI yang berniat menggantinya dengan khilafah.
Presiden Jokowi dan para pembantunya tidak keliru membubarkan HTI. Karena HTI telah menjadi benalu demokrasi. Apakah dibiarkan? Tentu tidak!
HTI juga telah melakukan pembohongan masif kepada publik dengan cara meramaikan wacana waspada terhadap kebangkitan PKI dan komunisme gaya baru. Ternyata wacana yang dikemukakan oleh HTI hanya ilusi dan untuk mempertahankan eksistensinya , karena HTI tak dapat membuktikan keberadaan PKI dan aktivitasnya. Mungkinkah yang dimaksudkan dengan komunis gaya baru adalah HTI sendiri?
Orang-orang yang keberatan terhadap pembubaran HTI seperti Amien Rais, Din Syamsudin, Yusril Ihza Mahendra, adalah orang-orang yang mau mencari panggung lagi. Mereka adalah oang-orang yang tak pernah puas dengan kekuasaan. Amien Rais misalnya, ia empat kali “merombak” UUD 1945, tapi sampai kini tetap tak puas.
Fahri Hamzah dan Falid Zon, yang juga keberatan terhadap pembubaran HTI, memiliki motivasi lain, yaitu tetapi ingin menggenggam kekuasaan dan terus menikmati kursi empuk.
Mereka tidak peduli dengan keselamatan bangsa dan negara dari rongrongan organisasi berkedok agama seperti HTI. Bagi mereka, yang terpenting adalah kekuasaan, kenikmatan dan kemewahan dunia. Terus nyinyir, bersilat lidah dan mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang bombastis dan membodohi rakyat.

0 komentar:

Posting Komentar