Cari Blog Ini

Jumat, 04 Agustus 2017

Jokowi Mengembalikan Khittah Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Bukan Ketuhanan Yang Maha Ormas


Untuk bapak yang satu ini, hanya ada satu kata yang bisa diucapkan yaitu: Hebat!
Tubuhnya tidak besar, wajahnya teduh dan tidak garang, tutur katanya lembut, namun ketegasannya tidak perlu disangsikan lagi. Keputusan-keputusan yang tegas dan berpihak pada rakyat dilahirkan dari hati yang tulus dan berjiwa kebangsaan.   Salah satu keputusan tegas yang dibuahkan oleh Jokowi adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia nomor 2 tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Perlunya Perppu itu adalah karena kenyataan yang terjadi di tengah masyarakat. Keresahan masyarakat terhadap organisasi kemasyarakatan (ormas) tertentu yang tidak sejalan dengan asas  ormas yang telah disahkan dan telah terdaftar serta telah disahkan oleh Pemerintah. Kenyataan di tengah masyarakat juga tampak dan terbukti secara faktual ada ormas yang tidak sejiwa dengan Pancasila dan UUD 1945. Ormas-ormas itu melakukan kegiatan-kegiatan yang nyata-nyata bermaksud mengubah dasar negara Republik Indonesia. Jika hal itu dibiarkan, ormas-ormas itu berpotensi menghancurkan bangsa Indonesia.
Perppu tentang ormas terbit atas dorongan dan masukan berbagai kalangan yang resah karena ormas-ormas anti Pancasila bergerilya seperti hantu di siang maupun malam hari dan menakut-nakuti kehidupan bersama. Dampak dari gerakan ormas anti Pancasila adalah intoleransi dan ancaman disintegrasi bangsa.
Ketua Umum PB NU KH Said Aqil Siroj menyebutkan bahwa ormas-ormas itu radikal baik secara fisik maupun dalam hal pemikiran. Ke depan jumlah ormas-ormas itu akan bertambah. Apa jadinya bila mereka tetap hidup? Negara ini bisa menjadi seperti Suriah, Irak, Yaman, Afganistan dan lain-lain.
Memang berserikat dan berkumpul dijamin oleh undang-undang. Namun bila dalam berserikat dan berkumpul justru menimbulkan keresahan dan ketakutan bahkan mengancam eksistensi bangsa, negara tidak boleh tinggal diam. Demokrasi memberi jaminan adanya kebebasan, berekspresi dan menyuarakan aspirasi. Namun prinsip berbangsa dan bernegara adalah hal mutlak yang harus ditegakkan oleh bangsa Indonesia. Di sinilah negara memiliki kewenangan mengatur ormas. Jika negara tidak diperkenankan mengatur, terjadilah kekacauan. Tentu saja dalam mengatur ormas-ormas, negara harus memiliki standart dan kejelasan supaya tidak menjadi pemerintahan yang diktator.
Joko Widodo tegas dan bukan diktator. Buktinya, beliau memberi kesempatan pada mereka yang tidak setuju dengan Perppu untuk melakukan pengujian melalui jalur hukum. Melalui mekanisme inilah demokrasi ditegakkan. Dengan memperhatikan hal ini, saya menyimpulkan bahwa bila ada pihak-pihak tertentu yang mengatakan Jokowi diktator karena penerbitan Perppu ini, orang itu tidak memiliki itikad baik bagi negeri ini. Mengapa demikian? Saat ini negara dalam situasi darurat ormas. Sifat darurat ini menjadikan pemerintah mendapat kewenangan menerbitkan Perppu. Apalagi terdapat kekosongan Undang-Undang yang sangat mungkin bisa digunakan ormas tertentu untuk bebas beraktivitas di Indonesia dan menyebarkan paham radikal.
Kenyataan di tengah masyarakat terdapat ormas-ormas yang keberatan dengan keputusan penerbitan Perppu itu. Ormas-ormas yang keberatan itu sebagian besar adalah ormas berbasis keagamaan. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) adalah salah satu ormas yang berkeberatan.
Ormas ini sudah dibubarkan karena terbukti anti Pancasila. Mahfud MD, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) mengatakan bahwa HTI harus dibubarkan sebab ormas ini secara terang-terangan berniat meniadakan ideologi negara, Pancasila. Senada dengan Mahfud MD, Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. Yudian Wahyudi juga menyebutkan bahwa HTI harus dibubarkan. Dari syariahnya, HTI jelas berbeda dengan semangat ke-Indonesiaan. Menurutnya, demi keselamatan bangsa ini, HTI yang hendak membuang ideologi Pancasila harus dibubarkan.
Sejak kapan HTI berniat mengganti Pancasila dengan ideologi khilafah?  Niat itu sebenarnya sudah dikampanyekan oleh HTI sejak dulu kala. Dalam buku Ilusi Negara Islam yang ditulis oleh Wahid Institute dan Maarif Institut disebutkan bahwa HTI sebagai sebuah ormas infiltrasi dari negeri asing memiliki agenda khilafah internasional. Agenda ini jelas bertentangan dengan ideologi bangsa Indonesia.
HTI hanya salah satu ormas di Indonesia yang anti Pancasila dan sudah dibubarkan. Ke depan bisa jadi akan ada ormas-ormas lain yang akan dibubarkan karena bertentangan dengan Perppu nomor 2 tahun 2017. Dalam kasus HTI, kita diingatkan bahwa ormas tidak boleh memaksakan kehendaknya. Kehendak HTI jelas yaitu pendirian khilafah. Ormas ini ngotot agar kekhilafahan dijadikan sebagai ideologi bernegara. Mereka lupa bahwa Indonesia adalah negeri yang diberi berkah oleh Tuhan menjadi negara yang majemuk.
Sebagai negara yang majemuk, para pendiri bangsa sepakat tidak menjadikan Indonesia sebagai negara agama. Meski bukan negara agama, bukan berarti Indonesia negeri yang tidak percaya pada Tuhan Yang Maha Esa. Sila pertama Pancasila berbunyi: Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan bahwa nilai-nilai religiousitas tertanam di bumi Indonesia dan setiap penganut agama serta keyakinan bebas menjalankan ajaran agamanya.
Dari mana konsep Ketuhanan Yang Maha Esa itu lahir? Soekarno, bapak bangsa melahirkan konsep itu bukan tiba-tiba alias seperti ilham dari langit yang datang dadakan. Konsep itu lahir dari perjumpaannya dengan berbagai kalangan. Banyak ulama, menjadi sahabatnya dalam bertukar pikiran memberi masukan kepadanya. Salah satunya adalah Syekh Abbad Abdullah Padang Japang yang mengatakan pada Soekarno di tahun 1942,”Negara yang akan didirikan kelak haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.  Jika hal itu diabaikan, maka revolusi tidak akan membawa hasil yang diharapkan.
Ketika menyampaikan materi tentang Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila di kursus Pancasila bagi kader Pancasila pada tanggal 26 Mei 1958 di Istana Negara, Soekarno menceritakan tentang banyaknya pihak mempropagandakan bahwa ia kurang menggali secara mendalam makna ketuhanan dalam Pancasila. Soekarno menolak anggapan tersebut dan mengatakan,”Saya adalah orang yang cinta kepada agama Islam. Saya beragama Islam. Saya tidak berkata bahwa saya ini orang Islam yang sempurna. Tidak. Tetapi saya Islam. Dan saya menolak tuduhan bahwa saya menggali kurang dalam”.
Jadi apa yang kurang dari Pancasila dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai landasan filosofis hidup bersama di negeri yang majemuk ini? Sungguh sangat disayangkan bila ada ormas-ormas tertentu yang tidak setuju pada Pancasila. Tidak setuju pada Pancasila berarti juga menolak gagasan Ketuhanan Yang Maha Esa, sila pertama Pancasila.
Joko Widodo telah menorehkan sejarah yang hebat. Apapun ormas-ormas di negeri ini, semua harus berdasar pada Pancasila. Dengan Perppu nomor 2 tahun 2017 semua warga negara Indonesia diajak untuk saling menghargai, menghormati sesama warga bangsa. Apapun agama dan keyakinannya, semua harus dihargai dan memiliki hak yang sama di muka hukum.
Ormas-ormas anti Pancasila, intoleran yang gemar memaksakan pendapatnya pada orang lain harus paham hal ini. Mereka hidup di Indonesia yang majemuk dan berdasar hukum. Indonesia bukan negara berdasar pada Ketuhanan Yang Maha Ormas, sehingga ormas bisa se-enak sendiri memaksa pendapat pada orang lain. Indonesia berdasar Pancasila yang menghargai kepelbagian dan memiliki sila pertama dasar negara: Ketuhanan Yang Maha Esa.
Terimakasih Bapak Joko Widodo, bapak telah mengembalikan khittah sila pertama dasar negara kita di jalur yang benar. Ini adalah revolusi mental, revolusi yang menjadikan Indonesia Hebat!

Referensi:
Ir. Sukarno, Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno, Yogyakarta, Media Pressindo, 2017.
Wahid Institute dan Maarif Institute, Ilusi Negara Islam, Jakarta, 2009.

0 komentar:

Posting Komentar