Sobat sudah sadar kan kalau Tanah Air kita, Indonesia tercinta ini sedang darurat toleransi? Toleransi itu adalah cara pikir, keyakinan pandangan dan kesadaran kita akan keragaman, keterbatasan dan kenisbian. Dari cara pikir yang benar tentang toleransi, maka akan terlihat prakteknya dari sikap dan perilaku kita. Toleransi adalah dasar dari sikap toleran.
Saat otak dan akal kita sudah bisa menerima bahwa ada probabilitas lain dalam berpendapat, bahwa perbedaan itu akan selalu ada dan tidak perlu diperuncing, kita sudah bisa dikatakan toleran sejak dalam pikiran. Ini sulit. Bahkan bisa dikatakan hampir mustahil, karena secara naluri manusia lebih suka dan lebih mudah menemukan perbedaan dibandingkan persamaan.
Sadarilah bahwa semua manusia itu berbeda. Tidak ada satu pun manusia di dunia yang sama persis 100% dengan lainnya, bahkan saudara kembar sekalipun. Tubuh manusia terdiri dari miliaran sel, dan setiap selnya terdiri dari 46 kromosom homolog, dengan sifat-sifat genetik DNA yang berbeda. Itu kalau ditinjau secara biologi. Kalau dibahas secara kimia, maka tubuh manusia terdiri atas 7 oktilion atom (dengan 27 buah angka nol!) yang terdiri dari proton dan neutron yang berbeda-beda pula yang mewujud menjadi inti atom (nucleus).
Ok, stop pembahasan yang serius ini. Sobat sudah paham penjelasannya bukan? Bahkan secara penampakan kasat mata pun masing-masing dari kita berbeda. Contohnya rambut manusia. Model rambut kita berbeda, jenis rambut kita berbeda, panjang rambut juga beda, warna rambut juga beda, dan ketebalannya juga berbeda. Tidak perlu diteliti dibawah mikroskop 😀
Pola pengasuhan dan didikan yang kita terima di masa kecil pun pasti berbeda, minat dan preferensi kita berbeda, hobi kita, bahasa kita, suara kita, tingkat kecerdasan kita, demikian juga ras, suku, agama, dan golongan kita. Intinya TAK ADA yang sama dan seragam. Maka disinilah toleransi mutlak diperlukan untuk mengatur asas-asas kehidupan sosial dalam rumahtangga, perusahaan, institusi-institusi negara, dan semua unit yang memuat lebih dari satu orang.
Kegagalan toleransi menghasilkan intoleransi. Intoleransi sangat berbahaya karena bisa memecah belah suatu entitas. Intoleransi adalah akar dari perselisihan dan kejahatan. Begitu pentingnya untuk menjaga dan mengembangkan budaya toleransi di Indonesia dan meniadakan intoleransi, hingga Presiden Jokowi pun menyerukan Revolusi Mental.
Revolusi mental merupakan urutan kedelapan dari sembilan poin, yang digagas Jokowi dalam program prioritas Nawa Cita, yang ditulis sendiri oleh beliau. Dalam artikel di Harian Kompas, 10 Mei 2014, beliau menulis:
“Jelas reformasi yang hanya menyentuh faktor kelembagaan negara, tidak akan cukup untuk menghantarkan Indonesia ke arah cita-cita bangsa seperti diproklamasikan oleh para pendiri bangsa. Apabila kita gagal melakukan perubahan dan memberantas praktik korupsi, intoleransi, kerakusan, keinginan cepat kaya secara instan, pelecehan hukum, dan sikap oportunis, semua keberhasilan reformasi ini segera lenyap bersama kehancuran bangsa”.
Namun sayangnya dewasa ini, toleransi dimaknai secara sempit. Toleransi disuarakan dengan keberanian kita mengkritik komunitas, suku, bangsa, golongan, dan agama kita sendiri. Contoh, seorang suku Minangkabau mengkritik sistem kekerabatan matrilineal dan perkawinan endogomi lokal yang dianggap sudah usang. Padahal warisan adat, budaya, tradisi dan nilai-nilai kearifan lokal itu semestinya dipelihara dan dipertahankan supaya tidak lenyap diterpa derasnya arus modernisasi.
Saya mendapatkan kiriman joke itu dari adik didalam grup WA keluarga, dan karena memang kami dianugerahi terlahir dengan ras China atau Tionghoa, maka saya langsung ngakaakk waktu baca lelucon itu. Tapi sejenak saya berfikir, kalau yang mengatakan/mengirimkan joke itu bukan orang yang sudah dikenal dengan baik, dan bukan orang yang terlahir dengan mata sipit, kira-kira bagaimana reaksi saya pas menerimanya? Apakah saya akan tersinggung, merasa terhina dan dilecehkan, atau merasa disindir?
Tergelitik oleh pemikiran itu, saya iseng mem-forward joke tersebut ke grup WA sebuah komunitas yang sudah saya kenal dengan sangat baik.  Penghuninya bisa dikatakan menyandang gelar manusia-manusia paling toleran, bersumbu panjang dan moderat. Dan ternyata tepat seperti dugaan saya sebelumnya, yang ikut komen dan ikut ngakak dengan lelucon itu hanya mereka yang terlahir dengan mata sipit saja.
Sedangkan mayoritas teman-teman yang lain memilih diam, tak berkomentar atau mereka pura-pura tidak membaca. Mungkin takut menyinggung kami. Nah ini seperti pembuktian dari pemikiran saya di atas, bahwa toleransi dimaknai secara sempit. Toleransi disuarakan dengan keberanian kita mengkritik komunitas, suku, bangsa, golongan, dan agama kita sendiri. Dan teman-teman saya yang sadar dirinya berbeda ras dengan saya, memilih tidak ikut tertawa dengan joke yang saya kirimkan.
Padahal seharusnya hal itu tidak perlu terjadi. Kalau gerakan Revolusi Mental yang digagas Presiden Jokowi sudah terdoktrin dengan sempurna, mudah-mudahan beberapa generasi ke depan, maka seluruh warga negara Indonesia adalah satu.
Semua individu yang mengaku berbahasa Indonesia, bertumpah darah Indonesia, mengaku berbangsa Indonesia, berbenderakan Sang Saka Merah Putih, berideologikan Pancasila, dan berlandaskan pada Undang-undang Dasar 1945, adalah SATU.
Tidak boleh ada rasa sungkan dan takut menyinggung ras lain, sebaliknya ras yang dijadikan lelucon pun tidak boleh merasa tersindir atau diejek. Idealnya memang begitu. Tapi selama masih ada manusia yang menganggap dirinya lebih benar, lebih layak, lebih suci, lebih tinggi, lebih beradab, lebih berbudaya, lebih pintar, lebih cerdas, dan LEBIH dari sesamanya maka intoleransi akan selalu ada.
Dan berarti perjuangan Revolusi Mental ini adalah proses perubahan seumur hidup, suatu perjalanan abadi selama hayat dikandung badan. Lelah? Mungkin. Tapi tetap harus dilakukan, dijalani dan disuarakan. Karena kehidupan itu sendiri adalah pembelajaran. Selama hidung sobat masih menghirup oksigen, dan selama paru-parumu masih aktif memompakan oksigen ke dalam kapiler-kapiler arteri dan mengeluarkan karbondioksia melalui kapiler-kapiler vena, maka selama itu pula sobat harus terus bersikap toleran, menyuarakan toleransi dan terus mengusung Revolusi Mental di semua lini kehidupan.
Kalau untuk kebaikan kenapa tidak? Kita harus terus berproses ke arah yang lebih baik. Dan kebiasaan-kebiasaan baik yang kita lakukan terus menerus secara konsisten, akan membentuk karakter dan kepribadian yang baik juga. Mari berjuang bersama menjaga Indonesia kita, berjuang mewariskan Indonesia yang lebih baik untuk anak cucu kita.
Karena yang paling berharga buat masa depan Indonesia adalah ketika Bumi Pertiwi ini masih layak huni untuk anak cucu bangsa yang hidup saling mengasihi dan bersatu padu dalam perbedaan menjaga warisan leluhur yang sudah tertuang dalam Pancasila. Jangan jadikan frasa “Bhinneka Tunggal Ika” yang indah itu hanya sebatas slogan dan banner  yang tercengkeram erat dibawah kaki Garuda.
Salam Toleransi, Salam Revolusi Mental.