Cari Blog Ini

Rabu, 23 Agustus 2017

Jokowi, Marawi dan Upaya Kekhalifahan Asia Tenggara



Akhir bulan Mei 2017, dunia internasional, digegerkan oleh serangan teroris milisi Maute yang menduduki sebagian wilayah kota Marawi, Filipina. Aksi teroris yang mengaku telah berbaiat kepada ISIS itu tergolong brutal dan sadis. Dengan darah dingin, mereka tak ragu membunuh penduduk setempat yang hendak melarikan diri. Tentara militer Filipina menemukan banyak jenazah manusia dengan tangan terikat dan kepala ditembak. Diperkirakan mereka semua dibunuh karena tidak dapat membaca Alquran. Sumber: BBC.com. Teroris bersenjata lengkap tersebut juga tak segan menggunakan warga sipil sebagai pelayan, budak, bahkan tameng hidup. Menurut data resmi pemerintah Filipina pada pertengahan Juni 2017, sebanyak 225 gerilyawan, 59 tentara dan 26 warga sipil tewas dalam pengepungan di Kota Marawi. Sumber: Sindonews.
Saat ini, setelah lebih dari satu bulan lamanya, kota Marawi masih belum mampu direbut kembali oleh Militer Filipina.
Salah satu ‘keistimewaan’ milisi Maute adalah anggotanya yang berasal dari manca negara, yaitu Malaysia, Indonesia, Pakistan, Arab Saudi, Chechnya, Yaman, India, Maroko, dan Turki. Mereka merupakan bagian dari jaringan ISIS yang bertujuan ingin mendirikan kekhalifahan di Asia Tenggara. Sumber: pikiran-rakyat.com.
Hari Kamis, tanggal 22 Juni 2017, Menlu Retno Marsudi menghadiri pertemuan Trilateral bersama Menlu Filipina dan Menlu Malaysia di Manila. Pertemuan yang diprakarsai Indonesia itu membahas perkembangan situasi pasca serangan kelompok teroris di Marawi, Filipina, serta membahas kesepakatan terkait upaya kolektif ketiga negara dalam menanggulangi terorisme. Dalam pidatonya Retno menekankan bahwa permasalahan yang dihadapi Filipina merupakan permasalahan bersama ketiga Negara. Karena itu, penanganannya harus dilakukan secara bersama-sama. Sumber: Detik.
Permasalahan teroris di Indonesia sendiri sudah cukup lama ada, dan pernah mengalami masa-masa ‘kegelapan’ pada tahun 2002-2006. Pada rentang masa itulah terjadi peristiwa bom Bali 1 (2002) yang menewaskan 202 orang, bom JW Marriot Jakarta (2003) dengan korban meninggal 12 orang, bom Kedubes Australia (2004) dengan korban meninggal 11 orang, dan bom Bali 2 (tahun 2005) yang menewaskan 23 orang. Tidak dapat dipungkiri, saat itu Indonesia cukup kewalahan menghadapi serangan teroris. Walaupun beberapa orang yang diduga kuat merupakan otak serangan tersebut sudah ditangkap dan sebagain bahkan sudah menjalani hukuman mati. Diantaranya Amrozi, Imam Samudra, dan Ali Gufron (Mukhlas). Sumber: Wikipedia1,Wikipedia2, Wikipedia3, Wikipedia4.
Setelah tahun 2005, masih terjadi beberapa kali insiden terorisme di Indonesia, tapi dalam skala yang tidak terlalu besar dan masif. Berikut beberapa data yang berhasil diperoleh: Sumber: Wikipedia5
  1. Tahun 2009, bom di hotel JW Marriott dan Ritz Carlton Jakarta. Ledakan terjadi dalam waktu hampir bersamaan, sekitar pukul 07.50 WIB. Sembilan orang termasuk dua orang pelaku bom bunuh diri menjadi korban.
  2. Tahun 2010, terjadi penembakan warga sipil di Aceh
  3. Tahun 2011, terjadi bom bunuh diri di Mesjid Mapolresta Cirebon tengah shalat Jumat yang menewaskan pelaku, dan melukai 25 orang lainnya.
  4. Tahun 2011, bom bunuh diri di GBIS Kepunten Solo, Jawa Tengah usai kebaktian. Terdapat korban satu orang pelaku bom, dan 28 orang lainnya luka-luka.
  5. Tanggal 25 Mei 2011, terjadi aksi penembakan terhadap anggota Polri di kantor Bank BCA di Palu, Sulawesi Tengah
  6. Tahun 2012, sebuah granat meledak di Pospam Gladak, Solo, Jawa Tengah. Tidak ada korban jiwa.
  7. Tahun 2013, bom di depan Mesjid Mapolres Poso, Sulawesi Tengah. Pelaku bom meninggal di tempat dan satu orang terluka.
Tapi belakangan ini, terhitung sejak tahun 2016, sel-sel teroris yang lama pasif, nampak mulai bangkit dan aktif kembali. Berikut rangkuman singkat beberapa kejadian terorisme yang terjadi sepanjang tahun 2016:
  1. Tanggal 14 Januari 2016. Ledakan dan baku tembak di sekitar Plaza Sarinah, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat. Tujuh korban jiwa, lima diantara merupakan pelaku teror. Sumber: BBC.com2
  2. Tanggal 5 Juli 2016, peristiwa bom bunuh diri di halaman Markas Kepolisian Resor Kota Surakarta, Surakarta, Jawa Tengah. 1 pelaku tewas dan 1 petugas kepolisian luka-luka.
  3. Tanggal 28 Agustus 2016, ledakan bom bunuh diri terjadi di Gereja Katolik Stasi Santo Yosep, Medan, Sumatera Utara. Pelaku mengalami luka bakar, sedangkan seorang pastor mengalami luka ringan.
  4. Tanggal 13 November 2016, sebuah bom molotov meledak di depan Gereja Oikumene Kota Samarinda, Kalimantan Timur. Empat anak terluka dan satu orang di antaranya meninggal dunia dalam perawatan di rumah sakit.
  5. Pada 14 November 2016, sebuah bom molotov meledak di Vihara Budi Dharma, Kota Singkawang, Kalimantan Barat.
Tahun 2017 pun sudah beberapa kali aksi teror dilancarkan, diantaranya:
  1. Tanggal 27 Februari 2017, aksi teror bom panci berdaya ledak rendah meledak di taman Pandawa. Cicendo, Bandung. Pelaku menjadi satu-satunya korban meninggal. Sumber: Detik2.
  2. Menjelang awal bulan puasa, pada tanggal 24 Mei 2017, aksi bom bunuh diri terjadi di dekat sebuah halte bus Transjakarta di daerah Kampung Melayu. Dua orang pelaku bom bunuh diri dan tiga orang polisi meninggal dunia. Sumber: Kompas2
  3. Yang terbaru, tepat pada hari Idul Fitri tanggal 25 Juni 2017, kurang lebih pukul 03.00 WIB, Malpolda Sumatera Utara diserang dua orang terduga teroris. Satu orang anggota polisi tewas digorok lehernya, dan satu orang pelaku tewas di tempat. Sumber: Tribunnews.com.
Pertanyaannya sekarang, kira-kira apa yang menyebabkan kembali maraknya upaya aksi terorisme dua tahun ke belakang ini?
Perlu dipahami bahwa aksi terorisme yang terjadi di berbagai belahan dunia, tidaklah berdiri sendiri-sendiri. Ada jaringan yang terstruktur secara rapi dan menyebar ke seluruh pelosok negara. Karena itulah sering kita dengar kata ‘sel-sel’ terorisme.
Aksi terorisme yang terstruktur, sistematis, dan masif ini jauh-jauh hari sudah memiliki agenda, atau target utama yang hendak dicapai. Sekian lama mereka cuma duduk manis dalam diam bukan berarti mereka lemah. Mereka tengah aktif merekrut, giat mempropaganda, dan khusyuk dalam mematangkan rencana mereka. Tujuan akhirnya adalah mendirikan kekhalifahan di Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Peristiwa teror di Marawi merupakan bukti nyata bahwa sel-sel teroris dari seluruh penjuru dunia kini tengah menarget wilayah Asia Tenggara menjadi ‘Suriah kedua’.
Pemilihan wilayah Filipina sebenarnya tidaklah mengejutkan. Bertahun-tahun lamanya kelompok Abu Sayyaf berhasil melancarkan aksinya menculik banyak warga asing, meminta tebusan selangit, lalu membunuh secara keji para sandera jika tuntutan mereka tidak dipenuhi. Selama itu, pemerintah Filipina tampak tidak berdaya meredakan, apalagi membasmi mereka.
Di Indonesia, aksi teror paling lantang dan sadis datang dari kelompok Santoso alias Abu Wardah, di Poso, Sulawesi Tengah. Santoso sendiri merupakan anggota JI (Jamaah Islamiyah), sekaligus Ketua Mujahiddin Indonesia Timur (MIT) yang telah berbaiat kepada ISIS. Komplotan pimpinan Santoso ini terkenal brutal dan sadis dalam menjalankan segala aksi terornya.
Letak geografis yang berdekatan dengan negara Filipina membuat hubungan antara teroris di kedua negara cukup erat. Buktinya pasokan persenjataan komplotan Santoso dikabarkan berasal dari Filipina Selatan. Sumber: Liputan6.com.
Pada awal tahun 2016, tepatnya tanggal 10 Januari 2016, dimulailah Operasi Tinombala di daerah Poso, Sulawesi Tengah. Target utamanya adalah menangkap dan membasmi komplotan Santoso. Sebanyak kurang lebih 3000 personel gabungan dari satuan Kepolisian, Brimob, Kostrad, Marinir, Raider, dan Kopassus turut diterjunkan dalam operasi ini. Sumber: Wikipedia6.
Sungguh bukan operasi yang mudah, karena medan yang teramat sulit dan anggota komplotan Santoso yang sangat menguasai lapangan dan tidak takut mati. Bagaimanapun, operasi Tinombala sukses membatasi ruang gerak komplotan Santoso, sehingga satu persatu personelnya tertangkap bahkan tidak jarang terbunuh sewaktu melakukan perlawanan. Puncak keberhasilan Operasi Tinombala adalah ketika Santoso berhasil ditangkap, dan tewas pada tanggal 18 Juli 2016, kurang lebih hanya berselang 6 bulan sejak Operasi Tinombala diluncurkan. Sumber: Detik3
Sebagai penutup, artikel ini ditulis khusus untuk mengapresiasi kinerja Presiden Jokowi, Kapolri Jenderal Pol. Tito Karnavian bersama dengan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, beserta seluruh gabungan personel dari pihak Kepolisian RI dan TNI. Bahwa dengan suksesnya Operasi Tinombala, dan juga keberhasilan meredam gejolak upaya aksi teror yang seringkali terjadi dua tahun ke belakang ini, situasi dan kondisi negara masih stabil dan kondusif.
Dapat dibayangkan, jika pemerintah gagal meredam aksi terorisme seperti ketika masa-masa ‘kegelapan’ dulu, sangat mungkin aksi teror di kota Marawi, Filipina juga terjadi di bumi Indonesia yang tercinta ini.
Ke depannya, seluruh warga negara Indonesia harus terus mendukung usaha pemerintah untuk melawan segala bentuk aksi terorisme, dengan cara mengedepankan empat pilar kebangsaan kita, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, supaya persatuan dan kesatuan bangsa dapat terus dipertahankan.
Jangan sampai ada ruang sedikit pun untuk aksi terorisme di bumi Indonesia.
Be alert and of sober mind, because your enemy, the devil, prowls around like a roaring lion, looking for someone to devour…

0 komentar:

Posting Komentar