Cari Blog Ini

Jumat, 18 Agustus 2017

Jangan Merasa Budaya Andalah yang Paling Baik, Belajar Menghargai Keragaman

Kadang kita merasa lucu melihat sebuah prilaku, atau kebiasaan, atau budaya, atau adat istiadat yang baru pertama kali kita lihat. Apalagi bila itu aneh dan menurut kita tak masuk akal, jelek, dan sebagainya.

Apa yang terjadi? Kita lalu kemudian, sesuai ‘kaca mata’ yang kita biasa pakai, kita mulai menghina, menjelek-jelekan dan membuli budaya atau kebiasaan itu. Kita menjadi ‘polisi’ budaya, dan ‘hakim’ adat istiadat. Kita memberi ‘tilang’ pada semua yang menurut kaca-mata kita  aneh bin ajaib, atau tidak sesuai selera kita.

Bahkan, acap kali kita menertawi apa yang kita lihat tersebut segeli-gelinya. Bagaimana kalau sebaliknya, tanpa kita sadari di sisi orang yang lagi kita tertawai itu, mereka justru sementara menertawai budaya kita oleh karena bagi mereka justru kitalah yang aneh, yang lucu, dan menggelikkan.

Jadi, budaya setempat yang dianut orang itu tidak serta merta adalah absolute paling bagus. ‘Kebenaran’ budaya itu sesungguhnya relative dan tidak ada yang absolute. Orang bijak berkata “Apa yang bagus buatmu belum tentu bagus buatku, maka demikian pula sebaliknya dan seharusnya.”

Perbedaan budaya, adat istiadat, dan kebiasaan sebuah kelompok atau komunitas mestinya dihargai sebagaimana apa adanya ia. Itu adalah sebuah keniscayaan hidup dalam keragaman dan kepelbagaian.

Ketidaksukaan terhadap adat atau budaya yang berbeda dengan yang kita anut tidak boleh menjadikan kita kalap dan mau menang sendiri. Kita tidak boleh berlaku seenaknya dan semaunya. Merasa bahwa standard budaya dan adat istiadat kebiasaan kitalah yang paling benar dan harus dihormati tinggi-tinggi, setinggi puncak gunung Soputan. Tidak bisa seperti itu.

Adat di Bali bisa saja sangat berbeda dengan yang di Jawa. Budaya di Manado sangat bisa amat jauh berbeda dengan budaya yang dianut orang Medan. Kebiasaan masyarakat Papua tentu saja berbeda dengan yang ada di Aceh umpamanya.

Etnosentrisme Dalam Keragaman Budaya

Bila kebetulan ada beberapa patung ukiran wanita bertelanjang dada di rumah saya, termasuk di dalam kamar saya, lalu ternyata di kemudian hari ada yang protes. Kenapa protes?

Padahal karena saya kebetulan sangat menyukai estetika seni ukiran Bali, baik yang naturalis maupun semi-abstrak, makanya saya senang menyinpan semua yang berbau seni. Nah, keberadaan patung itu yang membuat seorang teman lumayan terkejut. Sambil tersenyum sinis ia berkata, “Lho, kamu kok suka patung porno?”

Apa yang menyebabkan teman tadi menganggap patung itu porno? Etnosentrisme. Ia memakai budaya sendiri sebagai ukuran untuk menilai budaya lain. Dalam budaya daerah lain mungkin memang kurang sopan bagi wanita untuk setengah telanjang di depan umum. Tetapi dalam budaya Bali hal itu sama sekali bukan persoalan. Tidak ada wanita yang merasa terhina dan tidak ada lelaki yang merasa “terganggu”. Semua biasa-biasa saja.

Sebagai buah dari enkulturasi, maka kita menjadi orang yang berbudaya. Hal itu tentu saja baik, namun serempak ada bahayanya, yaitu membentuk kita untuk hanya mengenal dan mau tau budaya kita sendiri lalu menjadi ‘buta’ atau tak mau tau dengan budaya lain. Akibatnya, yang kita anggap benar hanyalah budaya kita sendiri, sedangkan budaya lain kita anggap aneh, asing, bahkan keliru. Itulah yang disebut etnosentrisme, yaitu sikap menganggap budaya sendiri benar dan unggul, sedangkan budaya lain dianggap salah dan rendah.

Apa yang “Paling Indonesia” di bumi pertiwi ini kalau bukan keragaman budayanya. Jumlah suku bangsa yang kita miliki saja sudah lebih dari 700, maka tentu ada ratusan budaya traditional di dalamnya. Multikultural adalah berkat buat bangsa ini yang seharusnya patut disyukuri, bukan saling cemooh dan hina-menghina.

Keragaman budaya atau “cultural diversity” di Indonesia adalah suatu kenyataan. Memang pada satu sisi kenyataan itu bisa menjadi potensi yang teramat bagus. Potensi yang tidak berkesudahan kalau kita mampu mengelolanya, tapi di sisi lain dapat memunculkan konflik. Kalau kita tidak mampu mengatur dan saling menghargai keberagaman budaya yang ada bisa saja ini memicu suatu konflik. Kita harus memiliki apa yang saya istilahkan sebagai “multicultural management”.

Semuanya berbeda-beda dalam kemurniannya masing-masing. Kita justru harus menghormati semua yang berbeda itu. Tidak harus menyamakan apa-apa yang berbeda tersebut.

Tidak juga dengan saling menghina satu sama lain. We are definitely different. Itulah kenyataannya. Dan kenyataan itu membuat kita menjadi bangsa yang kaya, dan bangsa yang besar. Bangsa yang sangat dikagumi.

Keragaman Budaya adalah Kekayaan Tak Ternilai

Di Amerika yang terkenal sebagai ‘negara pendatang’, karena dipenuhi oleh banyaknya imigran menjadikan negeri ini adalah negeri sejuta budaya dan sejuta kebiasaan. Segala macam yang kita anggap ‘aneh’ dan ‘insane’ bakalan kita temui di Amerika, apalagi di New York yang sudah dikenal sejak jaman dulu sebagai “melting pot”, tempat menyatu dan bercampurnya segala macam ras, etnis, budaya, bahasa, dan bangsa. Mereka datang dari segala pelosok dunia.

Banyak persinggungan budaya serta kebiasaan terjadi, namun tentunya perjumpaan-perjumpaan tersebut tidak menjadikan mereka yang berbeda itu saling hina, pukul, dan hajar. Perbedaan memperkaya kita. Kalau soal patung saja kita ribut kayak anak TK, teriak-teriak untuk dirobohkan, dimana lagi kedewasaan dan kewarasan cara berpikir? Menggelikan dan amat memalukan.

Plato, seorang filsuf  terkenal, di jamannya ia pernah mengatakan begini, “The soul takes nothing with her to the next world but her education and her culture. At the beginning of the journey to the next world, one’s education and culture can either provide the greatest assistance, or else act as the greatest burden, to the person who has just died.”

Ada kebiasaan tertentu orang India di Amerika yang suka memakai sorban di kepala, dan ternyata rambut di balik sorban itu panjangnya bisa terurai mencapai lutut. Kawan saya ada yang berpakaian seperti itu.  Katanya, ‘haram’ bagi pria asal daerah di mana dia tinggal untuk memangkas rambutnya. Rambut adalah karunia bagi kaum pria. Saya tercekat kaget. Tapi itulah budaya yang mereka yakini.

Ada lagi yang lain, yaitu mengenai budaya kerja orang Jepang dan Cina di Amerika, mereka itu harus saya ancungi jempol. Ada bahkan direktur perusahaan dan pemilik perusahaan (owner) yang bergerak di bidang distribusi keju yang maju sangat pesat, mereka itu rela angkat-angkat kardus dipenuhi botol wine (anggur) ke dalam truk angkutan barang, tanpa pernah merasa risih. Mereka itu bos besar dan pemegang saham perusahaan.

Saya sudah lihat dengan mata saya sendiri orang-orang seperti ini. Etos kerja yang luar biasa, dan ini sudah menjadi kebiasaan yang membudaya.

Ada juga kebiasaan anak sekolah memanggil atau menyebut orang yang lebih tua, bahkan guru sendiri dengan hanya menyebut nama.

Lebih unik dan aneh lagi, ternyata ada kebiasaan dan budaya di Bahrain bahwa seorang dokter pria sah secara hukum (legal) untuk memeriksa alat vital wanita (vagina). Kita mungkin bilang, ah itu kan biasa saja. Tidak juga. Sebab Dokter bersangkutan rupanya dilarang keras untuk secara langsung melihat alat vital wanita tersebut selama pemeriksaannya berlangsung. Lalu bagaimana bisa memeriksa tanpa melihat langsung? Mereka ternyata hanya diperbolehkan melihatnya melalui cermin.

Kita beranjak ke Lebanon. Ternyata seorang pria di Lebanon diperbolehkan untuk bercinta atau berhubungan badan dengan binatang asalkan binatang itu adalah seekor betina. Hukuman mati akan dikenakan bagi pria yang ketahuan berhubungan dengan binatang jantan. Luar biasa aneh. Tapi apa mau kita bilang?

Masih ada yang lebih gila lagi. Saya pernah baca bahwa di Hongkong sana, istri yang dihianati atau diselingkuhi adalah sah secara hukum untuk membunuh suaminya yang selingkuh itu. Tetapi ia hanya diperbolehkan untuk membunuh suaminya itu dengan hanya menggunakan tangan kosong saja. Bagaimana bisa ya? Padahal, bila yang berselingkuh itu adalah wanitanya, maka selingkuhannya boleh dibunuh dengan cara apapun termasuk memakai alat bantu.

Ternyata tidak ada kemutlakkan dalam menilai kebaikan atau kebenaran sebuah budaya, prilaku, atau kebiasaan tertentu. Apa yang kita rasa sudah harus seperti itu adanya, ternyata tidak selamanya memang benar seperti itulah adanya.

Mari kita belajar semakin banyak tentang apa-apa yang berbeda. Sebab berbeda itu ternyata indah, harus kita hargai. Supaya kita boleh semakin mampu menerima banyak perbedaan di sekitar kita dengan hati dan tangan terbuka. Keragaman membuat kita semakin diperkaya.

Semakin berbudaya dan beradab kita, maka akan semakin mudah bagi kita untuk menghargai dan menghormati budaya orang/bangsa lain. Kita tentu saja harus tetap mencintai budaya asal kita dengan setulus hati, yaitu budaya yang lahir di bumi Nusantara ini. Tetapi hal itu tidak boleh menisbikan keragaman budaya dan adat istiadat orang lain.

Dunia yang Tuhan ciptakan adalah dunia yang beragam dan penuh rupa-rupa perbedaan. Itulah kekayaan yang Tuhan anugerahkan bagi bumi milik kita ini. Mengabaikan atau menghina anugerah itu, sama artinya dengan mengabaikan dan menghina Sang Pencipta.

Kura-kura juga berbeda…

0 komentar:

Posting Komentar