Cari Blog Ini

Sabtu, 26 Agustus 2017

Saracen Dibayar 72 Juta Per Konten SARA, Siapa Saja Yang Memesan?

Saracen bisa dibilang merupakan bisnis online yang modern. Mereka tidak menjual produk, tapi menjual jasa cuci otak masyarakat secara massal. Konten SARA bisa dipesan dan disebarluaskan dengan tarif yang lumayan, yaitu 72 juta rupiah.
“Infonya sekitar Rp 72 juta per paket,” ujar Kepala Bagian Mitra Divisi Humas Polri Kombes Pol Awi Setiyono
Biaya tersebut meliputi biaya pembuatan situs sebesar Rp 15 juta dan membayar sekitar 15 buzzer sebesar Rp 45 juta per bulan. Ada pula anggaran tersendiri untuk Jasriadi selaku ketua sebesar Rp 10 juta.
Menjadi Kaya Memakai Fitnah
Jasa konten SARA milik Saracen pasti menghasilkan keuntungan yang besar. Banyak orang yang akan memesan jasa ini, apalagi saat menjelang Pilkada atau kasus-kasus tertentu. Salah satu contoh yang jelas adalah kasus Ahok.
Saat kasus Ahok bergulir, jelas bahwa banyak sekali konten di Internet yang menyudutkan Ahok. Hal ini pasti sudah disetting dan diarahkan agar semua orang berpikir bahwa Ahok memang menistakan agama, padahal Ahok tidak melakukan hal itu.
Saracen kemungkinan ikut terlibat dalam pengarahan opini saat kasus Ahok. Toh Saracen termasuk kelompok yang cukup besar. Grup mereka sudah memiliki 800.000 akun yang bergabung. Masak kelompok sebesar ini tidak dipesan?
Kalau diasumsikan setiap bulan ada 3 orang saja yang memesan konten SARA, maka sang ketua Saracen sudah mengantongi 30 juta/bulan. Ini gaji yang sangat tinggi lho, nyicil rumah pun sudah bisa. Apalagi ini asumsi yang rendah, pada kenyataannya pasti lebih banyak yang memesan.
Saracen juga membayar orang-orang yang disebut wartawan. Para wartawan itu nantinya menulis artikel pesanan yang isinya juga diarahkan pemesan. Polisi mengatakan akan menginvestigasi soal keberadaan ‘wartawan’ ini.
“Ini kan baru data-data yang ditemukan dari yang hersangkutan. Kami tidak percaya begitu saja. Perlu pendalaman,” kata Awi.
Awi mengatakan, para tersangka tertutup untuk mengungkap siapa saja pihak yang memesan konten kepada kelompok Saracen. Penyidik perlu bukti untuk menguatkan adanya transaksi antara pihak pemesan dengan Saracen.
Dengan kata lain, mereka membayar orang lain untuk menyebarkan hoax. Seword sendiri juga membayar penulis, TAPI para penulis tidak diarahkan untuk menulis apapun. Silahkan mengkritik siapapun asalkan masih masuk akal dan tidak mengada-ada. Berbeda dengan konten hoax betulan yang sangat mudah dipatahkan logikanya.
Sayang sekali para tersangka belum bersedia buka mulut soal siapa yang memesan jasa mereka. Mana tahu ada pihak yang berkepentingan di Pilkada Jakarta yang memesan jasa mereka. Kan jelas bahwa banyak konten SARA saat pilkada Jakarta.
Atau ada pihak yang memesan jasa mereka untuk mendukung habis-habisan seorang politisi. Asal ada duit maka segala konten bisa dibuat, baik yang tidak masuk akal ataupun yang sangat tidak masuk akal.
Biaya jasa mereka juga termasuk cukup murah. 72 juta rupiah mungkin saja terasa mahal bagi masyarakat awam. Tapi bagi kaum koruptor yang hanya bisa menang dengan SARA? Wah, 72 juta itu harga tas mereka bos! Jangan kita dompet mereka tipis.
Kalau saja kita anggap Saracen berhasil mempengaruhi 100.000 orang karena konten SARA mereka maka biaya mempengaruhi satu orang itu adalah 720 rupiah. Bayangkan, tidak perlu sampai seribu rupiah satu orang bisa dibuat kehilangan logika akibat SARA. Ini kan sangat murah.
Kelompok semacam Saracen pasti masih banyak berkeliaran. Polisi perlu mengusut tuntas masalah konten hoax ini. Mereka memperoleh kekayaan dengan cara membuat orang lain kehilangan kewarasan berpikir.
Jangan sampai konten yang waras dan kredibel malah tenggelam karena terlalu banyak konten hoax dan SARA. Kaum sebelah dibayar mahal, kaum yang waras biasanya bekerja sukarela tanpa dibayar. Itulah alasan lebih banyak hoax dibanding konten waras.
Kalau polisi sudah mengantongi nama pemesan jasa Saracen, sebaiknya disebarluaskan saja. Mana tau ada ‘seseorang’ yang sudah dikenal publik santun eh rupanya pemesan yang begituan. Setuju?

0 komentar:

Posting Komentar